Berkibarnya Bendera Palestina di PBB
Momentum Pengharapan?
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education (IDe)
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Oktober 2015
PADA 1 Oktober 2015 untuk pertama kali sepanjang sejarahnya
bendera Palestina berkibar di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Namun, itu tidak berarti Palestina telah atau segera merdeka. Jalan
yang harus dilaluinya untuk memiliki negara sendiri yang berdaulat masih
panjang, berliku, dan terjal. Dikibarkannya bendera Palestina itu merupakan
konsekuensi dari diterimanya Palestina sebagai pengamat nonanggota PBB sejak
2012. Semuanya merupakan usaha diplomasi Otoritas Palestina pimpinan Presiden
Mahmoud Abbas.
Sehari sebelum itu Abbas berpidato di Sidang Umum PBB,
yang bersikap keras terhadap Israel. Abbas menyatakan Otoritas Palestina
tidak akan lagi meneruskan perundingan dengan Israel kecuali Israel
mengimplementasikan hal-hal yang tercantum dalam Kesepakatan Oslo. Kesepakatan
Oslo yang dicapai antara PLO dan pemerintahan Israel pimpinan PM Yitzhak
Rabin 1993 menetapkan Palestina akan memperoleh kemerdekaan setelah lima
tahun melalui jalan perundingan. Namun, hingga kini kemerdekaan dengan
wilayah di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur tidak juga terwujud.
Sementara itu, Israel terus membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat dan
Jerusalem.
Apartheid baru
Pada 1947, Liga Bangsa-Bangsa membagi tanah Palestina
menjadi dua: 53% untuk Israel dan 47% untuk Palestina. Kini wilayah Palestina
tinggal 20%. Berbagai kebijakan Israel setelah merdeka 1948 terus
diperlihatkan, mulai teror, pengusiran, perampasan tanah, hingga membangun
permukiman Yahudi di Tepi Barat. Kondisi tersebut membuat tanah untuk
Palestina semakin kecil. Kenyataan lain yang membuat Palestina frustrasi
ialah, pertama, Jerusalem Timur telah dibangun Israel sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin lagi kawasan tempat bercokol Masjidil Aqsa itu
dinegosiasikan.
Pada 1999, Teddy Kolek, mantan Wali Kota Jerusalem,
mengungkapkan pemerintahnya punya target rahasia untuk membatasi populasi
Palestina. Itulah inti kebijakan pemerintah kota dan pusat. Alasan mengapa
target penting ialah agar tidak ada yang dapat menggugat kepemilikan Israel
atas Jerusalem di masa datang. Kedua, Tepi Barat saat ini berubah menjadi
serangkaian `kantong-kantong wilayah' yang membingungkan tanpa memiliki
daerah teritorium yang menyatu. Kekhawatiran awal Palestina telah jadi
kenyataan. Kebijakan memecah belah daerah itu membuat pembangunan sebuah
negara Palestina menjadi hal yang mustahil. Hampir semua pengamat melihatnya
sebagai sebuah bentuk baru apartheid.
Bagaimanapun, pidato Abbas yang disebutnya sebagai
`momentum pengharapan' tak lepas dari fakta bahwa telah terjadi perpecahan di
Palestina antara Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat. Hal lain,
popularitas Abbas anjlok akibat korupsi luar biasa di tubuh Otoritas
Palestina. Dalam jajak pendapat baru-baru ini lebih dari 50% rakyat Palestina
menginginkan Abbas mengundurkan diri.
Jajak pendapat itu juga mengungkapkan 51% rakyat Palestina
tidak lagi percaya pada solusi dua negara melalui perundingan sebagaimana
yang diyakini dan dilakukan Abbas selama ini. Sementara itu, 65% menyatakan
pengertian dua negara yang hidup berdampingan tidak praktis karena
pembangunan per mukiman Yahudi di tanah Palestina tetap marak.
Kendati demikian, Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu bereaksi keras terhadap pidato Abbas di depan Sidang Umum PBB.Hal
itu akan sangat berpengaruh pada ekonomi Palestina. Toh, Palestina sangat
bergantung pada hasil pajak yang dipungut Israel dari barang impor Palestina.
Kesulitan itu makin hebat apabila Presiden AS Barack Obama ikut menghentikan
bantuan US$400 juta per tahun pada Otoritas Palestina. Namun, bisa jadi
keberanian Abbas untuk tidak lagi menghormati Kesepakatan Oslo disebabkan
adanya jaminan bantuan keuangan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA)
asalkan Abbas menyetujui pelucutan senjata Hamas dan Jihad Islami serta
mengisolasinya. UEA dan Saudi serta Mesir memang menginginkan terputusnya hubungan
Iran dengan dua organisasi militan itu melalui bantuan senjata dan keuangan.
AS pun diduga tidak akan menghentikan bantuan kepada Otoritas Palestina
mengingat Washington sangat bergantung kepada Arab dalam perangnya melawan
Negara Islam di Irak dan Suriah (IS).
Naikkan isu
Pidato Abbas itu bisa jadi dapat mendongkrak
popularitasnya lagi. Namun, bisa dipastikan kekisruhan yang sedang marak
antara Israel dan Palestina di Tepi Barat akan semakin bergelora. Mungkin itu
juga diinginkan Abbas mengingat isu Palestina tenggelam di bawah baying-bayang
perang koalisi Arab di Yaman dan perang koalisi Liga Arab-NATO melawan IS.
Perundingan serius antara Israel dan Palestina hanya bisa terjadi kalau Obama
mampu menekan Israel untuk maju ke meja perundingan dengan tenggat.
Namun, dalam pidato di Majelis Umum PBB pada 29 September,
Obama sama sekali tidak menyinggung Palestina. Itu menunjukkan Obama tidak
lagi tertarik pada isu Palestina. Jadi, bendera Palestina boleh saja
berkibar, tapi kemerdekaan? Nanti dulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar