Mestinya Too Big to Fail
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 22 Juni 2015
SAYA hanya bisa mendengarkan dengan
sungguh-sungguh ketika banyak pengusaha mengeluhkan lesunya ekonomi saat ini.
”Sangat lesu,” kata mereka.
”Jauh dari yang dulu kami bayangkan,” tambah
mereka. Ada yang omzetnya turun sampai 40 persen. Banyak yang sudah melakukan
PHK.
Tidak menyangka, begitu saya kembali dari
sekolah di Amerika Serikat selama tiga bulan, saya harus menghadapi banyak
pertanyaan dari para pengusaha seperti itu.
Tiba-tiba saya merasa bersalah ketika saya
tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Misalnya: Sampai kapan kelesuan
ekonomi ini akan berlangsung? Saya juga belum siap untuk menjawab pertanyaan
ini: Masih akan lebih lesu atau akan tetap lesu atau kelesuan ini akan segera
berakhir?
Jawaban saya satu-satunya adalah: Coba saya
pikirnya dulu. Sudah tiga bulan saya tidak mengikuti perkembangan apa pun.
Selama di Amerika, saya benar-benar puasa berita. Tidak mengikuti
perkembangan di dalam negeri. Jawa Pos pun (online) tidak saya buka. Saya
terus belajar dan belajar. Dan membaca buku. Sampai 16 buku saya lahap dalam
tiga bulan. Sayang, tidak satu pun tentang ekonomi.
Membaca kelesuan ekonomi itu harus kita sikapi
sebagai membaca huruf. Kelesuan itu kita ibaratkan garis yang menurun.
Seperti memulai menulis huruf ”I”. Kalau masih terus menurun, berarti ”I”-nya
masih akan panjang. Kalau kelesuan itu sudah sampai tahap paling lesu, garis
itu berhenti.
Tidak bisa lebih lesu lagi. Lebih dari itu
berarti mati.
Panjang-pendeknya ”I” bergantung lama atau
sebentarnya masa kelesuan itu. Setelah kelesuan mencapai dasarnya,
kemungkinan garis itu hanya satu: berbelok ke samping. Dari huruf ”I” menjadi
huruf ”L”. Tetap lesu, tapi tidak akan lebih lesu lagi. Apakah ”L”-nya akan
pendek atau akan menjadi ”L” panjang, tentu bergantung yang memegang pena.
Pola ”L” yang pendek tentu bisa kita terima.
Tidak mungkin dari turun langsung bisa naik. Harus melalui masa-masa mendatar
dulu. Tapi, kalau ”L”-nya terlalu panjang, kematianlah yang akan dihadapi.
Kita tentu mengharapkan pola ”L” itu segera
berubah menjadi ”U”. Berarti segera sembuh dari kelesuan. Lantas, segera
bangkit lagi ke atas. Pemegang pena harus berusaha keras menarik pena itu
untuk membuat huruf ”U”, bahkan sejak ketika huruf ”I” sedang terjadi.
Ini tidak mudah. Persyaratannya banyak.
Tintanya harus ada. Penanya harus ada. Kertasnya harus ada. Yang pegang pena
juga harus punya kemampuan memegang pena. Semuanya akan teratasi kalau ada
keyakinan mampu mengatasinya.
Banyak ekonom yang masih memegang teori lama
ini: Biarkan rupiah melemah. Itu ada baiknya. Ekspor kita akan melonjak.
Teori itu benar. Pada masanya.
Tapi, para pengusaha yang sehari-hari bergerak
di bidang ekspor bisa menemukan kenyataan lain. Pembeli di luar negeri bukan
pedagang yang bodoh. Mereka tahu bahwa rupiah lagi melemah. Berarti eksporter
Indonesia ambil untung terlalu banyak. Mereka juga berhitung. Lalu minta
harga diturunkan.
Dari pengalaman itu, kita jadi tahu bahwa
teori ”rupiah melemah, ekspor akan meningkat” tersebut kini hanya berlaku
sebagian.
Kita hanya bisa melihat dan mengamati. Apakah
dalam waktu tiga bulan ke depan huruf ”I” itu sudah akan mulai berubah
menjadi ”L”? Atau ”I”-nya masih akan
lebih panjang?
Teori-teori yang kelihatannya nonekonomi kini
juga sudah diakui menjadi bagian dari teori ekonomi. Misalnya trust.
Kepercayaan. Tidak adanya trust sudah bisa mengganggu ekonomi. Misalnya lagi
”persepsi”. Kelihatannya kata itu jauh dari teori ekonomi. Tapi, persepsi
bahwa kita akan mampu atau tidak akan mampu juga berpengaruh pada ekonomi.
Misalnya lagi signal atau conflicting signal.
Tidak satunya kata dan perbuatan. Tidak satunya kata seseorang dengan orang
yang lain.
Kelihatannya itu bukan teori ekonomi, tapi
sudah akan langsung berpengaruh pada ekonomi.
Dan banyak lagi.
Lalu, di mana hope-nya?
Tetap ada.
Indonesia sebenarnya tidak mudah jatuh. Negeri
ini sudah terlalu besar untuk mudah jatuh atau dijatuhkan begitu saja. Secara
ekonomi, Indonesia juga telanjur besar. Dalam kata-kata singkat, sebenarnya
Indonesia ini sudah termasuk too big to
fail.
Tapi, bukan berarti kita boleh bersikap
sembrono. Atau menganggap persoalan kelesuan ini hanya remeh-temeh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar