Meredam Risiko Ketidakpastian
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina Guru Besar FEB
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2015
Banyak penelitian di berbagai negara dan kawasan yang
menunjukkan aktor ekonomi akan mengambil posisi wait and see ketika berhadapan situasi yang penuh ketidakpastian.
Mereka hanya akan mulai meningkatkan investasi atau konsumsi apabila dirasa
ada kepastian yang memadai, khususnya investment
return bagi pengusaha dan job-security
bagi konsumen. Menahan diri untuk berinvestasi atau berbelanja sampai melihat
kejelasan perekonomian suatu negara, lazim terjadi di saat seperti ini.
Akibat dari ini, siklus ekonomi akan semakin melambat karena mesin ekonomi
baik dari sisi produksi maupun konsumsi kian terbatas ruang ekspansinya.
Bagi pengambil kebijakan ekonomi, rumusan kebijakan untuk
meredam persepsi ketidakpastian sangatlah diperlukan agar optimisme yang
mendorong produksi dan konsumsi pulih kembali. Mengelola risiko
ketidakpastian dan optimisme para pelaku ekonomi menjadi tantangan utama
ekonomi saat ini. Risiko ketidakpastian saat ini dihadapi tidak hanya oleh
Indonesia tetapi hampir semua negara.
Sekarang ini sangat sulit untuk memprediksi secara persis ke
mana perekonomian dunia dan regional akan bergerak. Bahkan, banyak lembaga
internasional seperti Bank Dunia, IMF, OECD, dan ADB yang terus-menerus
merevisi secara berkala target pertumbuhan ekonomi dunia, regional maupun
suatu negara. Terintegrasinya perekonomian dunia baik melalui mekanisme
perdagangan, lalu lintas modal maupun investasi-fisik membuat gejolak di
suatu negara berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, ke negara atau
kawasan lain.
Dinamika dan kompleksitas ekonomi global semakin meningkat dan
membuat ketidakpastian semakin tinggi. Dampak psikologis maupun ekonomis akan
ketidakpastian perlu diantisipasi agar efeknya tidak memperburuk kondisi
ekonomi domestik. Salah satu sumber ketidakpastian perekonomian global adalah
ketidakpastian keputusan The Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan di
Amerika Serikat.
Pertemuan terakhir Komite Pasar Terbuka Bank Sentral AS (FOMC)
pada 16-17 Juni 2015 mengindikasikan penyesuaian suku bunga akan dilakukan
tahun ini namun tidak secepat dugaan awal. Gubernur Bank Sentral AS Jannet
Yallen menyatakan, ”No decisions has
been made by the committee about the right timing of an increase, but
certainly an increase this year is possible.” Pernyataan ini diartikan
kenaikan suku bunga tidak akan terjadi pada Juni tetapi menciptakan spekulasi
dilakukan pada September tahun ini.
Bagi Indonesia, situasi ini berarti memperpanjang masa
ketidakpastian (extending uncertainty
period) dan membuat kita harus menghadapi gejolak di pasar uang dan pasar
modal sampai akhir tahun ini. Akibatnya, baik BI maupun pemerintah harus
pandai dalam mengelola ekspektasi dari para pelaku pasar. Dari sisi
eksternal, ekonomi Indonesia masih akan menghadapi penurunan harga dan
permintaan sejumlah komoditas ekspor nasional.
Menurunnya, kinerja negara tujuan ekspor utama seperti China
membuat permintaan ekspor komoditas nasional mengalami tekanan. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I/2015 ekspor nonmigas nasional
tercatat sebesar USD33,43 miliar atau turun 8,23% dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu. Tercatat sejumlah komoditas seperti batu bara, kakao,
CPO, dan karet mengalami penurunan harga internasional.
Kapan harga komoditas dunia akan kembali pada posisi yang
tinggi juga menambah kadar ketidakpastian bagi produsen dalam negeri. Selain
itu, perlambatan kinerja industri berbasis sumber daya alam juga meningkatkan
rasio tidak tercapainya kinerja perbankan yang memberikan porsi pembiayaan
cukup besar ke sektor ini. Kondisi ekonomi internasional dan domestic membuat
posisi wait and see dari para
pelaku industri. Hal ini tecermin dari data BPS tentang neraca perdagangan
Mei 2015.
Meskipun terdapat surplus neraca perdagangan secara akumulatif
Januari-Mei 2015 sebesar USD3,75 miliar, surplus ini lebih disebabkan
penurunan yang lebih tajam dari impor dibandingkan penurunan ekspor. Impor
bahan baku dan barang modal Januari-Mei 2015 turun sebesar 18,91% dan 14,62%
dibandingkan dengan tahun lalu.
Dengan masih terbatasnya kapasitas industri dalam negeri untuk
substitusi- impor, penurunan impor bahan baku dan barang modal menjadi
indikasi awal persoalan baru bagi industri dalam negeri. Tren depresiasi nilai
tukar mata uang rupiah akan meningkatkan biaya produksi. Kondisi ini
diperparah dengan melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga di
dalam negeri. Dari sisi konsumsi, sejumlah data menunjukkan adanya
perlambatan.
Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia baru-baru ini
menunjukkan nilai saldo bersih tertimbang (SBT) hanya sebesar 13,7% pada
kuartal I/2015 dan lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya
sebesar 84,0%. Perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi disumbang oleh
penurunan kredit multiguna sebesar 39,5% dan kredit kendaraan bermotor 3,2%.
Sementara sejumlah data sektor riil yang dikeluarkan oleh
beberapa asosiasi seperti ritel, properti, dan Gaikindo juga menunjukkan
perlambatan dari sisi konsumsi. Besar kemungkinan yang terjadi lantaran
posisi wait and see konsumen yang berujung pada penundaan konsumsi yang
membuat terjadinya penurunan konsumsi dalam negeri.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tren pertumbuhan
dana pihak ketiga (DPK) lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit
selama kuartal I 2015. Dibandingkan kuartal sebelumnya, pertumbuhan kredit
kuartal I 2015 sebesar 0,15% sementara pertumbuhan DPK mencapai 2,04%. Data
ini menunjukkan kecenderungan konsumen menahan konsumsi dan cenderung
waitandsee dengan menaruh dana mereka ke tabungan.
Ditengah situasi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian,
otoritas moneter dan fiskal semakin dituntut untuk membuat kebijakan yang
mampu meredam kecemasan para pelaku pasar terhadap prospek perekonomian. Dari
sisi fiskal, kebijakan yang mendorong daya beli masyarakat melalui keringanan
pajak atau stimulus fiskal ke sejumlah industri padat karya perlu dilakukan.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif listrik golongan 450
volt ampere (VA) dan 900 volt ampere (VA) untuk tahun depan
perluditinjauulang. Meski dampak ekonomis rencana ini baru dirasakan tahun
depan, dampak psikologis rencana ini akan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Rencana kebijakan ini akan semakin menurunkan optimisme konsumen tentang daya
beli mereka di tahun depan.
Justru yang sekarang ini kita butuhkan adalah membangun
optimisme baik bagi produsen maupun konsumen untuk memitigasi kecemasan
terhadap ketidakpastian ekonomi global dan nasional. Kita perlu memberikan
stimulus kepada produsen dan konsumen untuk keluar dari posisi wait and see.
Membangun sentimen positif melalui kebijakan yang bersifat
relaksasi (pelonggaran LTV, pengenaan barang mewah tidak kena pajak, tax holiday) maupun peningkatan
kemudahan perizinan investasi perlu dipercepat. Stimulus kepada UMKM maupun
industri padat karya juga perlu segera dikeluarkan oleh pemerintah untuk
membantu meringankan beban akibat fluktuasi nilai tukar, beban cost of fund, dan tekanan daya beli
masyarakat yang masih tinggi.
Sementara itu, kebijakan yang berpotensi menurunkan optimisme
dan semakin meningkatkan kecemasan para pelaku pasar perlu dihindari untuk
meredam risiko ketidakpastian ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar