Atasi Pelemahan Rupiah dan Ekonomi
Umar Juoro ; Senior Fellow CIDES
(Center
for Information and Development Studies) dan The Habibie Center
|
KOMPAS, 23 Juni 2015
Nilai rupiah
terdepresiasi cukup dalam, 7,7 persen (ytd). Secara eksternal rencana Bank
Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga, mendorong investor
asing menjual obligasi Surat Utang Negara dan saham.
Indeks pasar modal
turun sebesar 5,6 persen (ytd). Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah 10 tahun naik hampir 1
persen (ytd) menjadi 8,7 persen. Tambahan lagi pembayaran cicilan dan bunga
utang swasta serta impor, terutama minyak, menambah tekanan terhadap rupiah.
Prospek ekonomi yang menurun juga makin menekan nilai rupiah.
Pelemahan rupiah
Ketika kepercayaan terhadap
penentu kebijakan ekonomi menurun,
baik dalam menstabilkan nilai rupiah maupun mengatasi pelemahan
ekonomi, tekanan terhadap rupiah semakin besar dengan investor menjual
obligasi dan saham. Korelasi paling kuat adalah antara pelemahan nilai rupiah
dengan peningkatan yield SUN 10 tahun. Akibatnya nilai rupiah semakin
terdepresiasi.
Pelemahan rupiah telah
meresahkan pelaku ekonomi dan mengena kepada aspek fundamental perusahaan,
apalagi pada saat kinerja perusahaan sedang melemah. Sementara itu, dengan
masih lemahnya ekonomi dunia, pelemahan rupiah tidak dapat mendorong ekspor.
Bank Indonesia (BI)
sebagai penjaga utama stabilitas nilai rupiah, tidak dapat berbuat banyak
menghadapi pelemahan rupiah, pada saat defisit transaksi berjalan masih
relatif tinggi sekitar 2,8 persen dari produk domestik bruto. Dengan cadangan
devisa yang sangat terbatas sekitar 110 miliar dollar AS, BI tidak dapat
melakukan intervensi secara signifikan. BI juga tak dapat membeli obligasi
yang dilepas investor secara berarti, seperti masa lalu.
Berbeda dengan bank
sentral lain, seperti India, Korea, dan Australia yang menurunkan suku bunga
untuk menstimulasi ekonomi, BI tidak dapat melakukannya karena akan semakin
menekan nilai rupiah. Bahkan jika The Fed menaikkan suku bunga, BI
kemungkinan besar juga akan menaikkan BI Rate.
Inflasi juga meningkat
menjadi 7,1. Persen. Memasuki Ramadhan, dorongan inflasi akan lebih tinggi
lagi. Kemampuan untuk mengendalikan inflasi terutama dalam menjaga stabilitas
harga pangan kembali bermasalah, dengan ketidakjelasan dalam kebijakan
pengendalian harga, antara impor dengan mengandalkan pasokan dalam negeri.
Keharusan menggunakan
rupiah untuk transaksi dalam negeri adalah baik untuk mengurangi permintaan
dollar. Namun, implikasi negatifnya (unintended
consequences) bisa justru semakin
melemahkan rupiah dan mendorong inflasi paling tidak dalam jangka pendek.
Penggunaan rupiah
membuat perusahaan melakukan hitungan biaya bunga dalam rupiah yang menjadi
lebih besar dan antisipasi depresiasi yang menambah tekanan kepada rupiah
(biaya bunga dalam rupiah ditambah perkiraan depresiasi paling tidak sekitar
15 persen).
Jika depresiasi
berlanjut seiring dengan pelemahan ekonomi,
tidak saja akan menaikkan kredit bermasalah (NPL), tetapi juga
mendorong debitor untuk memilih jalan "ngemplang" (default)
daripada restrukturisasi memanfaatkan lemahnya perangkat hukum. Akibatnya
resiko sistemik akan meningkat.
Rencana BI
melonggarkan LTV (loan to value) atau menurunkan uang muka kredit rumah dan
kendaraan bermotor membantu penjualan, namun kemungkinan pengaruhnya relatif
terbatas. Masyarakat berpendapatan tinggi tidak terpengaruh dengan
pelonggaran ini karena tidak menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah
(KPR). Namun, bermanfaat bagi pembeli rumah pertama.
Pelemahan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi
menurun menjadi 4,7 persen pada triwulan I-2015 dari 5,02 persen pada
triwulan IV-2015. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang menjadi basis utama
ekonomi juga menurun. Penjualan eceran sekalipun masih tumbuh positif, tetapi
turun cukup tajam. Penjualan kendaraan bermotor dan semen bahkan
pertumbuhannya negatif.
Pertumbuhan investasi
menurun. Belanja pemerintah turun lebih dalam lagi. Padahal, investasi yang
dihadapkan dapat mendorong pemerintah, dan belanja modal pemerintah sebagai
pemberi stimulasi.
Pertumbuhan kredit
perbankan juga menurun menjadi sekitar 10 persen. Sementara itu, dana pihak
ketiga meningkat sekitar 14 persen. Ini menunjukkan kehati-hatian perbankan
dalam menyalurkan kredit di satu sisi dan di lain sisi menurunnya permintaan
kredit karena melemahnya perekonomian.
Di sisi lain, otoritas
fiskal belum melakukan langkah optimal untuk menstimulasi ekonomi yang
melemah. Pesan untuk menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan naik
sekitar 30 persen lebih keras terdengar daripada insentif pajak, seperti
deviden yang diinvestasikan, insentif pajak untuk sektor tertentu, dan
penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk impor tertentu.
Pelaku ekonomi dan masyarakat tampak sangat khawatir menjadi sasaran pajak
sehingga berpengaruh menurunkan aktivitas ekonomi dan bisnis mereka.
Sayangnya kementerian
sektoral sibuk dengan diri sendiri dengan komplikasi pelelangan jabatan
tinggi dan pemberesan internal yang masih membutuhkan waktu sebelum belanja
modal dapat langsung menstimulasi perekonomian.
Kebijakan bertentangan
Semestinya pelemahan
ekonomi ini tidak perlu terjadi cukup dalam jika tidak terjadi kebijakan
pemerintah yang saling bertentangan satu sama lain, seperti target penerimaan
pajak yang tinggi di satu sisi dengan stimulasi berupa insentif pajak di sisi
lain. Begitu pula dalam keterlambatan dalam proses seleksi dan pengisian
pejabat tinggi yang memperlambat realisasi belanja modal. Target pembangunan
infrastruktur juga terlalu ambisius, seperti proyek pembangkit listrik 35.000
megawatt. Upaya menarik investasi di satu sisi dan regulasi yang menghambat
di sisi lain.
Kepercayaan terhadap
penentu kebijakan ekonomi menurun, terutama karena target yang ambisius yang
kemungkinan besar tidak akan tercapai. Target ini semestinya dikoreksi secara
lebih realistis sesuai dengan kemampuan melaksanakannya.
Tentu saja membuat
target yang lebih realistis akan membuat menteri yang bersangkutan tampak
tidak mampu di depan presiden, yang dapat berakibat pada pergantian
dirinya. Namun, terhadap pelaku
ekonomi target yang realistis akan memberikan gambaran lebih nyata dan
mendorong kerja sama.
Kepercayaan terhadap
pimpinan nasional, terutama bahwa presidenlah yang menentukan pemerintahan,
tidak dalam bayang-bayang ketua partai di luar pemerintahan, sangatlah
penting. Terbuka juga kemungkinan untuk memperluas dan memperkuat koalisi
penguasa (ruling coalition).
Rencana perombakan (reshuffle) kabinet tampaknya akan
lebih banyak pengaruh positifnya daripada negatif, dengan harapan kabinet
yang diisi figur yang lebih berkemampuan dan berpengalaman serta sinergi yang
lebih baik.
Sebaiknya BI dan
Kementerian Keuangan lebih aktif dalam menjaga stabilitas harga SUN, seperti
yang pernah dilakukan sebelumnya. SUN yang dijual dapat dibeli BI dengan
dukungan Kemenkeu dengan kurs dollar-rupiah tertentu. Langkah ini sekaligus
untuk menstabilkan nilai rupiah. Volatilitas yield obligasi dan nilai rupiah juga dapat
diminimalkan.
BI bagaimana pun harus
menjaga stabilitas nilai rupiah dengan membentuk perkiraan (ekspektasi)
depresiasi tidak lebih dari 5 persen. Hal ini penting untuk mengembalikan
kepercayaan.
Ekonomi diutamakan
Pada saat ekonomi
melemah, maka kebijakan fiskal semestinya mengutamakan stimulasi ekonomi.
Peningkatan penerimaan pajak penting untuk membiayai pembangunan, namun
memaksakan pada saat ekonomi menurun menjadi semakin melemahkan ekonomi.
Reformasi pajak semestinya dilakukan secara sistematis dan dalam jangka
panjang bukan dengan berbagai kejutan.
Kekurangan penerimaan
pajak dapat diatasi dengan penerbitan obligasi dan pinjaman dari lembaga
multilateral.
Pengembangan industri
manufaktur diarahkan kepada pengembangan rantai pasokan global (global supply chain).
Peningkatan kandungan
lokal dan produk dalam negeri disesuaikan dengan tahapan kemampuan,
konsisten, tidak berubah- ubah, dan tidak justru menghambat pertumbuhan
industri itu sendiri.
Dengan kemungkinan
tidak tercapainya penerimaan pajak dan ruang fiskal dari penghapusan subsidi
BBM tidak sebesar perkiraan semula,
maka pembangunan infrastruktur haruslah selektif, terutama yang mendorong
investasi dan mengatasi hambatan distribusi, serta mempunyai kemungkinan
besar untuk terlaksana dengan baik.
Dengan rumit dan
lambannya birokrasi serta akuntabilitas yang ketat, pembangunan infrastruktur
akan lebih cepat dilakukan dengan PPP (public
private partnership), dengan melibatkan BUMN (dengan penambahan modal)
dan swasta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar