Rabu, 24 Juni 2015

Melawan Bayang-Bayang Kekalahan

Melawan Bayang-Bayang Kekalahan

Ario Djatmiko  ;   Penerima Satyalencana ”Ksatria Airlangga”
pada Peringatan 100 tahun Pendidikan Dokter di Surabaya
                                                         JAWA POS, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP orang ada zamannya, setiap zaman ada orangnya.” Begitu kata orang bijak. Pesan itu membuat saya merasa enteng saat menerima undangan acara pelepasan purnabakti Fakultas Kedokteran (FK) Unair. Tokoh baru memang harus muncul di setiap zaman. Dialah yang menghadirkan perubahan di setiap institusi dan bangsanya. ”Tanpa kemampuan untuk berubah, kita punah,” pesan Darwin. Benar, kegagalan melahirkan orang baru yang unggul dan mampu bersaing adalah awal tereliminasinya sebuah organisasi.

Sebutan purnabakti adalah semacam eufemisme dari kata pensiun. Banyak makna terkandung di sana. Hakikat pensiun adalah perubahan posisi, dari pelaku menjadi penonton. Yang bertanggung jawab memenangi pertarungan adalah sang pelaku, bukan si penonton. Lantas, bisakah saya yang kini jadi penonton melepaskan diri dari tanggung jawab, di saat anak didiknya bertarung di arena Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?

Nilai Pendidikan     

Knowledge economy adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk dapat menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Di sini level pertempurannya terletak pada kemampuan perusahaan dan negara mengembangkan pengetahuan dan teknologi serta mempersiapkan SDM-nya. Daya saing industri, apakah itu manufaktur, jasa, perkebunan, pertanian, otomotif, tambang, musik, atau produksi apa saja, sepenuhnya terletak pada penguasaan teknologi.

Di industri kesehatan, kemajuan teknologi medisnya dikatakan dua kali lebih cepat dibanding sebagian industri lain. Terobosan teknologi medis telah menembus batas yang tak terbayangkan. James Canton menulis: ” New knowledge needs new doctors, goodbye primitive medicine.” Terasa benar, zaman baru telah hadir dan mengancam.

Menarik, penemuan biochip untuk mengukur reaksi obat pada liver tidak hanya dibahas di forum ilmiah kedokteran. Tetapi juga menjadi berita di majalah The Economist (edisi 13–19 Juni 2015). Itu menandakan begitu pentingnya perkembangan teknologi medis bagi dunia industri.

Bicara tentang ilmu pengetahuan dan teknologi berarti kita bicara tentang pendidikan tinggi. Sebab, pengetahuan, teknologi, dan manusia terampil pengguna teknologi modern adalah produk pendidikan tinggi. World University Rankings kini sering dibicarakan. Sebab, di sanalah dunia usaha dan negara berlindung dalam menghadapi persaingan hebat ini.

Pertanyaannya, di level mana (FK) Unair mampu bicara? Tampil sebagai technology producer atau tetap sebagai technology consumer? Seberapa jauh (FK) Unair mempersiapkan anak didiknya agar bisa diterima bekerja di dunia medis yang ultramodern ini?

Industri Pendidikan

Saat pertama masuk FK Unair 46 tahun lalu, saya yakin di sanalah tempat terbaik membangun manusia Indonesia. Tetapi, kini World University Rankings menunjukkan hal berbeda. Banyak tempat lain yang lebih baik. Riset SCIMAGO January 2015 mencatat, Unair berada di ranking ke-8 di Indonesia. Tidak masuk 300 universitas terbaik Asia dan 1.000 universitas terbaik dunia.

Surprise! Universitas Brawijaya (Malang) dan UNS (Solo), yang dulu merupakan pilihan kedua atau ketiga, kini bercokol di atas Unair di peringkat ke-4 dan 6. Sungguh pertanda buruk! Terasa galau di hati, benarkah saya telah memberikan yang terbaik bagi Unair? Tak perlu dijawab! Yang dibutuhkan saat ini adalah jawaban dari: siapa yang mampu membawa Unair naik? Tak bisa dielakkan, zaman telah berganti. Dunia pendidikan kini memasuki era korporasi-industri.

Produknya harus jelas! Produk universitas (baca: teknologi baru dan manusia terampil) harus match dengan kebutuhan pasar dan siap untuk terus bersaing.
John Kotter menulis tiga syarat survive di era baru ini. Pertama, perusahaan harus terus-menerus melakukan bench marking. Atau kita akan menghasilkan produk yang kedaluwarsa. Kedua, intensif melakukan outsourcing and offshore. Artinya, bila tenaga lokal tidak dapat diandalkan lagi dalam keilmuan dan teknologi, cepat datangkan tenaga baru dari luar. Ketiga, memilih staf berbakat, dialah sang pembangun. Negeri jiran telah lama melakukan perubahan, sementara kita tidak banyak berubah.

Tidak bisa lagi dunia pendidikan dibangun di atas budaya birokratis kuno dan feodalistis yang penuh nepotisme. Tenaga akademis yang tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak mampu membawa hal baru tidak perlu berlama-lama di sana. Harus segera dibangun lembaga yang terbuka, produktif, adaptif, dan bermobilitas tinggi.

Richard O Sinnott, lulus Bachelor University of East Anglia Norwich, meraih MSc dan PhD di bidang software dari Stirling University Scotland, dikenal sebagai ilmuwan dahsyat kelas dunia, memimpin penelitian di berbagai negara. Posisi terakhirnya eScience director di Glasgow University. Karya ilmiahnya berderet di jurnal elite dunia.

Tahun 2010, Melbourne University, perguruan tinggi terbaik Australia, menunjuk dia sebagai direktur eResearch. Masa depan eResearch Melb-Uni dipertaruhkan di pundaknya. Artinya, jabatan penting di Melb-Uni tidak harus diduduki alumnus MelbUni. Meritokrasi berjalan sehat, reputasi menjadi pertimbangan utama, tidak ada primordialisme dan nepotisme.

Jadwal pertarungan anak-anak kita di MEA kian dekat. Jonathan Ledgard mengingatkan, ” The new civilization is coming! Exit zombie from the engineer.”
Sang purnabakti bergidik. Selamat datang, MEA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar