Pertahanan nan Hilang Arah
Connie Rahakundini Bakrie ; Direktur Indonesia Maritime Studie;
Pengajar
di Departemen Hubungan Internasional President University
|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2015
Ketika Presiden Jokowi memperkenalkan paradigma Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) dengan keinginannya menjadikan wilayah
perairan Indonesia sebagai wilayah paling aman di dunia bagi semua aktivitas
laut, seluruh jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi diminta mendukung
upaya tersebut.
Negeri ini seketika tersihir dengan sejarah kedigdayaan
maritim nenek moyangnya. Semua hal yang bernafaskan laut mendadak menjadi
demikian sexy. Semua kementerian tanpa terkecuali berlomba menerapkan visi
misi ”maritim” sesuai persepsi, kepentingan, dan keunggulan masing-masing,
kecuali Kementrian Pertahanan. Abad ke-21 adalah ‘’World Ocean Century ”
sehingga semua kawasan dan negara-negara maju berlomba menunjukkan
kemampuannya untuk menghadapi abad ini.
Indonesia sesungguhnya dipersiapkan Presiden Jokowi dengan
mencetuskan paradigma PMD untuk mempersiapkan diri agar mampu berpartisipasi
secara setara dengan negara-negara lain, utamanya dalam kompetisi akses ke
pengamanan sumber daya, mampu berperan sebagai stabilisator kawasan, dan
berpartisipasi dalam keamanan rute perdagangan internasional.
Hanya dengan armada AL didukung perlindungan kekuatan udara
yang canggihlah yang dapat menjamin, tidak saja keutuhan dan kedaulatan
wilayah, tetapi juga melindungi ketersediaan sumber daya alam dari samudera
dan lembah daratan nan jauh, untuk mewujudkan kepentingan nasional
berkelanjutan bangsa ini. Posisi ”diam” Kemhan dalam menyikapi PMD membawa
dampak magnitudial dalam ranah pertahanan keamanan kita.
Akibatnya, TNI terlihat hilang arah dalam menetapkan visi-misi
pembangunan struktur kekuatan dan pengembangan kemampuannya ke depan.
Mengapa? Karena, paradigma PMD menuntut TNI menjadi militer yang menghadap
keluar (the outward looking military ) . Berbanding terbalik dengan TNI era
Presiden Soeharto hingga era kepemimpinan ”1000 friends 0 enemy” Presiden SBY
yang menghadap ke dalam (the inward
looking military).
TNI saat ini seakan terjebak dalam kebingungan untuk menjadi
tentara inward looking dengan terus
mempertahankan pembangunan kekuatan ala minimum
essential forces (MEF) yang berdasarkan keterbatasan anggaran yang
tersedia, atau menjadi tentara outward
looking –yang suka atau tidak–harus dibangun berdasarkan perhitungan
kemampuan kekuatan berbasis kapasitas dan kapabilitas, untuk menjadi militer
sempurna dari sebuah negara yang telah mencanangkan dirinya sebagai PMD.
***
Paradigma PMD harus didukung kesiapan TNI AL yang memiliki
aspek materi ideal berupa sistem senjata armada terpadu (SSAT) yaitu KRI,
pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Kapabilitas perang udara sebagai
payung utama kekuatan AL yang didukung oleh kemampuan untuk melaksanakan
pertahanan ( point of defence ) antiserangan udara, rudal antiserangan udara,
serta sarana deteksi udara untuk memperoleh kemampuan dalam mengamankan
wilayah kedaulatan.
Selain itu perlu dipenuhi sarana prasarana pendukung
pelaksanaan operasi, terbentuknya daerah operasi yang mampu mengefektifkan
pola operasi pengamanan negara kepulauan, hingga pengamanan perairan kawasan,
serta terwujudnya pangkalan TNI AL yang bersinergi dengan pangkalan TNI AU di
wilayah Indonesia hingga ke wilayah negara kawasan, yang kelak dengan segera
terbentuknya ASEAN Navy akan bahu-membahu melaksanakan operasi keamanan
maritim kawasan.
Sesuai UNCLOS 1982 Indonesia memiliki lautan seluas 5,8 juta
km2. Terlahir dengan posisi silang dunia serta memiliki 12 selat serta
chokepoints strategis, maka jelas wilayah perairan kita memiliki tingkat
kerawanan sangat tinggi.
Ada potensi dalam penyalahgunaan sea lanes of communications (SLOC) dan sea lanes of trades
(SLOT), aspek ancaman militer perang maupun nonperang, termasuk spill over
dari kekuatan yang sedang berlomba di kawasan mengatas namakan kepentingan
nasional masingmasing seperti China dan AS diikuti middle power states ; Jepang
, India, dan Australia.
***
Alasan mendasar mengapa TNI seolah gamang menyikapi paradigma
PMD, utamanya terletak pada ketidakmampuan Presiden Jokowi hingga hari ini
untuk menepati janjinya mendirikan National Security Council (NSC) yang
sesungguhnya sangat krusial untuk menjalankan roda kebijakan pemerintahan
secara terarah dan bersinergi.
NSC sangat krusial untuk dibentuk karena di sinilah Presiden,
menhan, dan menlu sebagai aktor utama pertahanan keamanan negara dapat secara
bersama menyusun Strategi Keamanan Nasional yang mencakup ruang geopolitik
dan geoekonomi sebagai dasar menetapkan; 1. Tujuan dan prioritas kepentingan
nasional, 2. Arah kebijakan pertahanan keamanan, 3. Integrasi kekuatan
nasional mencakup kementrian terkait agar roda organisasi serta kinerja
pemerintah dapat terarah dan tertata.
Berakar dari Strategi Raya Keamanan Nasional inilah baru
kemudian dapat dibuat Strategi Pertahanan Nasional oleh Kemhan, baik yang mencakup
ruang politis (karena melibatkan software penggunaan diplomasi dari Kemlu)
juga mencakup ruang militer (karena pelibatan TNI sebagai hardware dalam
mencapai kepentingan politik dan diplomasi).
Adalah tugas Kemhan untuk mengeluarkan strategi pertahanan dan
cara pencapaiannya, proses imple-mentasi, serta manajemen risiko atas
strategi yang ditetapkan. Dari titik inilah TNI kemudian dapat menjabarkan
ruang operasi militer mereka dengan menyusun National Military Objectives .
Di dalamnya tujuan dan tugas TNI serta kapasitas dan
kapabilitas yang ingin dicapai ditentukan. Pada level ini penilaian ancaman
mencakup risiko strategis yang akan dihadapi dapat terukur, termasuk dampak
fluktuasi konstelasi politik keamanan kawasan dan internasional, hingga TNI
dapat menentukan operasi sesuai spesifikasi matra dan juga pola operasi matra
gabungan yang harus diwujudkannya.
***
Perumusan tujuan, kebijakan, dan perencanaan militer kita
menjadi hilang arah karena TNI dengan PMD mendadak harus bertransformasi dari
militer yang bersifat defensive active (menunggu diserang baru bertindak)
menjadi militer yang offensive passive (mampu bertindak sigap saat hendak
diserang).
Mabes TNI sebagai institusi yang bertugas menyusun petunjuk
pelaksanaan operasi dan mabes angkatan sebagai institusi yang melaksanakan
tugas pembinaan unsur di TNI AL, AD, serta AU jelas menjadi tertatih-tatih
dalam merancang upaya meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan perannya.
Selain Kemhan tidak menentukan dengan jelas dan tegas ke mana
paradigma PMD akan membawa TNI, Kemhan juga tidak pernah menetapkan ancaman
yang akan dihadapi termasuk kemungkinan spill over berbentuk operasi militer
perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP) terkait konstelasi
politik kawasan dan Laut China Selatan. Hilang arah dalam institusi militer
kita sesungguhnya dapat disiasati jika saja kita bersepakat untuk berpatokan
pada konsep gelar dan postur TNI AL yang secara universal sudah memiliki
peran militer, polisionil, dan diplomasi.
Konsep ini dapat dijadikan acuan akan ke mana dan seberapa
besar tiga matra kita akan dibangun. Dengan dasar ini, kapasitas dan
kapabilitas TNI dapat disesuaikan dengan struktur kekuatan dan gelar yang
harus dimiliki kemudian oleh masing-masing matra.
Pertanyaannya, apakah dengan PMD kemudian TNI AL cukup
dibangun sesuai konsep ”Samudera Laut Cokelat” dengan radius gelar kekuatan
yang diterapkan mencakup hanya seluruh ruang perairan Indonesia hingga batas
ZEE? Atau harus menjadi AL ”Samudera Laut Hijau” yang berkemampuan mendukung
terwujudnya pelaksanaan Political Security Community ASEAN 2015 di mana gelar
kekuatannya sudah harus melampaui ZEE Indonesia hingga batas 200 mil laut
negara-negara terluar ASEAN?
Atau, malah menjadi AL ”Samudera Laut Biru” yang mampu
serentak dan rutin berada di tiga samudera dunia untuk menunjukkan
kepentingan, kemampuan, dan citra bangsa di dunia internasional? Strategi
maritim terkait bukan saja pada penggunaan dan pemanfaatan laut, tetapi juga
pada penguasaan akan laut, termasuk mencegah musuh atau lawan untuk
menggunakannya.
Pengerahan AL sangatlah mengacu pada kemampuan serangan udara,
serangan amfibi, bombardment , blokade atau pencarian data melalui
pengintaian. Karena itu, PMD juga membawa perubahan mendasar pada Doktrin
TNI. Sebagai contoh, doktrin TNI AL yaitu Strategi Perang Laut Nusantara
masih tepat digunakan untuk tahap AL Samudera Laut Cokelat, tetapi tidak lagi
tepat untuk TNI AL sesuai tuntutan PMD yang kapabilitasnya harus menjadi AL
Samudera Laut Hijau dan Biru.
Strategi ini memerlukan pelibatan dari kedua matra lainnya di
mana gelar wilayah serta posturnya akan mengikuti ‘maritime map’ sesuai
tahapan warna armada AL tersebut. Karena itu, sejalan dengan itu, KASAU harus
dapat memicu ’ Air Force to Air Force Talk ‘ yang mencakup wilayah ASEAN Air
Defence Identification Zone(ADIZ) di luar ADIZ Indonesia sendiri yang masih
menjadi pekerjaan rumah kita.
Di lain sisi, TNI AD juga harus bersiap diri dengan
kemungkinan meluasnya cakupan wilayah ”teritorial” mereka untuk berlatih dan
beroperasi di daratan negara-negara ASEAN. Pembangunan struktur kekuatan TNI
berbasiskan perencanaan memang akan sulit tanpa sebuah momentum peluang.
Paradigma Indonesia sebagai negara PMD bersamaan dengan segera
terwujudnya ASEAN Community 2015adalah peluang yang tidak boleh dibiarkan
sia-sia jika kita ingin memiliki arah dan tahapan jelas akan konsep
pembangunan kekuatan dan pengembangan gardagarda terdepan samudera,
dirgantara, dan daratan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar