Gembrot
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 22 Juni 2015
Bukan kematian yang membuat seorang penakluk
runtuh, melainkan kegemukan. Itulah yang terjadi pada Raja William ketika ia
berusia 59 tahun.
Pada pagi di awal September 1087 itu, di
sebuah pertempuran untuk menaklukkan sebuah kota Prancis, Baginda terlontar
dari atas kudanya. Perutnya yang membuncit menabrak bagian depan pelana dan
ia tak bisa dengan tangkas menjaga keseimbangan. Ia terjungkal dan tewas.
Masalah yang timbul tak berhenti di situ.
Ketika pemakaman dimulai, ternyata sarkofagus batu yang disiapkan untuknya
terlalu sempit. Ketika para padri dan petugas mencoba menjejalkan tubuh
gembrot itu agar bisa masuk peti mati itu, perut jenazah meletup. Bau busuk
menebar. Para pelayat cepat-cepat menyelesaikan upacara sambil menahan
muntah.
Mungkin sejak itu orang berhenti menghubungkan
tubuh besar dengan kewibawaan seseorang-setidaknya dalam kasus William Sang
Penakluk.
Berkuasa di Inggris dan Normandia selama
bertahun-tahun, mula-mula ia mungkin merasa bahwa tubuhnya yang makin memuai
punya aura tersendiri. Tapi akhirnya ia juga sadar: ada yang salah dengan
kegembrotan itu. Raja Philip dari Prancis menyamakan perut Raja Inggris itu
dengan perut perempuan hamil tua. Dan ia tahu itu bukan sebuah pujian. Ia,
seorang raja yang buta huruf, mencoba diet dengan ngawur: ia mengganti
makanan dengan minuman keras.
Tapi ia memang hidup di sebuah zaman dan
sebuah kebudayaan yang memandang gemuk, bahkan gembrot, secara tak konsisten.
Ketika bencana kelaparan masih sering terjadi, orang Eropa menafsirkan
kegemukan dan pinggang tebal sebagai indikator ketahanan dan akhirnya jadi
sebuah prestise.
Maka ada masanya ketika beruang yang tambun jadi lambang
kekuatan, meskipun kemudian, pada periode lain, lambang keunggulan yang tepat
adalah singa: ramping di pinggang, perkasa di dada.
Tapi juga bisa dikatakan, sebelum abad ke-15
Eropa, ukuran tubuh tak relevan untuk ditampilkan dalam narasi bersama.
Seperti ditunjukkan Georges Vigarello dalam (versi Inggris) The Metamorphosis
of Fat: A History of Obesity, dalam gambar-gambar yang dibuat di atas
permadani di abad ke-11 tentang para pendekar perang yang menaklukkan
Inggris, semua tokoh kelihatan seragam dalam ukuran dada dan
pinggang-termasuk William.
Tentu saja itu berubah ketika teknik
menggambar berubah dan pengertian perspektif ruang diperkenalkan dan
"realisme" jadi acuan utama. Sampai abad ke-13, penampilan manusia
dalam seni rupa Eropa tampaknya tak mempersoalkan perkara gemuk-kurus.
Sangat berbeda dengan citra yang tampak dalam
wayang kulit di Jawa selama berabad-abad. Bentuk dan ukuran badan punya
sugesti yang lebih jauh ketimbang perkara jasmani. Para kesatria, dengan
Arjuna sebagai tauladan, umumnya ramping-bahkan kerempeng. Yang gembrot
adalah pihak "lain": para gergasi, buto, atau orang sabrangan.
Dalam alam piktorial Jawa, kurus itu bagus; di dalamnya berlaku bukan
semata-mata penilaian estetis, tapi juga moral.
Sebenarnya dalam sejarah Eropa-dan sejarah
manusia umumnya-kecenderungan seperti itu juga selalu hadir. Terutama di
dunia di mana rohaniwan berpengaruh. Gemuk menandai sifat tamak dan doyan.
Kita dengan mudah bisa tahu bahwa menahan hasrat dan nafsu adalah tuntutan
moral yang ada di mana saja. "Berhentilah makan sebelum kenyang",
petuah Rasulullah yang terkenal (meskipun sering diabaikan), tak hanya
berlaku buat orang Islam.
Pada dasarnya agama-agama selalu menyiratkan
sikap risau kepada tubuh. Tubuh adalah sesuatu yang harus dicurigai. Memang
dengan demikian diakui yang jasmani punya peran yang besar dalam hidup, namun
ada keyakinan dengan mengendalikannya manusia akan jadi makhluk yang selamat.
Dari sinilah kita bertemu dengan pertapaan.
Bertapa menunjukkan sikap waswas kepada tubuh dan pada saat yang sama
menyiratkan tuntutan moral untuk mengendalikannya. Seperti halnya puasa.
Dalam arti ini, puasa adalah bertapa dengan cara yang bersahaja.
Upanishad, yang ditulis 800 tahun lebih
sebelum agama Kristen dan Islam, menyatakan bahwa memang ada yang menyatukan
puasa dan bertapa: laku menahan diri. Apa yang dikenal sebagai
"puasa", anâksayâna (demikian ditulis dalam khanda ke-5), adalah
brahmakarya, menahan nafsu dan hasrat. Begitu pula dengan apa yang dikenal
sebagai kehidupan pertapa aranyâna.
Jika ada beda yang besar antara bertapa dan
berpuasa, itu adalah dampaknya bagi kehidupan seseorang. Pada umumnya,
bertapa adalah sebuah transformasi kehidupan. Sementara itu berpuasa selama
sebulan umumnya tak mengubah lifestyle.
Apalagi di abad ke-21. Kini orang menahan
hasrat makan dan minum-seperti halnya diet-untuk kepentingan yang tak jauh
jaraknya dari cermin dan timbangan di kamar: untuk kesehatan, kecantikan,
atau kegantengan diri.
Tapi agaknya pintu perlu dibuka.
Di Amerika Serikat, di mana takaran makan dan
minum-dari popcorn di bioskop dan McDonald's di sudut jalan-makin membesar
dan makin menyebarkan wabah kegembrotan, puasa, dalam pelbagai variannya,
bisa punya pengaruh bagi perubahan sosial. Obesitas telah terbukti membebani
masyarakat dengan penyakit gula dan jantung yang merenggutkan tenaga-tenaga
yang produktif dari sekitar kita. Kegagalan menahan hasrat telah terbukti
ikut menyebabkan lingkungan hancur, bumi dikuras, dan laut dikalahkan untuk
melayani konsumsi yang tak habis-habisnya meningkat.
Lebih dari seribu tahun yang lalu William Sang
Penakluk mangkat; ia dikenang bersama perut gendutnya yang pecah di peti
mati. Gembrot, di zaman itu, adalah keberlebih-lebihan yang berakhir di kubur
masing-masing. Gembrot, di zaman kita, tak seperti itu lagi: ia tanda sebuah
kekalahan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar