Kamis, 11 Juni 2015

Ekologi Humanisme dalam Nawa Cita

Ekologi Humanisme dalam Nawa Cita

Thomas Koten  ;  Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 09 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

SUNGGUH menarik hal yang dikedepankan Presiden Joko Wido do pada acara peringatan Hari Ling kungan Hidup bertema Mimpi dan aksi bersama untuk keberlanjutan bumi di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (5/6). Sebagaimana diberitakan Media Indonesia (6/6), Presiden Jokowi menegaskan tidak ada kompromi untuk illegal fishing, illegal mining, dan illegal logging yang menyebabkan kerusakan lingkungan luar biasa.

Pernyataan sang presiden memberi sinyal kuat tentang political will yang serius bagi penegakan hukum di bidang lingkungan. Memang, pernyataan Presiden Jokowi, seperti yang dielaborasi Editorial harian ini, bahwa kapasitas bumi ini sangat memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia. 

Namun, itu tidak cukup untuk mengikuti kemauan segelintir orang yang serakah. Oleh karena itu, yang kita butuhkan ialah pengendalian diri yang dibarengi dengan kesadaran dan kemauan untuk merawat, serta mengawal dan mencintai lingkungan.

Artinya, suatu pengamatan tajam sang presiden yang penting untuk disimak dan tidak bisa disangkal kebenarannya ialah di bumi ini sungguh sudah terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.Suatu kondisi yang telah menjadi ancaman prematur kehidupan di bumi pada masa yang akan datang.

Sebenarnya, keseriusan Presiden Jokowi terhadap perbaikan lingkungan tersebut sudah dicanangkan dalam sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita. Dalam Nawa Cita, presiden sudah secara eksplisit memaparkan program lingkungan yang menyangkut penegakan hukum pemberantasan penebangan liar, pertambangan, dan penangkapan ikan yang ditempatkan di bawah misi penegakan hukum. Di samping itu, ada sektor kehutanan yang mendapat perhatian dengan cara rehabilitasi 100,7 juta hektare areal tidak berhutan, hutan tidak produktif, dan hutan kritis.

Artinya, dengan adanya program Nawa Cita, problem lingkungan hidup sudah direncanakan dan akan ditangani secara serius. Kementerian Lingkungan Hidup pun akan tetap sebagai kementerian yang memiliki anggaran cukup serta wewenang implementasi yang cukup luas karena lingkungan memiliki banyak aspek yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya.

Jika ditelusuri lagi, lingkungan kita tengah berada dalam krisis yang parah dari hulu hingga hilir, misalnya, pada musim hujan kebanjiran dan pada musim kemarau kekeringan. Sepanjang tahun kita seperti mengalami banjir, kekeringan, kehilangan sumber mata air, tanah longsor, asap, rembesan air laut, pencemaran air dan udara, serta kehilangan keanekaragaman hayati dan lenyapnya ketersediaan tanaman obat-obatan. Semua itu sudah masuk dalam tahapan yang mengancam kelestarian semesta, terutama kehidupan anak cucu kita.

Dalam sejumlah laporan, Indonesia menjadi negara dengan indikator kerusakan lingkungan hidup tertinggi di dunia, misalnya, Jakarta kota tercemar ketiga di dunia dan sungai Citarum merupakan sungai paling tercemar di dunia. Laju kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu 2000-2012 ialah 2 juta hektare per tahun, dengan kuantitas kerusakan hutan dari tahun ke tahun terus meningkat.

Sayangnya, selama ini, setiap kali mendapat laporan dan kritikan dari dunia interna sional atau LSM di dalam negeri, pihak lain selalu dijadikan kambing hitam. Padahal, ulah manusia Indonesia yang tidak peduli pada ling kungan dan rendahnya rasa hormat pada alam, serta tidak adanya visi ekologi dari pemerintah merupakan penyebab menurunnya daya dukung lingkung an dan hadirnya aneka bencana ekologi. Sikap itu pula yang mendorong manusia menggunakan teknologi untuk terus mengeksploitasi lingkungan.

Dengan kecanggihan teknologi, kawasan hutan disulap menjadi permukiman, industri, lahan pertanian, dan perkebunan. Di lain pihak, dana-dana rehabilitasi hutan dan penanggulangan bencana justru bergulir tidak tepat sasaran dan banyak yang dikorupsi. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha, atau setara dengan sekitar 46,3% dari luas total daratan Indonesia.

Ekologi humanisme

Oleh karena itu, biar bagaimana pun, alam tidak boleh dirusak dan keseimbangan ekosistem tidak boleh dihancurkan. Itu semua demi anak cucu kita yang akan mendiami bumi, alam, dan lingkungan yang sama ini. Karena itu, regenerasi kehidupan di alam semesta harus dirawat dan dilestarikan. Untuk itu, perlu segera ditumbuhkan kesadaran baru di tengah masyarakat yang diikuti dengan lahirnya cara pandang baru terhadap alam atau lingkungan.

Lahirnya teknologi yang begitu serakah mengeksploitasi lingkungan pada awalnya bertujuan membantu memudahkan hidup manusia. Henryk Skolimowski menjelaskan teknologi ialah teknik untuk hidup. Namun, dalam perkembangannya, teknologi modern telah melupakan fungsi dasarnya. Teknologi telah gagal sebagai alat hidup, semakin digunakan sebagai alat penguasa, bahkan penghancur alam atau lingkungan.

Karena itu, perlu adanya kesadaran dan cara pandang baru untuk mengembalikan fungsi teknologi dan mengubah perilaku manusia terhadap alam.

Akhirnya, dengan teknologi yang ada, alam bukan dirusak, melainkan dilestarikan. Keseimbangan ekosistem pun tetap terjaga, lingkungan hidup terus lestari, dan kehidupan semesta di hari esok akan tetap dapat terjamin.

Harapan itu dapat terwujud jika semua berjalan di atas nilai, moral, dan etika lingkungan. Dalam bingkai itu, keberagaman manusia dan kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban untuk merawat dan memakmurkan bumi menjadi poin masuk untuk mengembangkan kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem tersebut.

Bencana alam yang terus terjadi selama ini bukan karena ulah alam, an sich, melainkan karena perilaku manusia yang ceroboh dan serakah.

Karena itu, kerusakan lingkungan dan hancurnya keseimbangan ekosistem tidak lain merupakan ekses dari perilaku manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, bahkan terhadap Sang Pencipta. Karena itu, Skolimowski mencoba mengenalkan ekologi humanisme yang antara lain menempatkan manusia bukan lagi sebagai penguasa alam, melainkan sebagai penjaga, perawat, dan pelestari, bahkan pelayan lingkungan dan alam semesta. Pada hakikatnya, manusia, alam, dan Sang Pencipta memiliki korelasi ikatan yang tidak terpisahkan.

Ingat, manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan bumi. Jika kita gagal dalam mengendalikan segala perilaku buruk yang merusak lingkungan dan tidak menumbuhkan kesadaran, kemauan dalam merawat, mengawal, dan mencintai lingkungan, kita akan terus dibebani dosa berat karena mewariskan lingkungan yang rusak dan bumi yang bopeng kepada generasi anak cucu kita sambil menciptakan kemiskinan bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar