Sertifikasi Masjid dan Ponpes
M Hasan Mutawakkil Alallah ; Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur
|
JAWA POS, 20 Juni 2015
MANUSIA semakin lama semakin banyak.
Bertambahnya jumlah manusia itu biasanya diiringi dengan berbagai masalah
yang mungkin muncul untuk melingkupinya. Semakin tinggi pertambahan penduduk
itu, semakin kompleks pula tingkat masalahnya. Apalagi, kompleksitas masalah
tersebut bisa saja semakin tinggi saat kepentingan pribadi atau bahkan
kelompok semakin menonjol. Lebih-lebih lagi, perbedaan masa sering pula
diikuti perbedaan kepentingan.
Di sinilah gagasan percepatan sertifikasi aset
penting untuk dilakukan. Salah satu aset yang selama ini mendapatkan
perhatian paling kecil adalah lahan rumah ibadah maupun pondok pesantren
(ponpes). Karena itulah, sertifikasi lahan rumah ibadah dan ponpes menarik
untuk diperbincangkan.
Gagasan sertifikasi lahan rumah ibadah dan
ponpes mulai menguat melalui kesepakatan antara Menteri Agama (Menag) Lukman
Hakim Saifuddin serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry
Mursyidan Baldan. Bahkan, di sela-sela acara welcome dinner rakerda DPD
Realestat Indonesia (REI) Jawa Timur di Ciputra World Surabaya Rabu
(3/6/2015), menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN memberikan kepastian,
”Kemarin melalui menteri agama dan kami akan MoU, menangani secara khusus
mempercepat sertifikasi. Supaya di negeri ini tidak ada rumah ibadahpondok
pesantren yang tergusur.”
Keseriusan gagasan sertifikasi masjid dan
ponpes itu layak didukung. Sebab, langkah menteri agraria dan tata
ruang/kepala BPN sangat konkret. Dia telah mendatangi dan melakukan MoU
dengan beberapa kelompok sosial agar menginventarisasi status tanah masjid
yang dimiliki. Bahkan, menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN sudah mulai
memantapkan desain mengenai tanah wakaf supaya tidak menjadi sumber masalah
dalam kaitannya dengan status keberadaan tempat ibadah.
NU Jatim pun pernah menggelar rangkaian
seminar nasional yang bertema Gerakan Nasional Penyelamatan Aset-Aset
Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo pada Sabtu (6/6/2015). Dalam
rangkaian itu, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara NU serta
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Jika melihat pentingnya pendataan dan
sertifikasi aset itu, sinergi antara ormas dan pemerintah menjadi sangat
bernilai tinggi. Sinergi tersebut dibutuhkan dalam usaha melindungi aset-aset
yang dimiliki ormas seperti NU. Salah satu contoh konkret, sinergi tersebut
berbentuk pengambilan langkah taktis. Di antaranya, NU bersama tim
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN membentuk Tim Sertifikasi Aset
Nahdlatul Ulama untuk mempercepat pengurusan administrasi aset-aset NU,
antara lain masjid dan ponpes.
Kita perlu menghargai gagasan sertifikasi
masjid dan ponpes dari menteri agama yang dikonkretkan bersama menteri
agraria dan tata ruang/kepala BPN itu. Sebab, tujuannya sangat baik, yakni
tidak ada rumah ibadah yang digusur dan timbul sengketa lahan. Jangan sampai
ada sengketa tanah atas rumah ibadah dan ponpes.
Menggalakkan sertifikasi aset berbadan hukum
adalah keputusan yang rasional. Langkah itu sangat –bagi saya al faqir–
berarti upaya untuk menghindari perselisihan antara ahli waris atau dengan
organisasi lain yang memiliki kepentingan tertentu. Tentu saja langkah paling
awal yang harus dilakukan meliputi pendataan dan pemrosesan aset. Setelah
pendataan selesai, langkah selanjutnya adalah sertifikasi atas aset itu
supaya berkekuatan hukum tetap.
Selama ini, NU memiliki pengalaman yang cukup
pahit. Terhadap aset-asetnya, selalu dinyatakan milik NU. Tapi, klaim kepemilikan
itu sangat sering tidak didukung oleh surat-surat dan legalitasnya.
Akibatnya, legalitas kepemilikan tersebut sering dipertanyakan.
Sebagai contoh kecil, selama ini ada 13.000
aset milik NU Jatim. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5.000 aset
yang sudah berbadan hukum NU. Itu semua berarti bahwa sertifikasi aset
kelembagaan cenderung masih sangat rendah, di bawah 50 persen.
Sejarah memberikan nasihat hidup yang penting.
Selama ini, para ulama dikenal sangat ikhlas dalam berjuang. Bahkan, untuk
kepentingan perjuangan itu, mereka ikhlas menyerahkan aset tanah hingga
bangunan di atasnya untuk digunakan sebagai tempat pembinaan umat atau
pemberdayaan masyarakat.
Keikhlasan para ulama yang tinggi tersebut
harus kita dukung dengan melakukan pengadministrasian atas nilai keikhlasan
itu. Kita semua tidak berharap keikhlasan tersebut akan diselewengkan untuk
kepentingan sesaat oleh pihak-pihak yang berkepribadian buruk. Karena itu,
sertifikasi atas aset yang berupa lahan tempat ibadan dan ponpes adalah
bentuk dukungan untuk melanggengkan nilai dan pahala keikhlasan para ulama
tersebut.
Kasus-kasus sengketa lahan belakangan ini
harus menyadarkan kita semua atas pentingnya sertifikasi aset. Akibatnya akan
sangat buruk bila pendataan, pengadministrasian, hingga sertifikasi aset itu
lalai dilakukan. Sebab, di sana akan ada orang tua yang dipenjarakan anak
kandung gara-gara sengketa lahan. Di sana juga akan ada anggota keluarga yang
dibawa ke pengadilan gara-gara rebutan aset tanah dan bangunan.
Sertifikasi ingin menyelamatkan siapa pun yang
berkaitan dengan aset, baik dalam kapasitas pemilik maupun pengguna. Rumah
ibadah dan ponpes adalah tempat individu dan masyarakat untuk menempa diri
dan mengembangkan sumber daya manusia guna kebaikan bersama. Sertifikasi sama
artinya dengan penyelamatan bersama atas aset demi kebaikan dan kemajuan
bersama pula. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar