Demokrasi
Tanpa Rakyat
Fidelis Regi Waton ; Penulis sedang mendalami Filsafat Politik
di Humboldt-Universitaet zu Berlin-Jerman
|
SATU
HARAPAN, 11 Desember 2014
Rakyat Indonesia kembali kecewa
dengan kinerja demokrasi perwakilan. Manuver Koalisi Merah Putih dan Presiden
SBY adalah borok yang menggelikan. Warga merasa dipermainkan oleh partai
politik, eksekutif dan legislatif. Lirik tembang
Iwan Fals merilis kemarahan rakyat: “Walau
hidup adalah permainan, walau hidup adalah hiburan, tetapi kami tak mau
dipermainkan dan kami juga bukan hiburan”.
Banyak
warga frustrasi dengan sistem demokrasi perwakilan. Mereka bukan saja merasa
diri tidak diwakili, tetapi muak dan menolak diwakili oleh legislatif yang
tidak becus, rakus, tidak peka dan lupa identitas serta berkoalisi dengan
eksekutif yang impoten dan licik. Ketidakpuasan terhadap demokrasi perwakilan
di negara-negara Barat menyuburkan fanatisme, populisme dan maraknya
perolehan suara partai-partai kiri.
Kegalauan
rakyat Jerman terhadap praksis demokrasi representasi melahirkan virus
antipati: Politik-und Parlemenverdrossenheit (kemuraman politik dan parlemen). Di Spanyol muncul aliansi Indignados(para pemberang) yang
menolak direpresentasi oleh partai-partai politik dan menuntut „democrasia real ya“ (demokrasi
sejati sekarang).
Fenomen
ketidakpuasan terhadap aktifitas demokrasi perwakilan menginspirasi tulisan
polemis Declaration (2012) dari pemerhati
demokrasi, Michael Hardt dan Antonio Negri. Mereka melabrak sistem demokrasi
perwakilan. Telaah bernas mereka bukan hendak membangkitkan kembali belenggu
tirani yang mengebiri partisipasi publik. Keduanya bertekad meluncurkan
proyek reformasi demokrasi dan mengoptimalkan demokrasi dari bawah.
Konsep
demokrasi perwakilan secara epistemologis bersifat kontradiktif. Prinsip
representasi tidak pernah memungkinkan demokrasi sejati, malah
mencegahnya. Dari teropong empiris, demokrasi sebagai pemerintahan
dari, oleh dan untuk rakyat bersifat rancu (contradictio in adjecto). Yang memerintah de facto bukanlah rakyat, melainkan
gerombolan elit politik. Fakta ini dibaptis filsuf Perancis Catherine
Colliot-Thelene sebagai “la démocratie sans demos” (demokrasi tanpa rakyat).
Sejak
adanya prinsip representasi, kita sebenarnya mempratekkan demokrasi relatif.
Kaidah perwakilan membukakan gerbang masuk bagi warga menuju kekuasaan dan
serentak menutupnya kembali. Bagi Carl Schmitt perwakilan rakyat sebagai
instrumen penegakkan pemerintahan oleh rakyat hanyalah mitos modern. Ia
mengartikan perwakilan sebagai kehadiran nihil rakyat. Aspek demos (rakyat) berakhir saat pemberian suara.
Prinsip
perwakilan hanya bertahan karena peran kaum kapitalis dan penguasa. Praksis
demokrasi perwakilan yang bersenggama dengan kapitalisme menjadikan rakyat
sekedar bingkai legitimasi. Sebagai insan politik, rakyat didegradasi, karena
yang dibutuhkan dari mereka hanyalah partisipasi sebatas memberikan suara.
Malah suara warga disetarakan nilainya dengan uang.
Politik
lantas dipagari bagaikan belantara yang mahal. Kaum kapitalis bonafit dan
mapan berekspansi ke medan politik dan menempatkan politik sebagai zona
bergengsi demi popularitas (statusoriented). Organisasi politik, instrumen demokrasi, kampanye dan
perjuangan untuk merebut kursi dan jabatan publik menagih biaya besar
dan hanya bisa dijejaki kalangan berduit. Tak sedikit yang melakukan korupsi
atau membiarkan diri dikorupsi. Jika tampuk dan jabatan telah diraih, yang digencarkan
adalah kiat menutup lubang, memperkaya diri, balas budi dan melunasi kredit
moril.
Prinsip
representasi yang diyakini Rousseau sanggup mengejawantahkan kehendak umum,
malah berujung pada pemuasan nafsu segelintir awak politik. Media massa
sebagai kekuatan politik keempat (publikatif) dibendung ruang gerak kritisnya, karena dikendalikan kaum
bermodal. Dengan kapitalnya, kelas politikus-kapitalis menggunakan media
sebagai instrumen efektif untuk melestarikan hegemoni dan memuluskan
kepentingannya.
Gagasan civil
society (masyarakat madani) yang dikibarkan dekade silam memasuki musim
kemarau. Rakyat diasingkan dari arena pengambilan keputusan. Antara yang
memerintah dan diperintah terdapat ngarai yang dalam. Dalam jargon
Winston Churchill, demokrasi tak lain dari bentuk kekuasaan terburuk yang
kita miliki, namun tak ada yang lebih baik daripadanya saat ini.
Bagi
Hardt dan Negri, yang sanggup memahami dan merealisasikan demokrasi secara
tulen hanyalah Multitude: Orang banyak (bukan
massa); multiplisitas atau keragaman sosial yang bebas, dicerahkan dan
inklusif. Tanpa mengeliminasi kemajemukan, mereka menggalang interaksi,
komunikasi (network power) dan tindakan bersama. Mereka
dirangkai oleh keprihatinan, prospektif dan perspektif serta tujuan bersama. Multitude berkontribusi dalam melahirkan perlawanan, pemberontakan,
reformasi dan revolusi.
Aktivis
yang diculik 1998 dan hingga kini tidak diketahui di mana rimbanya, Widji
Thukul mewariskan satu-satunya tablet mujarab terhadap kemandegan demokrasi
yakni LAWAN. Siapa yang tidak melawan, ia hidup tidak benar Penyair Jerman,
Bertolt Brecht menandaskan: “Wer
kaempft, kann verlieren. Wer nicht kaempft., hat schon verloren“ (Siapa yang
berjuang, ia bisa kalah. Siapa yang tidak berjuang, ia sudah kalah). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar