Selasa, 23 Desember 2014

Berbenahlah dari Akar Rumput

Laporan Akhir Tahun Olahraga

Berbenahlah dari Akar Rumput

Yulia Sapthiani  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


ASIAN Games Incheon menjadi momen besar olahraga Indonesia tahun 2014. Merah Putih meraih empat emas, sama seperti Asian Games 2010. Di pekan olahraga negara-negara Asia itu, Indonesia masih kesulitan bersaing, termasuk dengan negara-negara Asia Tenggara.
Dengan 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu, Indonesia berada di peringkat ke-22, jauh di bawah juara umum Tiongkok dengan 151 emas, 108 perak, dan 83 perunggu. Dibandingkan dengan negara tetangga, tim Merah Putih tertinggal dari Thailand di peringkat keenam dengan 12 emas serta Malaysia dan Singapura di urutan ke-14 dan ke-15, masing-masing dengan lima emas.

Dua emas Indonesia didapat cabang bulu tangkis, melalui ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan dan ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari. Dua emas lain disumbangkan atlet putri Maria Natalia Londa (lompat jauh) dan Juwita Nisa Wasni (wushu).

Bulu tangkis masih menjadi cabang andalan untuk meraih emas di berbagai pekan olahraga, dari SEA Games hingga Olimpiade. Di Incheon, prestasi Maria Londa memecah kebuntuan emas atletik sejak Supriati Sutono terakhir kali meraihnya di Asian Games 1998. Sementara emas dari Juwita menjadi emas pertama wushu Indonesia di arena Asian Games.

Meski ada ”cabang baru”, penyumbang emas Indonesia tak pernah lebih dari dua-tiga cabang di setiap Asian Games, kecuali tahun 1962, ketika Indonesia menjadi tuan rumah. Saat itu, atlet-atlet atletik, bulu tangkis, loncat indah, dan balap sepeda menyumbang total 11 emas.

Selain empat cabang itu, ada boling, perahu naga, wushu, tenis, tinju, karate, dan layar dalam daftar peraih emas Indonesia hingga Asian Games 2014.

Seperti pekan olahraga internasional lain, baru bulu tangkis yang terbilang konsisten menyumbangkan emas. Kecuali di Seoul 1986 dan Beijing 1990, atlet bulu tangkis selalu membuat ”Indonesia Raya” berkumandang.

Tenis pernah menyumbangkan emas antara 1966 hingga 2002, kecuali di Bangkok 1970 dan Hiroshima 1994. Namun, cabang lain hanya muncul di satu-dua Asian Games, setelah itu menghilang.

Boling yang pertama kali menyumbangkan emas di Doha 2006, misalnya, gagal mengulang hal yang sama pada dua Asian Games berikutnya. Pun dengan perahu naga yang menggebrak di Guangzhou 2010 dengan tiga emas, melorot drastis hanya dalam waktu setahun. Tak satu emas pun didapat ketika berkompetisi di tingkat Asia Tenggara, SEA Games 2011, meski berlangsung di hadapan publik sendiri.

Di Incheon, atletik dan wushu turut membuat ”Indonesia Raya” terdengar. Namun, mempertahankan reputasi cabang peraih emas di tingkat Asia tak akan mudah. Demikian pula mewujudkan target peringkat kelima Asian Games 2018, kala negeri ini menjadi tuan rumah. Target itu disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi di awal masa jabatannya, Oktober lalu, meski Imam pun menyadari target itu berat diwujudkan.

Cabang andalan

Tak dikuasainya cabang tambang emas, seperti atletik, akuatik, dan senam, oleh Indonesia menjadi salah satu penyebab sulitnya mencapai target itu. Perenang Indonesia misalnya—setelah terakhir kali Richard Sam Bera dan kawan-kawan menyumbangkan tiga perunggu di Beijing 1990—hanya mentok di peringkat keempat Asia. Atletik juga masih kalah bersaing dengan atlet Asia Timur, negara-negara Arab, dan atlet dari pecahan Uni Soviet.

Bandingkan dengan Tiongkok dan Jepang yang selalu berada di peringkat tiga besar karena menguasai arena atletik dan kolam renang. Thailand tak kalah gemilang di lintasan atletik dengan koleksi 13 emas selama Asian Games. Thailand juga selalu berada di peringkat 10 besar pada 12 kali Asian Games dan tak pernah terlempar dari urutan ke-12 sebagai peringkat terburuk mereka.

Atlet-atlet Indonesia juga tak mampu bersaing di arena Olimpiade Remaja yang digelar untuk atlet usia 14-18 tahun. Tahun ini, di Nanjing, Tiongkok, Indonesia hanya meraih 1 perunggu. Lagi-lagi, hasil itu jauh tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok sebagai juara umum, termasuk Thailand, Singapura, Vietnam, dan Malaysia.

Jika tak ada pembenahan, hasil tersebut menjadi refleksi dunia olahraga Indonesia pada masa depan, di kala para remaja itu beranjak status menjadi atlet senior.

Apalagi, jalan pikiran beberapa pejabat olahraga turut merusak tatanan olahraga prestasi negeri ini. Beberapa kali, pejabat di lingkungan Kemenpora menyebut SEA Games sebagai puncak dari piramida prestasi di atas Asian Games dan Olimpiade.

Sebagai negara terbesar, Indonesia memang sepantasnya menjadi nomor satu di Asia Tenggara. Namun, negara ini juga punya atlet yang tak hanya berstatus Olimpian (pernah tampil di Olimpiade), tetapi juga peraih medali Olimpiade.

Sejak perak panahan di Seoul 1988—medali pertama Indonesia di Olimpiade—kontingen Merah Putih selalu berada dalam daftar peraih medali di setiap Olimpiade. Selain panahan yang hanya meraih medali di Seoul, bulu tangkis dan angkat besi menjadi penyumbang tetap medali hingga London 2012.

Berdasarkan catatan itu, Olimpiade seharusnya berada dalam hierarki tertinggi, bukan sebagai sasaran antara untuk menjadi juara umum SEA Games. ”Di Indonesia, Pekan Olahraga Nasional (PON) bahkan dinilai lebih penting daripada Olimpiade,” kata Ketua Kelompok Ilmu Keolahragaan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Tommy Apriantono.

Penyebabnya adalah perang bonus hingga puluhan juta rupiah untuk per keping emas dari sejumlah daerah. Fenomena perpindahan atlet antardaerah setiap menjelang PON, bahkan sejak empat tahun sebelumnya, tak terhindarkan.

Fungsi pembinaan

Sebagai mata rantai dari kondisi itu, fungsi pembinaan olahraga sejak dari daerah, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, tak ada. Padahal, pembinaan olahraga di daerah, dengan fokus pada cabang tertentu, dapat menjadi modal untuk menentukan cabang andalan Indonesia di berbagai pekan olahraga internasional.

”Lampung, misalnya, telah menghasilkan lifter berprestasi hingga tingkat dunia. Jawa dan Manado melahirkan atlet bulu tangkis, Nusa Tenggara Barat punya banyak sprinter,” kata Tommy, menyebut beberapa contoh cabang yang bisa dikembangkan di daerah.

”Dengan adanya pemetaan berdasarkan fakta yang ada selama ini, penelitian dan pengembangan berdasarkan sport science bisa dilakukan. Misalnya, apa yang membuat Lampung punya banyak lifter dan NTB punya sprinter? Apakah ada kondisi genetik dan lingkungan yang berpengaruh? Jika ini bisa diketahui, pembinaan yang selama ini banyak dilakukan secara tradisional bisa didekati dengan pendekatan ilmiah,” kata Tommy.

Menuai hasil dari pembinaan yang dimulai dari akar rumput memang membutuhkan waktu lama. Namun, ini akan lebih baik dibandingkan dengan cara instan, seperti yang dilakukan ketika mempertandingkan cabang yang hanya menguntungkan Indonesia ketika menjadi tuan rumah SEA Games 2011. Perolehan 182 emas—40 di antaranya dari sepatu roda, panjat dinding, renang sirip, dan paralayang—tak berbekas di Olimpiade 2012, SEA Games 2013, dan Asian Games 2014.

Jepang, seperti dituturkan Tommy, doktor dari National Institute of Fitness and Sports, Kanoya, Jepang, telah menetapkan target juara dunia sepak bola 2050. Langkah awal untuk mencapai target itu dilakukan sejak 2003!

”Target mereka adalah pemain yang merupakan keturunan dari generasi 2003. Kecintaan pada sepak bola ditanamkan sejak level keluarga,” cerita Tommy.

Indonesia? Insan olahraga negeri ini mau tak mau harus mengambil kebijakan tak populis, mulai membenahi pembinaan dari akar rumput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar