Iman
dan Keimanan
Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
Que bene
cantat bis orat : ”Barang
siapa bernyanyi dengan baik, ia telah berdoa dua kali.” (Santo Agustinus) Keimanan
yang teruji adalah keimanan yang sudah melewati tantangan kehidupan.
Sebagaimana saat Yesus disalib, pada momen itu Yesus berucap: ”Eli, Eli, lama sabachthani” (Tuhanku, ya Tuhanku, mengapa Engkau
meninggalkan aku?)
Kisah Yesus mirip dengan Nabi
Ayub dalam The Book of Job. Buku
Ayub ini juga mengisahkan pertanyaan terhadap kekuasaan dan kemahatahuan
Tuhan. Nabi Ayub bertanya kepada Tuhan mengapa ia mengalami penderitaan yang
amat sangat dalam hidupnya, dan Tuhan menjawab dalam teofani-Nya bahwa Ayub
tidak dapat memahami tindakan sepenuhnya Tuhan yang mencipta alam semesta.
Proses terbentuknya sebuah sisi
religiositas dan keimanan yang otentik, menurut seorang teolog dan ahli
hermeneutika Paul Ricouer, harus melewati ateisme.
Namun, ateisme ini kiranya bukan
ateisme kosong (nihilism), melainkan sebuah bentuk dari proses menjadi atau
pencarian dalam kegelapan menuju pencerahan. Dengan ini, istilah ateisme itu
kiranya kita dapat sebut sebagai ateisme yang bersifat humanis.
Humanisme tidak berlawanan
dengan agama dan religiositas. Humanisme hanya ingin memperlihatkan segi-segi
keunggulan manusia, seperti pemikiran, daya kreativitas, dan perasaan.
Menurut Ricoeur, ateisme yang
dimaksud cukup erat kaitannya dengan kecenderungan-kecenderungan humanis yang
merebak dalam tataran praktis, dalam arti memberontak terhadap hegemoni yang
berlaku dalam agama.
Sikap ateisme cenderung diam
terhadap agama sejauh agama tersebut tidak melanggar kebebasan mereka. ”Yang
baik” mengubah chaos menjadi kosmos, gairah yang chaotic, yang tak bernama
dan tak ber-kata, menjadi orientasi yang dapat dirinci melalui ”firman” atau
”sabda”.
Di sinilah barangkali konsep
”etika agama” harus diletakkan. Keterarahan kepada sebuah keimanan diperinci
ke dalam norma-norma atau kewajiban-kewajiban moral.
Dalam bahasa Ricoeur, tataran
ini disebut tataran deontologis. Bahkan, tataran ini pun tidak sepi dari
diskusi dan interpretasi, yang berkaitan dengan teologi atau ilmu kalam.
Dalam denominasi religius yang
sama pun, apa yang wajib, yang dilarang, dan yang boleh tidak selalu
menimbulkan kata sepakat. Muncul fenomena sosial dan historis yang disebut
mazhab.
Dialektis
Paul Ricouer berasal dari
keluarga Kristen Protestan dan dipandang sebagai cendekiawan di Perancis. Hermeneutika
Ricoeur bersifat dialektis dan evaluatif.
Dialektis artinya ada
keterkaitan resiprokal (timbal balik) antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren)
di satu sisi dan momen dialogis antara pembaca dan teks di sisi lain. Ia
menegaskan bahwa dalam sebuah teks, perbedaan tafsir itu selalu terbuka untuk
diperdebatkan, didialogkan, dan disintesiskan.
Pemikiran Ricouer bertentangan
dengan Nietzsche yang begitu radikal memandang ”kebenaran”. Ia memprovokasi,
mengkritik, dan meninjau ulang semua nilai dan tradisi.
Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche menggambarkan
nihilisme sebagai situasi ketika ”manusia berputar dari pusat ke arah titik
X”. Artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.
Menurut Nietzsche, proses
nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan
doktrin ”kematian Tuhan”. Ini bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika
Tuhan telah mati, berarti pada suatu saat Tuhan pernah ada. Apa yang
dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa.
Pengertian God is dead adalah
Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan
adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidak lagi dapat dipercayai. Oleh karena
itu, Dia telah mati.
Nietzsche kemudian menjelaskan
tentang asal-usul dan sifat perbedaan antara baik dan buruk serta baik dan
jahat dan menyingkap klaimnya bahwa kebutuhan kita adalah untuk bergerak
melampaui kebaikan dan kejahatan.
Terlepas dari sebuah dogma, teks
suci itu sendiri, menurut Ricoeur, adalah tipikal dari karya-karya diskursus
yang kompleks dan terbuka bagi keragaman pemaknaan.
Menafsirkan teks, menurut
Ricoeur, bukanlah mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas
pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan di antara dua diskursus,
yakni teks dan penafsiran. Penafsiran dianggap mencapai tujuannya bilamana
dunia teks dan dunia penafsir telah berbaur menjadi satu.
Membongkar misteri
Bagi Ricoeur, setiap penafsiran
adalah juga usaha untuk membongkar (dekonstruksi) makna-makna yang masih
terselubung. Kata-kata adalah simbol juga karena menggambarkan makna lain
yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting, serta figuratif (berupa
kiasan) dan hanya dimengerti melalui simbol-simbol tersebut.
Menurut Ricoeur, hermeneutika
itu sendiri bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat pada simbol
atau teks dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi
dalam simbol atau teks tersebut.
Hal ini berkesesuaian dengan
konteks ketika sumber-sumber teologis agama-agama (dapat) dianggap sebagai
simbol atau teks yang perlu senantiasa ditafsirkan guna memperoleh kebenaran
akan maksud dan tujuan Tuhan di dalamnya.
Simbol di sini bisa diartikan
sebagai wahyu Tuhan ataupun sumber-sumber teologis agama-gama lain yang mengandung
makna di balik susunan huruf ataupun kalimatnya. Kehadiran sebuah simbol
ataupun tanda (signifiant)
sesungguhnya selalu mengasumsikan adanya obyek yang ditandai (signifier). Obyek yang ditandai itu
adalah wacana; konteks sosio-historis dan konteks sosio-psikologis. Ketika
wacana itu dilambangkan, jadilah ia sebuah teks.
Selamat Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar