Laporan Akhir Tahun Internasional
Sukses
Ketuai ASEAN meski Banyak Masalah
Wisnu Dewabrata ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
KEPEMIMPINAN
organisasi kawasan Asia Tenggara, ASEAN, telah resmi berganti pada November
lalu. Pergantian dilakukan secara simbolis dengan penyerahan palu kayu
pemimpin sidang dari Presiden Myanmar Thein Sein kepada Perdana Menteri
Malaysia Najib Razak.
Upacara
serah terima sekaligus menjadi acara penutupan Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Ke-25 ASEAN yang berlangsung 12-13 November 2014 di Naypyidaw, ibu kota
Myanmar. Dalam pidato sambutannya, Najib memuji Myanmar. Ia menilai Myanmar
sukses menjalankan peran penting itu. ”Dengan hasil Deklarasi Naypyidaw ini,
Myanmar berhasil menempatkan diri sebagai bagian sejarah ASEAN sampai kapan
pun,” kata Najib.
Walau
sempat dibayangi banyak keraguan dari banyak kalangan, Myanmar membuktikan
diri mampu. Sepanjang masa kepemimpinannya, Myanmar sukses menggelar dan
memfasilitasi sedikitnya 1.200 kali pertemuan oleh 800 mekanisme yang ada
dalam ASEAN.
Produk sukses
Seperti
disebut Najib, Deklarasi Naypyidaw menjadi salah satu bentuk produk sukses
kepemimpinan Myanmar yang pada pokoknya mengandung penetapan sejumlah elemen
utama visi ASEAN setelah 2015.
Elemen
utama itu antara lain komitmen untuk tetap mempromosikan Asia Tenggara
sebagai kawasan yang damai, stabil, dan makmur, saling terhubung. Selain itu,
untuk mengupayakan antarnegara anggota ASEAN bisa terus berbagi dalam bentuk
komunitas yang bersatu walau banyak perbedaan.
Deklarasi
Naypyidaw juga menyebutkan bahwa komitmen untuk terus mengupayakan dan
menjadikan ASEAN sebagai pusat dari arsitektur kawasan terus berkembang
secara dinamis.
Deklarasi
tersebut juga memandatkan upaya membangun sebuah platform bersama yang
menjadi tempat mendiskusikan sejumlah isu dan keprihatinan bersama di tingkat
global. Semua anggota ASEAN dimandatkan berusaha terus meningkatkan profil
organisasi kawasan ini sekaligus memperluas relevansi keberadaannya sebagai
rekan yang kredibel, aktif merespons, dan berkontribusi pada isu-isu global.
Kepemimpinan Myanmar
Berdasarkan
kesepakatan urut kacang, Myanmar yang bergabung dengan ASEAN pada 23 Juli
1997 sejatinya mendapat giliran menjadi ketua pada 2006. Akan tetapi, ketika
itu Myanmar urung menjadi ketua karena tekanan kuat dari sejumlah negara
adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Negara-negara maju itu
menganggap Myanmar tak layak mengetuai ASEAN lantaran ”dosa-dosa”-nya terkait
dengan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Jika
ASEAN nekat menjadikan Myanmar sebagai ketua, negara-negara maju itu
mengancam akan memboikot sejumlah pertemuan ASEAN sebagai mitra wicaranya.
Suara dari dalam ASEAN ada pula yang berpendapat sama, bahkan menginginkan
Myanmar dikeluarkan dari ASEAN lantaran dianggap ”kerikil dalam sepatu”.
Pada
masa itu pemerintahan rezim junta militer Myanmar dinilai punya ”rapor”
sangat buruk terkait penghormatan dan upaya penegakan hak asasi manusia,
termasuk pelaksanaan demokrasi dan reformasi politik. Tambahan lagi, saat itu
pemerintahan baru Myanmar, di bawah Jenderal Soe Win, memutuskan
memperpanjang masa penahanan rumah pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi
ketika itu telah menjalani 16 tahun masa tahanan rumah setelah pada 1990
berhasil memenangi pemilihan umum yang diusung Partai Liga Nasional untuk
Demokrasi (NLD) bentukannya. Upaya Myanmar memperbaiki citra pada 2004,
seperti dengan membebaskan sedikitnya 9.000 orang tahanan politik pemerintahan
sebelumnya, seolah-olah tak dilirik dunia internasional sama sekali.
Begitu
juga dengan pernyataan komitmen pemerintah junta militer Myanmar untuk
menjalankan ”Tujuh Langkah Peta Jalan Menuju Demokrasi” yang disusun pada
2003. Singkat cerita, kepemimpinan ASEAN saat itu kemudian beralih ke negara
giliran berikutnya, Filipina, yang menggelar pertemuan KTT pada awal 2007.
Pada masa itu ASEAN memang hanya bersidang (KTT) sekali setahun.
Keputusan
untuk kembali memberi Myanmar kesempatan mengetuai ASEAN dihasilkan saat
Indonesia mengetuai ASEAN pada 2011. Ide tersebut belakangan relatif masih
ditentang, terutama dari Amerika Serikat, seperti disampaikan Presiden Barack
Obama saat berbicara di depan parlemen Australia.
Mengutip
kantor berita Reuters, saat itu Obama menyebutkan bahwa Myanmar masih harus
membuktikan dahulu komitmen dan kemampuannya mengubah diri. Hal itu terutama
terkait isu-isu seperti penegakan hak asasi manusia dan pembebasan Suu Kyi.
Meski
begitu, jika dibandingkan dengan apa yang terjadi saat Kamboja memimpin ASEAN
pada 2012, kepemimpinan Myanmar boleh dibilang lumayan lancar. Nyaris tak ada
gejolak atau pertengkaran seperti pernah terjadi saat Pertemuan Menlu-menlu
ASEAN (AMM) Ke-45 digelar awal Juli 2012 di Phnom Penh, Kamboja. Akibat
kebuntuan di Phnom Penh ketika itu, mekanisme pertemuan ASEAN untuk kali
pertama dalam sejarah tak menghasilkan komunike bersama.
Kebuntuan
dipicu silang pendapat keras, terutama antara tuan rumah Kamboja dan
Filipina. Mereka berdebat tentang perlu tidaknya menyebut insiden di perairan
sengketa sekitar Beting Scarborough antara kapal-kapal Tiongkok dan Filipina
tiga bulan sebelum AMM digelar.
Posisi
Myanmar sebagai ketua ASEAN pada 2014 terbilang krusial dan strategis
mengingat masa itu tepat setahun menjelang tenggat terbentuknya cita-cita
bersama Komunitas ASEAN 2015 yang ditetapkan per 31 Desember 2015. Walau
”landai-landai” saja, sejumlah isu menonjol tetap masih terbilang mewarnai
masa kepemimpinan Myanmar. Beberapa isu krusial adalah keterkaitan komitmen
Myanmar dalam penghormatan dan penegakan hak asasi manusia serta kelanjutan
proses reformasi dan demokratisasi di sana.
Masih banyak PR
Terkait
isu hak asasi manusia, Myanmar dinilai masih punya banyak pekerjaan rumah,
seperti penyelesaian kasus kerusuhan sektarian berdarah yang terus terjadi
dan menimpa warga etnisitas minoritas Rohingya. Menurut PBB, etnisitas
Rohingya adalah kelompok masyarakat paling teraniaya lantaran mereka
mengalami diskriminasi dari pemerintahnya sendiri.
Selain
itu, Myanmar masih punya pekerjaan rumah terkait dengan upaya damai dengan
kelompok-kelompok pemberontak etnisitas minoritas yang prosesnya masih terus
berjalan hingga saat ini.
Terkait
isu reformasi demokrasi, Myanmar hingga sekarang juga diketahui masih menghadapi
banyak persoalan. Hal itu terutama lantaran masih kuatnya dominasi dan
pengaruh militer yang, menurut konstitusi Myanmar tahun 2008, menguasai 25
persen dari total kursi di parlemen.
Mengutip
pernyataan Suu Kyi seperti ditulis dalam situs The Diplomat, keberadaan
militer Myanmar di parlemen teramat kuat, bahkan seolah-olah memiliki hak
”veto” bayangan.
Upaya
amandemen terhadap konstitusi Myanmar warisan masa pemerintahan junta militer
masih terus terganjal hingga saat ini.
Militer
seolah-olah masih enggan melepaskan pengaruhnya walau Myanmar sebenarnya saat
ini relatif lebih terekspos, yang memosisikan dirinya seperti berada di bawah
lampu sorot. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar