Keperawanan
dan Kekuasaan
Dwilia Delfi Ningsih ; Guru SD Terpencil; Pegiat Diskusi Majelis
Kamisan
|
SATU
HARAPAN, 08 Desember 2014
Tes
keperawanan kembali menjadi perbincangan seksi, setelah sebelumnya pada tahun
2013 menjadi berita kontroversial saat Kepala Dinas Pendidikan Kota
Prabumulih akan menerapkan tes keperawanan untuk siswi SMA di Kota
Prabumulih, Sumatera Selatan. Tes kepewananan ini menarik diperbincangkan
bukan semata karena dikaitkan dengan institusi kepolisian melainkan
karena tema-tema tentang perempuan selalu menarik untuk didiskusikan. Sejarah
panjang ketakadilan terhadap perempuan selalu berulang dari masa ke masa.
Bahkan intitusi kepolisian seolah menjadi institusi kaum laki-laki sehingga
perlu menambah kata wanita untuk polisi yang berjenis kelamin perempuan, dan
hal itu tidak berlaku untuk laki-laki.
Begitulah
fakta sejarah aturan perilaku dilembagakan sebagai konsekuensi kekuasaan
normatif. Dalam perspektif Michel Foucault, kekuasaan sebagai rejim wacana
dianggap mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai pada
kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Cara kerjanya melalui wacana-wacana
yang dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun juga
perangsangan, rayuan dan intensifikasi atau teknik-teknik kekuasaan yang
memiliki banyak bentuk (1976: 21).
Tes
keperawanan adalah bentuk intervensi kekuasaan yang membangun wacana standar
moral untuk para calon polisi perempuan, standar moral yang abstrak yang
akhirnya akan disepakati dan dilembagakan sebagai aturan perilaku yang
diamini oleh para polisi moral. Padahal tes keperawanan sebenarnya adalah
bentuk lain yang amoral dan menghina martabat perempuan. Karena tes
keperempuanan akan melahirkan praktik-praktik, pertama, membuat perempuan menjadi obyek, organ tubuhnya diperiksa,
diobok-obok, diletakkan di bawah kuasa; kedua, kuasa itu sewenang-wenang,
sebab mendasarkan diri pada kekuasaannya sendiri, yaitu asumsi palsu bahwa
selaput dara bisa diukur dan menjadi ukuran martabat perempuan; ketiga, membuat perempuan bisa dikomodifikasikan (perempuan dinilai dan
diberi perlakuan berdasarkan penilaian itu); dan keempat, praktik tes keperawanan
adalah pemerkosaan itu sendiri.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah, bagaimana melakukan uji moralitas bagi para
pejabat yang telah berkeluarga dan gemar selingkuh seperti wakil rakyat dan
pejabat publik lainnya. Apakah diperlukan tes terhadap mereka menjelang
pencalonannya? Dan bagaimana dengan uji standar moral untuk para laki-laki,
apakah diperlukan tes sejenis seperti tes keperjakaan? Akhirnya semua menjadi
tak adil gender, karena standar moral dan aturan perilaku ini sangat abstrak
dan syubhat.
Pihak
perempuan selalu diposisikan sebagai pihak yang salah ketika hasil tes
menunjukkan bahwa mereka tidak perawan, dan laki-laki selalu menjadi pihak
yang selalu benar dan diuntungkan. Laki-laki yang tak perjaka dan suka
selingkuh tetap terhormat dibanding perempuan yang tak perawan. Padahal
hilangnya keperawanan dapat disebabkan banyak faktor, tidak hanya akibat
hubungan seksual. Bisa karena faktor fisik, jatuh atau peristiwa
pemerkosaan.
Penulis
mencurigai bahwa tujuan tes keperawanan sebenarnya bukan dimaksudkan
untuk menyingkap atau menyembunyikan kebenaran tentang keperawanan, tapi mau
melokalisir ingin tahu yang berfungsi sebagai
objek dan instrumen kekuasaan, hingga pada gilirannya tubuh perempuan menjadi
dominasi kekuasaan laki-laki.
Hal
itulah yang juga mendasari Foucault menulis Sejarah Seksualitas untuk menjelaskan bahwa di sekitar seks dibangun perlengkapan
atau mesin untuk memproduksi kebenaran. Seks bukan hanya masalah sensasi dan
kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam seks dipertaruhkan
masalah benar dan salah. Mengetahui apakah seks itu benar atau berbahaya
membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Sejauh mana seks bisa
dianggap berharga atau menakutkan itu bisa bergeser menjadi pertaruhan
kekuasaan. Lalu seks dijadikan ajang pertaruhan kebenaran (1976: 76)
Keperawanan
sebagai bagian dari seksualitas juga hendak dipertaruhkan sebagai kebenaran.
Sistem moral publik, yang selalu ditafsir oleh laki-laki dan kekuasaan ini,
menjadikan keperawanan sebagai pertaruhan kebenaran menggunakan sarana
politik tubuh. Artinya bahwa sasaran kekuasaan adalah tubuh. Tujuan yang mau
dicapai dengan membidik tubuh ialah kepatuhan, bukan moralitas.
Tes
keperawanan bisa menjadi alat penguasaan terhadap tubuh perempuan. Kita bisa
membayangkan bagaimana jika ada perempuan yang cantik dan kebetulan diketahui
tidak lagi perawan, dan atas kuasa ia tetap diluluskan, maka akan lahir
dominasi dan kekerasan baru, karena tubuhnya telah dikuasai dan dikendalikan
oleh hasil-hasil tes. Begitupun sebaliknya yang tak lulus, akan memiliki
beban psikologis yang sangat berat meskipun hasil tes tetap dirahasiakan.
Jika
hal ini tetap dijalankan, maka tes keperawanan bukan hanya saja menjadi
praktik kemunafikan para pejuang moral, penghinaan martabat, tetapi juga
pelecehah terhadap nilai-nilai ajaran agama Karena tidak ada satupun wahyu
dan teks suci agama yang memerintahkan membuat standar moral dengan tes
keperawanan, dan persoalan seksualitas adalah persoalan tanggungjawab pada
ranah yang sangat pribadi.
Ala kulli
hal, daripada sibuk mewacanakan tes
keperawanan justeru yang sangat penting dan mendesak adalah mewacanakan untuk
melakukan tes perilaku dan kejiwaan seksualitas pejabat publik. Sudah bukan
berita baru, bila banyak pejabat publik yang gemar jajan, memiliki simpanan, dan atau memiliki banyak pasangan. Darimana
mereka memenuhi biayanya? Kemungkinan terbesarnya adalah dari korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar