Pelajaran
Matematika menurut Tan Malaka
Iwan Pranoto ; Dosen dan Guru Besar Matematika ITB;
Kini juga bekerja di KBRI New Delhi, India
|
SATU
HARAPAN, 15 Desember 2014
Tak
ada yang pernah melihat atau pun meraba bilangan Satu, Setengah, akar dua,
atau bilangan lainnya. Yang mampu dilihat manusia hanyalah lambang angka yang
merupakan penyajian bilangan seperti ‘1’. Sedangkan bilangan itu sendiri
nirwujud.
Demikian
obyek lain seperti titik di Geometri. Tak mungkin ada manusia yang mampu
melihat obyek tak berdimensi ini. Manusia juga tak pernah melihat lingkaran
ideal menurut matematika, karena tak mungkin ada jangka demikian sempurna
dengan ujung pensil di depannya yang demikian tajam sampai mampu
menggambarkan sebuah lingkaran sempurna, dengan ketebalan garis nol satuan.
Karena itu, Tan Malaka mengistilahkan matematika sebagai ilmu tak bermateri.
Ini satu dari dua hakikat matematika yang dipesankan Tan Malaka.
Obyek
matematika seperti di atas merupakan gagasan ideal yang berujud nyata
senyata-nyatanya di benak manusia semata. Hanya nalar manusia yang sanggup
mewujudkan tiga obyek tersebut. Tiap
terucap kata lingkaran, di benak akan tergambar lingkaran sempurna. Hanya
nalar manusia yang mampu merasakan keujudan objek matematika tersebut.
Bahkan, sebagian malah sampai berkeyakinan bahwa gagasan seperti bilangan,
titik, dan lingkaran tadi justru lebih nyata ketimbang benda duniawi. Picasso
berkata bahwa jika sesuatu dapat diimaginasikan, maka sesuatu itu nyata.
Konsep bilangan negatif di matematika sejatinya lebih nyata dari kursi yang
diduduki, karena bilangan negatif diimaginasikan, sedang kursi sering
difungsikan, tidak diimaginasikan.
Karena
ada di tataran gagasan, argumentasi matematika tak dapat dilandaskan pada
suatu pengamatan kenyataan, apalagi pengalaman kehidupan tertentu
berlandaskan panca indra. Akibatnya, argumen bahwa definisi perkalian harus
mengikuti kebiasaan penulisan resep obat atau fenomena kehidupan lain, misalnya,
sungguh bukan argumen matematika yang sahih.
Pertama
dan yang utama, matematika dibangun dengan argumen yang taat berdasarkan
pernalaran deduktif saja. Bahwa ada gagasan matematika yang diinspirasi oleh
fenomena di alam atau di kehidupan nyata, itu benar adanya. Namun, tidak
pernah ada argumen matematika yang dilandaskan pada fenomena alam. Argumen
matematika tidak dapat dibuktikan oleh bahkan sejuta fenomena kehidupan.
Fenomena kehidupan bagi matematika hanyalah sebuah ilustrasi tak sempurna
dari gagasan matematika. Bahkan percobaan di laboratorium paling canggih pun
tak akan pernah memvalidasi atau menyangkal pernyataan matematika.
Sebagai
ilustrasi, di Geometri Bidang yang dipelajari anak SMP, ada pernyataan bahwa
jumlah ketiga sudut dari segitiga apapun senantiasa membentuk sudut 180
derajat. Membuktikan pernyataan ini tak dapat dengan contoh, tetapi harus
berdasar pernalaran deduktif semata.
Justru
karena ketaatan berargumen berdasar bernalar deduktif semata itu, matematika
menjadi sangat bermanfaat bagi disiplin lain dan kehidupan. Karena tak
menggantungkan pada suatu fenomena kehidupan, matematika dapat dimanfaatkan
saat membangun jembatan sampai menguji kejujuran pemilu. Dapat dibayangkan
jika saja ada teori matematika yang argumennya didasarkan pada suatu
pengukuran fenomena kimia, maka teori matematika itu hanya sah jika
diterapkan di kimia saja.
Di
sini paradoksnya. Karena argumennya tak tercemar dari argumentasi fenomena
bidang keilmuan lain, penerapan matematika di berbagai bidang menjadi
terjamin kesahihannya.
Saat
ini, praktik pengajaran matematika sekolah di Indonesia masih ada yang belum
sejalan dengan hakikat tersebut. Beberapa buku ajar matematika bahkan kerap
menyajikan “pembuktian’ yang tak sahih. Misalnya, menuliskan kegiatan memotong
sudut-sudut potongan segitiga kertas yang ditempelkan memembentuk sudut
“nyaris” 180 derajat itu sebagai sebuah bukti. Ini tentu fatal, karena
membuktikan pernyataan matematika berdasar fenomena alam. Sesungguhnya,
kegiatan di atas hanya mengatakan dugaan: “mungkin jumlah ketiga sudut
segitiga itu 180 derajat.” Tak lebih dari itu. Matematika bukan ilmu alam.
Geometri
merupakan studi tentang objek yang tak dapat digambar atau gambarnya buruk.
Artinya, inferensi atau kesimpulan yang dibuat tak boleh menggantungkan pada
ketepatan gambar. Gambar tepat maupun buruk harus memberikan kesimpulan yang
sama persis. Sebaliknya, jika segitiga kertas yang dibuat tadi sisinya tak
lurus atau busur derajatnya buruk, jumlah sudut 180 derajat mungkin saja tak
diperoleh.
Indra
kita, misalnya penglihatan, sangat mudah tertipu ilusi. Dua garis sejajar
yang diberi dekorasi khusus tertentu akan tampak tak sejajar. Dua garis yang
sama panjang, tetapi ujungnya diberi gambar anak panah atau ekor panah akan
tampak berbeda panjang. Ilusi penglihatan ini tak diinginkan terjadi di
matematika. Oleh karenanya, argumen matematika tak boleh berdasar panca
indra.
Matematika
tak mempercayai panca indra, tetapi hanya mempercayai “indra” nalar deduktif.
Bahkan, ekstremnya, seorang tuna netra pun tetap mampu “melihat” dengan
jelas, meyakini, dan menikmati indahnya Dalil Pitagoras. Ini setali tiga uang
dengan Beethoven yang dapat tetap dapat “mendengar” musik melalui “telinga”
nalarnya, walaupun sudah tuna rungu.
Pernalaran
manusia yang terekam dalam gagasan matematika dan juga partitur musik
bersifat abadi. Seperti kata Einstein, nalar manusia yang mewujud menjadi
persamaan atau kalimat matematika akan abadi. Dari torehan Archimedes sampai
tulisan Ramanujan telah membangun peradaban kemanusiaan yang menembus batas
ruang dan waktu. Nalar manusia yang mampu menggambarkan ruang dimensi 4,
bahkan sampai meyakininya bahwa ruang berdimensi 4 itu senyata-nyatanya
seperti kursi yang kita duduki.
Lalu
apakah guru matematika SD, misalnya, harus memahami gagasan matematika
seperti di atas? Tentu. Kemudian, apakah guru SD harus mampu membuktikan
semua pernyataan di matematika SD serta menikmati proses pembuktiannya?
Idealnya ya, namun jika memang belum mampu,guru dapat mengatakan, “Mari kita
cari dan pelajari sama-sama.” Tidak tabu bagi seorang guru matematika untuk
berkata belum tahu. Guru di jaman sekarang tak mungkin dapat menjawab semua
pertanyaan. Dan juga, memang bukan tugas guru untuk menjawab semua
pertanyaan.
Baiknya,
guru bersama murid mencoba membuktikan sendiri, atau jika tetap tak berhasil,
dapat mencarinya di Internet. Banyak bukti indah tersedia. Dari sudut
pembelajaran matematika, diskusi tentang bukti-bukti indah itu akan memicu
kasmaran bermatematika. Citra pembelajaran seperti ini jauh berbeda dari
matematika prosedural, dogmatik, kaku, dan formalistik yang kerap
dipertontonkan di pengajaran dan buku ajar sekolah hari ini.
Untuk
itu, perlu ditingkatkan program perlatihan guru guna meremajakan gagasan
matematika sebagai ilmu tak bermateri dan menciptakan kegiatan bagi guru agar
mengalami kembali asyiknya membuktikan pernyataan matematika. Ini sejalan
dengan angan-angan Tan Malaka di Madilog.
Guru
perlu merasakan kembali kejujuran bahwa belum memahami dan juga keluguan
mempertanyakan kesahihan Dalil Pitagoras sampai Ketaksamaan Segitiga. Ini
tantangan perbaikan pembelajaran matematika yang belum pernah secara
sungguh-sungguh diupayakan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar