Selasa, 23 Desember 2014

Ekses

Ekses

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia
KOMPAS,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


INFORMASI menarik tentang film Close-Up karya sutradara Iran Abbas Kiarostami, saya dapatkan mula-mula dari artikel David Ehlich, redaktur senior situs film.com, berjudul The 50 Best Criterion Collection Releases. Criterion Collection, atau biasa disingkat Criterion saja, adalah sebuah perusahaan distribusi video yang menawarkan film-film klasik dan kontemporer kepada para pecinta, kritikus, dan pemikir perfilman. Secara berkala ia mengeluarkan daftar film-film terbaik versinya. Artikel dengan judul di atas dikeluarkan tahun 2013 dan daftar 50 film tersebut dianggap oleh sejumlah kritikus sebagai daftar terbaik yang pernah dikeluarkan Criterion.

Di dalam daftar itu kita bisa menemukan nama-nama Akira Kurosawa, Yasujiro Ozu, Satyajit Ray, Ingmar Bergman, Jean-Luc Godard, Terrence Malick, Pier Paolo Pasolini, Wong Kar-Wai, Wim Wenders, dan lain-lain sampai yang namanya sulit dilafalkan oleh lidah kita: Krzysztof Kieslowski. Lihatlah, nama depan sutradara ini tersusun dari delapan huruf mati dan hanya ada satu huruf hidup. Ia menyutradarai trilogi Colors, tiga film yang menyenangkan dengan judul-judul Red, Blue, dan White.

Untuk semua film yang ada di sana, Anda bisa menemukan penjelasan singkat dan alasan Criterion memilihnya, kecuali film Close-Up. Film Kiarostami itu ditempatkan pada urutan pertama dan Criterion hanya menampilkan keterangan dengan satu kalimat sangat singkat: ’’The best film ever made.

Saya menggemari film-film Abbas Kiarostami, nyaris fanatik, dan saya gembira sekali membaca kalimat singkat tersebut, seolah-olah saya keponakan tercinta sutradara Iran itu. Film terbaik yang pernah dibuat orang, saya membatin, memang tidak memerlukan penjelasan panjang lebar, atau tidak memerlukan penjelasan sama sekali. Begitu saja sudah cukup.

Dibuat berdasarkan kisah nyata, Close-Up menceritakan pengadilan terhadap Hossein Sabzian yang mengakui dirinya adalah Mohsen Makhmalbaf, seorang sutradara terkenal Iran. Ia sedang naik bus suatu siang dan duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang memperhatikannya membaca The Cyclist, buku skenario karangan Makhmalbaf. Si ibu menanyakan alamat toko buku tempat Sabzian mendapatkan buku itu. ’’Untuk Anda saja kalau Anda mau. Saya yang menulis buku ini,” katanya.

’’Anda Mohsen Makhmalbaf?” tanya si ibu.

’’Ya.”

’’Anda baik sekali. Senang bertemu dengan Anda.”

Si ibu mengatakan bahwa anaknya sudah lulus kuliah, mendapatkan gelar insinyur, tetapi menyukai seni dan film dan belum mendapatkan pekerjaan sejak enam bulan lulus kuliah. Kemudian lelaki itu sering datang ke rumah si ibu, merancang proyek perfilman dengan si insinyur baru, dan melihat-lihat setiap ruangan di dalam rumah seolah-olah ia hendak melakukan pengambilan gambar untuk film barunya di rumah itu. Di rumah itu Sabzian dihormati sebagai Makhmalbaf, sampai kemudian mereka tahu bahwa ia Makhmalbaf palsu.

Kiarostami merekonstruksi kejadian tersebut, termasuk bagaimana ia tertarik pada berita tentang penangkapan Sabzian, menemuinya di tahanan, dan upayanya mendapatkan izin merekam secara utuh proses pengadilan. 
Semuanya menjadi bagian dari film itu. Sebenarnya ini hanya sebuah kasus penipuan kecil dan Sabzian sudah mengatakan, sewaktu Kiarostami menjenguknya di tahanan, bahwa ia akan mengakui. Tetapi segalanya menjadi lebih kompleks ketimbang apa yang tampak di permukaan dan tidak mudah bagi orang-orang untuk memahaminya.

’’Saya tertarik pada film dan sudah menonton banyak film sejak kecil, tetapi saya tidak punya uang untuk mewujudkan cita-cita saya,” kata Sabzian kepada hakim pengadilan. ’’Saya mengagumi Mohsen Makhmalbaf dan semua penderitaan yang ia tampilkan di dalam film-filmnya. Ia seperti bicara pada saya dan menggambarkan penderitaan saya. Saya tahu di mata hukum saya bersalah. 

Saya tidak ingin melakukan penipuan tetapi hanya ketika memperkenalkan diri sebagai Makhmalbaf, maka mereka menaruh hormat dan menuruti apa yang saya katakan. Sebelumnya tidak pernah ada orang yang mematuhi saya, karena saya hanya orang miskin. Sejujurnya menjadi Makhmalbaf adalah hal yang sangat berat bagi saya. Setiap kali saya meninggalkan rumah itu, saya akan kembali menjadi diri saya, orang miskin yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan saya sendiri. Saya tidak ingin melakukannya, tetapi setiap bangun tidur saya terdorong untuk menjadi Makhmalbaf lagi, karena itu membuat mereka menghormati saya.”

Seluruh pemain film tersebut adalah orang-orang yang berperan sebagai diri sendiri, termasuk Sabzian, seluruh anggota keluarga yang menjadi korbannya, juga Kiarostami dan Mohsen Makhmalbaf sendiri. Ia dibuka dengan adegan percakapan ke sana-kemari antara wartawan Hassan Farazmand dengan sopir taksi yang mengantarnya ke rumah keluarga korban penipuan Sabzian. Di bangku belakang duduk dua petugas kepolisian yang siap melakukan penangkapan, dan mereka tidak bicara sama sekali sepanjang perjalanan.

Si wartawan tampak sangat bergairah dengan kasus ini dan merasa telah menemukan ’’Oriana Story”, sebutan yang mengacu pada nama wartawan terkenal Italia Oriana Fallaci. Farazmand tampaknya merindukan reportase besar, tetapi dalam film itu terlihat teledor, tidak membawa uang untuk membayar taksi, tidak membawa tape recorder, dan semuanya harus ia pinjam dari tuan rumah.

Saya menonton film ini tidak lancar. Ada ingatan-ingatan yang tiba-tiba menerobos dan mengganggu. Sebagaimana Farazmand, saya juga membayangkan Oriana Fallaci ketika menginginkan profesi wartawan bertahun-tahun lampau. Buku Oriana Wawancara dengan Sejarah saya baca ketika saya SMA dan saya bawa ke Jogjakarta, ke Jakarta, dan kemudian dipinjam teman dan tidak pernah menjadi milik saya lagi hingga sekarang. Oriana telah mewawancarai para pemimpin dari banyak negara pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Ia telah mewawancarai Indira Gandhi, pemimpin Organisasi 
Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat, Menlu AS Henry Kissinger, Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, Perdana Menteri Israel Golda Meir, Syah Iran Mohammad Reza Pahlevi, pemimpin Libya Muammar Gaddafi, Ayatollah Khomeini, dan banyak lagi. Saat wawancara dengan Khomeini ia diharuskan mengenakan cadar dan ia mengenakannya dan kemudian melepas cadar tersebut di tengah berlangsungnya wawancara sembari mengkritik keharusan bagi perempuan untuk mengenakannya.

Awal tahun 1993, saya mulai menjadi wartawan, di Jawa Pos, bertugas sebagai koresponden wilayah Magelang dan sekitarnya. Setiap hari saya keluar masuk pedesaan di sekitar Magelang, mencari informasi di pengadilan, meliput sengketa kandang ayam, dan saat itu saya merasa sulit sekali menjadi Oriana Fallaci. Liputan pertama saya adalah pernikahan masal di Desa Wonolelo, lereng gunung Merapi. Hari itu saya menyaksikan puluhan pasangan dinikahkan di balai desa, termasuk mereka yang sudah berumah tangga berpuluh tahun, sudah kakek-nenek dan sudah mempunyai cucu dan mungkin cucu mereka juga sudah beranak.

Mereka, Anda tahu, adalah orang-orang yang di zaman Orde Baru dicap tidak bersih lingkungan dan disia-siakan oleh pemerintahan Orde Baru. Orang-orang di luar desa menyebut mereka pasangan kumpul kebo, dengan pandangan negatif yang dilekatkan pada istilah ’’kumpul kebo” itu, tetapi sesungguhnya mereka hanyalah orang-orang lereng gunung yang jera berurusan dengan pemerintah. Mereka berumah tangga dengan sesama warga desa, dan ikatan mereka hanya diresmikan menurut kebiasaan di desa itu, hanya diumumkan ke tetangga-tetangga bahwa pasangan A dan B sudah menjadi suami istri. Meski ikatan mereka tidak disahkan secara agama maupun hukum negara, rumah tangga mereka pada umumnya berlangsung langgeng. Kecil sekali atau nyaris tidak pernah ada kasus perceraian, kecuali karena ditinggal mati pasangan.
Itu ingatan paling kuat tentang reportase ’’besar’’ yang pernah saya lakukan, yang dipicu kemunculannya oleh sosok Farazmand si wartawan teledor, ingatan yang menginterupsi keasyikan menonton Close-Up. Namun akhirnya saya selesai juga menontonnya dan melamun agak lama setelah film selesai. Saya pikir urusan di dunia ini cuma begitu-begitu saja. Pemain sepak bola yang baik tak pernah keliru menggiring, mengoper, atau menendang bola. Aktor yang baik bisa bertingkah apa saja dan selalu tampak pantas. Montir yang baik tidak pernah mengecewakan dalam pekerjaannya. Demikian pula sutradara yang baik; ia kelihatannya juga selalu benar dalam menangani urusannya.

Mohsen Makhmalbaf muncul di bagian akhir. Ia menjemput dan memeluk orang yang telah mengaku-aku sebagai dirinya. ’’Kau ingin menjadi Makhmalbaf atau Sabzian?” tanya Makhmalbaf. ’’Aku sendiri bahkan capek menjadi Makh.” Sabzian menunduk di hadapan orang yang dikaguminya dan ia tak mampu menatap wajah Makhmalbaf dan air matanya tak bisa ia tahan. Makhmalbaf menggoncengkan Sabzian dengan motornya menuju ke rumah keluarga Ahankhah, yang akhirnya mencabut tuntutan dan menyatakan bahwa Sabzian tidak melakukan penipuan dengan niat jahat dan itu hanya ekses dari kemelaratan dan kondisi sosial yang menekan kehidupan orang-orang kecil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar