Selasa, 23 Desember 2014

Ekonomi Jalan di Tempat

Ekonomi Jalan di Tempat

Eddy Suprapto  ;  Jurnalis Ekonomi
KORAN SINDO,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


Kampanye revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo rupanya belum menyentuh ruang birokrasi. Hal ini tecermin dari ruang fiskal yang besar seharusnya pemerintah pusat mampu merealisasikan pembangunan.

Apalagi, Kabinet Kerja Presiden Jokowi ingin secepatnya melakukan lompatan pembangunan dalam lima tahun ke depan. Namun, perilaku birokrasi serta sistem kerja birokrasi menjadi hambatan utama. Presiden boleh berganti namun birokrasi dan sistemnya tetap sama.

Hingga Oktober 2014, serapan belanja modal pemerintah pusat hanya menyerap anggaran 44,4% atau sekitar Rp71,4 triliun dari total belanja modal APBN P 2014 sebesar Rp160,8 triliun. Persoalan makin mengecewakan di saat pemerintah pusat tidak mampu menyerap anggaran APBN secara maksimal, pemerintah memotong subsidi bahan bakar minyak.

Akibat pemotongan subsidi BBM, pemerintah pusat memiliki uang Rp110 triliun. Pola kerja birokrasi sudah menjadi rahasia umum memiliki siklus rendah di semester awal dan menanjak pada akhir tahun. Akibatnya belanja anggaran cenderung boros, sekaligus tidak tepat sasaran.

Sejak beberapa tahun belakangan, realisasi anggaran cenderung lambat sehingga terjadi penumpukan target penghabisan anggaran di akhir tahun. Padahal, pemerintahan baru butuh birokrasi sebagai mesin pembangunan agar pembangunan berjalan sesuai dengan target dan perencanaan.

Reformasi birokrasi menjadi agenda utama karena pola menghabiskan anggaran di akhir tahun kasatmata mulai dari pengaspalan, perbaikan gorong- gorong air hingga pembergantian separasi jalan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, serapan anggaran Daerah Khusus Jakarta menjadi tolok ukur serapan anggaran pemda seluruh Indonesia. Serapan anggaran DKI sangat mengecewakan hanya 31% dari total nilai APBD DKI sebesar Rp72 triliun. Daerah lain yang juga rendah serapan anggarannya yakni Kalimantan Timur, Papua, dan Riau.

Sistem Kejar Setoran

Tahun ini belanja pemerintah mengalami kenaikan dari Rp112,9 triliun menjadi Rp160,8 triliun. Meningkatnya anggaran belanja itu seharusnya diikuti dengan penyerapan anggaran yang lebih baik, sehingga tidak menumpuk di akhir tahun. Kebiasaan menghabiskan serapan belanja pemerintah pada akhir tahun yaitu November dan Desember, terlihat pada siklus lonjakan realisasi belanja khususnya belanja modal.

Persoalan lain yakni transisi pemerintahan menyebabkan kevakuman kebijakan. Terutama pada Agustus hingga September, seluruh birokrat dalam pemerintahan tidak berani mengambil kebijakan. Akibatnya realisasi belanja modal menumpuk di akhir tahun. Bahkan proses lelang berlangsung lebih lama karena menteri baru akan memeriksa tiap kegiatan lebih hati-hati.

Rendahnya serapan anggaran juga dipicu enggannya para birokrat menangani proyekproyek pemerintah. Baik di pemerintah daerah maupun proyek kementerian. Kasus proyek TransjakartamenimpaKepala Dinas Perhubungan DKI membuat banyak birokrat enggan menjadi kepala proyek. Mereka takut “dijadikan” korban sebuah kebijakan dari pemerintah.

Kondisi ini cukup memprihatinkan. Karena terjadi kekosongan pelaksana pembangunan. Padahal, anggaran negara menjadi stimulus menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Jika belanja kementerian rendah, laju pertumbuhan mandek. Artinya, penyerapan anggaran yang rendah akan memengaruhi kegiatan ekonomi lainnya, terutama terkait dengan kegiatan di sektor riil.

Berpacu Dengan Pelambatan Ekonomi

Beragam tantangan di tahun 2015 ada di depan mata. Pemotongan subsidi BBM menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Ditambah kebijakan ekonomi ketat Bank Indonesia menaikkan BI rate hingga 7,75% menyebabkan naiknya bunga bank. Ujung-ujungnya masyarakat terbebani dengan kenaikan bunga bank.

Seiring dipangkasnya subsidi BBM mengakibatkan kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan tarif transportasi umum dan kebutuhan sembako pun naik. Akibat rentetan kebijakan ekonomi ini Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,1%. Dengan melambatnya ekonomi tahun depan, seharusnya pemerintahpusatmengoptimalkan belanja negara untuk menguasai pasar domestik ketika perekonomian global melemah.

Ini merupakan kesempatan bagi Indonesia memperkuat pasar domestik saat perekonomian China dan India melemah. Pemerintahperlumenetapkansatukebijakan strategis agar sumber daya produksi dan distribusi diarahkan untuk pasar domestik. Optimalisasi pembangunan pasar domestik bisa terlaksana jika penyaluran anggaran infrastruktur dijalankan.

Karena pasar domestik masih mampu mendorong pertumbuhan, pemerintah tidak perlu khawatir perekonomian nasional akan melemah. Meski tantangan paling nyata adalah melemahkan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan naiknya angka pengangguran, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2014 mencapai 5,70%, diperkirakan naik pada akhir tahun setelah kenaikan BBM.

Dengan rapor akhir tahun, rendahnya serapananggaranmenunjukkan pemerintah belum fokus membangun ketertinggalan infrastruktur nasional seperti, jalan, pelabuhan, bandara, kereta api, atau migas. Padahal, ketepatan pelaksanaan proyek sangat penting untuk mendorong pertumbuhan dan mempercepat pembangunan ekonomi, sehingga kesejahteraan rakyat bisa segera diwujudkan.

Dengan kondisi akhir tahun tanpa ada serapan anggaran modal secara optimal, sulit memunculkan revolusi mental di kalangan birokrasi. Akibatnya pembangunan berjalan lambat dan kesejahteraan rakyat jauh dari jangkauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar