Pandemi
dan Konstitusi J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS, 1 Juli 2021
”Usulan
itu menjerumuskan saya.” Akun
resmi Presiden Joko Widodo di Twitter, @jokowi, Minggu (2/12/2019) Sejak pandemi Covid-19
melanda dunia, banyak perdebatan berkisar tentang jenis sistem pemerintahan
yang dianggap paling efektif menangani Covid-19. Negara yang otoriter atau
setengah otoriter dianggap lebih berhasil dibandingkan dengan negara yang percaya pada demokrasi. Namun,
konstatasi itu sejauh ini belum bisa dipertanggungjawabkan validitasnya
mengingat pemeringkatan efektivitas
menangani pandemi tak mudah. Lazimnya, hal itu diukur
dari pelonggaran penguncian, peraturan kontrol mobilitas penduduk, strategi
pemulihan ekonomi, virulensi yang berubah-ubah, dan kematian. Kriteria
terakhir tidak mudah karena negara-negara yang melaporkan kematian juga
berbeda-beda. Belgia, misalnya, memasukkan kematian mereka yang diduga
terkena virus korona, tetapi tidak dikonfirmasi dengan tes. Selain itu, cukup
banyak negara yang tidak transparan melaporkan warganya yang meninggal akibat
Covid-19. Menurut think tank
Australia, Lowy Institute, tak mungkin sistem pemerintahan tertentu menjadi
juara permanen menangani pandemi Covid-19. Selain itu, tak terdapat teori
yang meyakinkan mampu menjelaskan perbedaan efektivitas kemampuan negara
meskipun satu negara membuktikan jauh lebih efektif dibandingkan negara lain.
Lembaga itu juga menyebutkan, berdasarkan indeks kinerja Covid-19, model
penguncian dan penutupan perbatasan yang diterapkan oleh negara-negara
otoriter tidak memiliki ”keuntungan jangka panjang” menekan virus.
Negara-negara demokratis lebih mempunyai stamina menangani pandemi dan juga
lebih efektif (News.com.au, 28/1/2021). Argumen Francis Fukuyama
tentang efektivitas negara menangani pandemi lebih valid. Permasalahannya
bukan pilihan dikotomi antara otoriter dan demokrasi. Isu sentral adalah
kapasitas negara, kepercayaan sosial, birokrasi atau aparatur yang kompeten,
dan kepemimpinan nasional yang efektif. Negara-negara yang institusi politik
dan birokrasinya tak berfungsi dengan semestinya, masyarakat terfragmentasi,
dan kepercayaan terhadap pemerintahan rendah sulit mengendalikan wabah
korona. Jadi, isunya bukan tipe rezim (”The Pandemic and Political Order”,
Foreign Affairs, edisi Juli/Agustus 2020). Meskipun tidak terdapat
korelasi positif antara pemerintahan otoriter dan efektivitas penanganan
pandemi, elite di beberapa negara tergoda mengonsolidasikan kekuasaannya dan
memperketat kontrol terhadap masyarakat sipil yang dapat mengarah kepada atau
memperkuat sistem otoritarian. Simtom godaan rekayasa
negara otoriter pernah mampir di Indonesia.
Gejalanya, gagasan agar Presiden Joko Widodo dapat dipilih kembali
untuk ketiga kalinya. Embrionya dimulai dengan mengembangkan isu soal
perlunya Indonesia memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara agar program
pembangunan berkesinambungan. Skenarionya, amendemen UUD 1945, presiden
dipilih kembali oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Salah satu hasil reformasi yang sangat penting ingin diubah
demi kekuasaan. Bola isu tersebut di
kalangan elite politik menggelinding cepat. Konon, sebagian besar fraksi di
MPR setuju. Beberapa kalangan masyarakat sipil juga ikut mengampanyekan isu
itu. Bahkan, hasil beberapa lembaga survei yang tak diumumkan, pada April-Mei
2021, mengindikasikan dukungan atas usulan Presiden Jokowi tiga periode
cenderung naik. Hasil survei SMRC menyebut responden yang tak setuju Presiden
Jokowi nyapres lagi 52,9 persen, 40,2 persen setuju, dan 6,9 persen menjawab
tidak tahu. Gelagat gagasan yang
mengancam demokrasi dengan mengobrak-abrik
konstitusi untuk melanggengkan nikmat kuasa para pemburu kekuasaan menyengat penciuman Presiden Jokowi. Ia
menolak, bahkan menuduh para pengusul ingin menampar muka, cari muka, dan
menjerumuskan. Ketentuan pembatasan jabatan presiden sangat penting mencegah kembalinya sistem otoriter yang lalim.
Respons Presiden Jokowi amat mujarab sehingga isu itu padam. Bayangkan kalau
reaksinya berupa kalimat bersayap, hampir dapat dipastikan ceritanya akan
jadi lain. Lebih-lebih kalau presidennya mengidap megalomania. Di Amerika Serikat,
”moyang”-nya demokrasi modern, pembatasan dua kali masa jabatan memerlukan
sekitar 200 kali usulan mulai 1796 sampai 1940. Akhirnya tahun 1950-an
amendemen ke-22 konstitusi membatasi jabatan presiden dua periode. Ini
setelah Presiden Franklin D Roosevelt menjalani tiga masa jabatan dan memenangi
pemilihan keempat. Namun, ia meninggal pada April 1945 sebelum menjalani masa
jabatan keempat
(www.history.com/news/fdr-four-term-president-22-amendment). Meningkatnya eskalasi
pandemi Covid-19 dan godaan gagasan Presiden Jokowi dipilih ketiga kalinya
tak menyurutkan harapan publik agar Pilpres 2024 lebih berkualitas.
Ekspektasi mulai mengembang dengan pemberitaan Kompas, 27 Juni 2021. Gubernur
Jateng Ganjar Pranowo memberi contoh melawan pandemi laiknya pendekar yang
berjibaku demi keselamatan rakyat. Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengandalkan
politik akal sehat dan politik tahu diri. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
lebih kurang melakukan hal yang sama. Ketiga sosok itu
berdasarkan hasil survei capres selalu ada di papan atas. Simtom awal yang menggembirakan
karena ketiganya berniat berlomba memadamkan pandemi sebagai sarana
persaingan pada 2024. Semoga niat awal ketiga politisi tersebut menjadi
teladan bagi para kandidat lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar