Ivermectin
dan Obat untuk Covid-19 Sampurno ; Direktur Jenderal POM 1998-2001; Kepala
Badan POM RI |
KOMPAS, 1 Juli 2021
Hari-hari terakhir ini
kasus Covid-19 di Indonesia mengalami lonjakan sangat tajam. Kasus baru yang
semula per hari berkisar 3.000-4.000 kasus melonjak menjadi 20.500 kasus.
Pelonjakan kasus ini menjadi perdebatan publik yang sangat ramai di media
sosial. Ada yang mengatakan
penyebabnya virus korona varian Delta dari India, ada juga yang mengatakan
dampak liburan panjang Idul Fitri. Masyarakat menjadi ketakutan dan sangat
tercekam karena, selain menyerang mereka yang sudah divaksin dua kali, varian
ini juga menyerang anak-anak balita. Lebih dari 200 tenaga
kesehatan di RS Kariadi, Semarang, terpapar Covid-19. Di tengah kepanikan
ini, tiba-tiba ada isu Ivermectin sebagai obat yang dapat mencegah dan
mengobati Covid-19 dengan efikasi tinggi. Badan Pengawas Obat dan
Makanan AS (FDA) telah cukup lama menyetujui Ivermectin sebagai obat spektrum
luas antiparasit, terutama untuk obat cacing (Ascariasis). Di luar negeri,
Ivermectin telah digunakan sekitar 35 tahun dan selama itu belum ada laporan
efek samping serius yang merugikan kesehatan pasiennya. Penggunaan dosis lazim
dapat dikategorikan praktis aman (practically safe). Untuk pengobatan penyakit
cacing, Ivermectin memang obat pilihan (drug of choice). Hanya saja, di
Indonesia, obat ini belum pernah beredar untuk digunakan pada manusia. Baru
1-2 bulan lalu diizinkan beredar dengan indikasi untuk obat cacing. Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan peringatan kepada masyarakat
luas Ivermectin adalah obat cacing tergolong obat keras dan dapat diperoleh
hanya dengan resep dokter. BPOM menyebut secara tegas Ivermectin bukan obat
untuk Covid-19. Namun, dalam kenyataannya,
Ivermectin digunakan secara off label untuk pengobatan Covid-19. Laporan tak
resmi menyebutkan penggunaannya memiliki tingkat penyembuhan tinggi untuk
kasus Covid-19, baik tingkat ringan, sedang, maupun parah. Dalam penggunaan
off label ini masyarakat tak bisa serta-merta dipersalahkan karena mereka
menghadapi pilihan antara hidup dan mati. Uji
”in vitro” dan uji klinis FDA telah menyetujui uji
in vitro Ivermectin dengan klaim dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2
penyebab Covid-19. Selain mampu sebagai inhibitor virus, Ivermectin memiliki
khasiat sebagai antiinflamasi/antiradang. Hasil uji in vitro ini sangat
atraktif untuk dilanjutkan dengan uji klinis yang tuntas. Logikanya, jika uji
in vitro menunjukkan hasil positif yang bagus, diprediksi juga akan mempunyai
korelasi positif dengan hasil uji klinisnya. Studi kolaboratif Monash
Biomedicine Discovery Institute dengan Institut Infeksi dan Imunitas Peter
Doherty (Doherty Institute) melaporkan, uji in vitro Ivermectin pada sel
kultur dapat membunuh 99,8 persen virus SARS-Cov-2 dalam waktu 48 jam. Dalam
dosis tunggal, Ivermectin dapat mereduksi 93 persen RNA virus itu dalam waktu
24 jam. Seperti diketahui, vaksin
untuk Covid-19 bertujuan untuk meningkatkan imunitas terhadap infeksi virus
korona. Adapun Ivermectin berperan menghambat replikasi virus sehingga jumlah
virus yang masuk ke tubuh sangat sedikit dan karena itu dengan mudah dapat
dimatikan oleh antibodi. Dengan demikian, dapat
dipahami, antara vaksin Covid-19 dan Ivermectin dapat saling melengkapi dalam
pengobatan untuk Covid-19. Kelebihan Ivermectin dapat digunakan dalam skala
jauh lebih luas dengan biaya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
vaksin. Beberapa hari lalu, WHO
masih menyatakan secara eksplisit, Ivermectin bukan obat untuk Covid-19
karena tak ada data ilmiah yang mendukungnya. BPOM yang tentu saja
berorientasi pada kebijakan WHO juga menyatakan Ivermectin adalah obat cacing
dan tak digunakan untuk terapi Covid-19. Ketua Satgas Covid-19
Ikatan Dokter Indonesia mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba arah angin
berbalik dan WHO menyarankan agar segera dilakukan uji klinis Ivermectin
untuk pengobatan Covid-19. BPOM malah telah memberikan surat persetujuan uji
klinisnya. Negara maju, termasuk AS
dan Inggris yang selama ini tak menaruh perhatian pada uji klinis Ivermectin,
tiba-tiba tergerak mendukung dan memfasilitasi. Universitas Oxford di Inggris
akan melakukan uji klinis skala besar. Selevel Universitas Oxford, tentu
telah melakukan kajian ilmiah lebih dahulu dan telah memprediksi hasil yang
akan dicapai sebelum melakukan uji klinis. Sebetulnya, beberapa
negara telah melakukan uji klinis ini, tetapi dalam skala relatif kecil dan
umumnya belum multisenter. Penelitian di Dakha, Bangladesh, melibatkan 72
pasien di rumah sakit. Pasien dibagi dalam tiga kelompok: yang menggunakan
Ivermectin oral selama lima hari, yang menggunakan kombinasi Ivermectin dan
Doxycycline, dan kelompok plasebo. Peserta yang terlibat
dalam uji klinis ini pasien dewasa yang menderita Covid-19 kategori ringan.
Dilaporkan penggunaan pada pasien kategori ringan selama lima hari ternyata
efektif dan aman. Jika penelitian dilakukan dalam skala lebih besar, diyakini
hasilnya akan memvalidasi temuan uji klinis ini. Studi uji klinis lainnya
di Bangladesh melibatkan 118 tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien
Covid-19. Dilaporkan, tenaga kesehatan yang tidak diintervensi Ivermectin
(kontrol) 73,3 persen positif Covid-19, sedangkan yang diintervensi
Ivermectin hanya 6,9 persen yang terpapar. Penelitian di Mesir
melibatkan 304 peserta yang telah kontak dengan Covid-19. Pasien diintervensi
dengan Ivermectin pada hari ke-1 dan ke-3. Setelah 14 hari, mereka yang
diintervensi 7,4 persen positif Covid-19. Yang tak diintervensi, yang positif
58,4 persen. Studi ini juga melaporkan, selain menurunkan tingkat keparahan,
intervensi Ivermectin juga menurunkan tingkat mortalitas pasien. Studi di Mazandaran, Iran,
mencakup 70 pasien: 35 mendapat pengobatan Ivermectin dan 35 mendapatkan
pengobatan standar. Hasilnya, penggunaan Ivermectin dapat mengurangi lamanya
tinggal di RS, menghilangkan sesak napas (dyspnea) dan batuk, serta limfosit
rendah (lymphopenia). Produksi
Ivermectin Produksi Ivermectin dengan
klaim sebagai obat untuk Covid-19 belum dilakukan di negara mana pun karena
belum ada dukungan data uji klinis yang sahih. Namun, sekitar 20 negara
diperkirakan sudah menggunakan Ivermectin untuk pengobatan Covid-19.
Alasannya, selain karena sulit mendapat akses untuk memperoleh vaksin, mereka
juga tak cukup memiliki dana untuk membeli vaksin bagi jutaan rakyatnya. Di masa pandemi global
ini, bisnis vaksin untuk Covid-19 luar biasa besar dengan nilai penjualan
puluhan miliar dollar AS. Produsen vaksin tentu merasa terancam jika, dari
uji klinis, Ivermectin terbukti dapat mencegah dan mengobati Covid-19. Harga
Ivermectin yang jauh lebih murah dan terjangkau masyarakat luas merupakan
daya tarik tersendiri dalam perspektif keekonomian ataupun kesehatan rakyat
banyak. Untuk memproduksi
Ivermectin, produsen diwajibkan memakai bahan baku yang disetujui WHO.
Ketentuan ini berdampak pada produsen Ivermectin Indonesia karena harga bahan
baku dengan kualifikasi itu sangat mahal dan langka. Saat ini produksi
Ivermectin hampir terhenti karena ketersediaan bahan baku sangat menipis.
Bisa jadi ini bentuk tekanan tak langsung dari perusahaan multinasional (MNC)
untuk mempersulit produksi dan pemasaran Ivermectin. MNC akan mengeksplotasi
maksimal pandemi Covid-19 ini untuk keuntungan korporasinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar