Diversifikasi
Kunci Sistem Pangan Pasca-Covid-19 Purwiyatno Hariyadi ; Guru Besar Teknologi Pangan IPB University;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); dan Vice Chairperson of
Codex Alimentarius |
KOMPAS, 3 Juli 2021
Tahun 2021 ini,
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan rangkaian Pertemuan Tingkat
Tinggi Sistem Pangan (United Nations Food Systems Summit/UNFSS), puncaknya
pada September-Oktober 2021. Pertemuan ini bertujuan mengidentifikasi
cara-cara efektif mencapai target Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) pada tahun 2030. Diinginkan adanya sistem pangan yang lebih baik,
yaitu lebih meningkatkan kesehatan, berkelanjutan, dan berkeadilan. Diharapkan UNFSS akan
menghasilkan statement of action sebagai arahan dan panduan untuk
pengembangan sistem pangan yang lebih baik tadi. Pada gilirannya, arahan dan
panduan ini akan dapat diterjemahkan dalam bentuk komitmen negara-negara
untuk berinvestasi menuju sistem pangan yang lebih baik, sesuai dengan
kondisi khasnya. Sistem
pangan Kinerja sistem pangan,
antara lain, dimanifestasikan dalam ketahanan pangan dan gizi. Secara global,
kondisi ketahanan pangan dan gizi seperti dilansir FAO, Unicef, IFAD, WFP,
dan WHO (2020) juga memprihatinkan. Sejak tahun 2019 (sebelum pandemi
Covid-19), data menunjukkan mulai ada indikasi peningkatan jumlah orang
kurang gizi. Pada 2019 diperkirakan hampir 690 juta orang (atau 8,95 persen
populasi dunia) kekurangan gizi. Angka ini meningkat sebesar sekitar 10 juta
orang dibandingkan dengan angka pada tahun 2018. Jadi, secara global target
SDGs, khususnya mencapai dunia tanpa kelaparan (zero hunger) pada tahun 2030,
akan sulit tercapai. Pandemi Covid-19 kemungkinan besar akan mempercepat
peningkatan jumlah orang yang kelaparan. Yang berarti, upaya pencapaian
target SDGs akan semakin berat. Di Indonesia, kondisi
ketahanan pangan dan gizi saat ini juga tidak lebih baik. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar tahun 2018 (Kemenkes tahun 2019), prevalensi anak balita
kurang gizi cukup memprihatinkan, yaitu 17,7 persen (18 dari setiap 100) dan
30 persen (1 dari 3) anak balita menderita kurang gizi dan tengkes
(stunting). Laporan ini juga
menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dewasa Indonesia berusia di atas 18
tahun yang mengalami kelebihan berat badan (13,6 persen) dan obesitas (21,8
persen). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu memperbaiki sistem
pangannya dengan lebih serius, khususnya dengan memperhatikan kondisi pandemi
Covid-19 ini. Unicef, misalnya, memprediksi jumlah anak Indonesia yang
kekurangan gizi dapat meningkat tajam akibat Covid-19, kecuali jika tindakan
luar biasa dan segera diambil. Pertanyaan
mendasar Ketahanan pangan yang
memburuk, bahkan sebelum pandemi Covid-19, memunculkan pertanyaan mendasar
terkait sistem pangan saat ini. Dengan pandemi Covid-19, Indonesia (setiap
pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan pangan) tidak hanya perlu
memastikan berfungsinya rantai pasokan pangan, tetapi sekaligus juga perlu
menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem pangan. Telah cukup banyak program
dan investasi yang ditanamkan untuk pengembangan sistem pangan, tetapi kenapa
ketahanan pangan dan gizi tidak juga membaik, seperti ditunjukkan oleh
Riskesdas 2018. Salah satu kritiknya,
pengembangan sistem pangan yang dilakukan selama ini terlalu fokus untuk
menghasilkan pangan dengan kuantitas tinggi dan harga murah. Fokus ini telah
mendorong pertumbuhan praktik pertanian intensif, teraglomerasi, berskala
besar, terfokus pada komoditas tertentu dan input yang tinggi. Namun, data menunjukkan
bahwa hasil dari sistem ini tidak seperti yang diharapkan. Sistem pangan saat
ini telah menyebabkan peningkatan gizi buruk, tidak hanya kekurangan gizi,
tetapi juga kelebihan berat badan dan obesitas. Diversifikasi
pangan Selain itu, sistem pangan
saat ini juga bergantung pada hanya beberapa komoditas pangan. Menurut FAO,
sekitar 250.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi telah diidentifikasi, dan di
antaranya sekitar 30.000 spesies tumbuhan dapat dimakan. Namun, hanya 30,
yang berarti 0,1 persen, dari spesies tanaman yang dapat dimakan, yang
digunakan untuk memberi makan dunia saat ini. Dan, dari 30 tanaman tersebut,
hanya 5 tanaman serealia (yaitu beras, gandum, jagung, jawawut, dan sorgum)
yang mendominasi, mencakup sekitar 60 persen asupan energi penduduk dunia. Kasus Indonesia, 62,1
persen (tahun 2017) dan meningkat menjadi 65,7 persen (tahun 2018) asupan
energinya hanya berasal dari tiga serealia: beras, gandum, dan jagung. Dari
tiga itu, beras mendominasi (lebih dari 80 persen) dengan konsumsi 95,4
kg/kap/tahun (2017) dan 97,1 kg/kap/tahun (2018). Sistem pangan demikian
cukup rapuh karena, jika terjadi gangguan pada produksi dan distribusi beras,
seperti yang terjadi akibat pandemi Covid-9, dampaknya akan sangat serius. Jadi, terlihat adanya
kebutuhan untuk memperluas basis pangan untuk sistem yang lebih baik dan
lebih tangguh. Diversifikasi pangan mantra lama yang perlu digaungkan dan
digarap serius. Diversifikasi secara potensial dapat meningkatkan variasi dan
kualitas pangan sehingga mampu menjamin gizi dan kesehatan yang lebih baik.
Tidak hanya itu, diversifikasi pangan juga akan memperkuat aneka subsistem
pangan lokal, yang berarti lebih inklusif, berkeadilan, dan lebih
berkelanjutan menjaga kelestarian lingkungan. Sistem pangan yang
didasarkan pada usaha lokal skala kecil yang beragam jauh lebih baik daripada
sistem yang hanya didasarkan pada beberapa perusahaan skala besar. Dan hal
ini relevan dengan fakta bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan yang saat
ini masih tersembunyi dan terkadang terabaikan atau kurang dimanfaatkan. Inisiatif pemerintah dalam
memelihara dan mempromosikan keragaman pangan lokal sangat penting untuk
mengubah sistem pangan. Hal ini perlu dimulai dengan penelitian untuk
menggali keunikan, daya saing, dan sifat fungsional khas pangan lokal,
mengembangkan skema insentif bagi industri pangan (khususnya UMKM) untuk
meningkatkan dan memanfaatkan bahan-bahan lokal, serta mendidik masyarakat
untuk mendukung inisiatif tersebut. Transformasi sistem pangan
ini dapat meningkatkan kualitas pola makan kita, beralih dari pola pangan
cukup energi (energy sufficient diet, yang saat ini berdasarkan beras,
gandum, dan jagung) menjadi pola pangan cukup gizi (nutrient adequate diet,
diet terdiri dari aneka sumber karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta
mineral). Dan akhirnya, ke pola pangan berkualitas menyehatkan (healthful
diet) dengan asupan pangan lebih beragam dari beberapa kelompok pangan yang
berbeda, aneka buah dan sayuran, serta aneka sumber protein nabati, ikani,
dan hewani. Mengingat potensi
keragaman sumber pangan Indonesia, investasi jangka panjang menuju pola
pangan berkualitas dan menyehatkan ini perlu lebih serius dilakukan,
melibatkan semua pihak dengan koordinasi nasional. Badan Pangan Nasional yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Pangan (UU Nomor 18 Tahun 2012) seharusnya
mengoordinasikan hal ini. Jelas, ada banyak
tantangan (dan peluang) untuk transformasi ini. Inovasi nasional menjawab
tantangan kebutuhan pangan aman, bergizi, dan berkualitas yang tersedia dan
terjangkau sangat diperlukan. Kali ini, inovasi semacam itu harus
dikembangkan dengan pola pikir baru, yaitu membangun sistem pangan yang dapat
meningkatkan kesehatan, berkelanjutan, dan berkeadilan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar