Ki
Manteb dan Perang ”Brubuh” Heri Priyatmoko ; Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta |
KOMPAS, 3 Juli 2021
Embun sedang giat-giatnya
mengeramasi dedaunan di Dusun Jatimalang, Desa Palur, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Menjelang subuh, di saat orang asyik menarik selimut menepis rasa dingin,
dari rahim Sudarti mbrojol bayi merah hasil perkawinan dengan Ki Hardjo
Brahim Hardjowiyono. Selasa Legi tanggal 31 Agustus 1948, bocah ini melihat
terangnya jagad cilik (bumi). Tanpa banyak cingcong, suami-istri tersebut
memberi tetenger buah hati dengan nama Manteb. Nama ringkas itu
di-templok-kan dengan kemantaban hati lantaran kedua pasangan ini memikul
kerinduan selama satu dekade untuk berjuang memperoleh momongan. Manteb diasuh dalam
ekologi perdesaan yang ayem tentrem. Dalam tubuh anak ini mengalir darah
seniman. Pasalnya, bapaknya berprofesi sebagai dalang, ibunya juga dalang
plus penggender jempolan. Ditarik ke atas lagi, bocah yang kelak bernama
lengkap Ki Manteb Soedharsono itu merupakan cucu dari dua dalang beken di eranya. Kakek dari ayah
ialah Ki Djarot Hardjowiguno, sedangkan kakek dari ibu bernama Ki Gunawan
Gunowihardjo asal Tepus, Majagedang, Karanganyar. Maklum jika dalang yang
kondang dengan sabetan maut tersebut mencintai wayang sedari bocah. Kemarin (2 Juli 2021), Ki
Manteb kembali berkumpul dan ”mendalang” bareng di khayangan bersama
bapak-ibu serta kedua kakeknya. Raga sepuhnya ambruk karena ”digigit”
Covid-19. Ingatan saya melayang pada beberapa tahun silam tatkala saya
bertandang ke rumahnya di kaki Gunung Lawu. Saya ”menodong” dongeng perihal
relasi wong Jawa dan wayang di era kontemporer. Dengan tawa terbahak dan gigi
ompongnya kelihatan, beliau lincah mengisahkan wayang tak mungkin mati.
Apalagi, wayang kulit Jawa bisa dikaitkan dengan dunia riil Indonesia. Apa yang dikemukakan ”Si
Dalang Oye” ini benar adanya jika melongok buku klasik Mitologi dan Toleransi
Orang Jawa anggitan (karangan) Ben Anderson. Indonesianis itu menerangkan
bahwa wayang merupakan kaca benggala siapa sejatinya manusia Indonesia
berikut perilakunya. Kendati tinggalan kebudayaan klasik, lakon wayang
(kulit) yang dibawakan sang dalang masih aktual dan cukup membantu menafsirkan
fenomena politik dewasa ini. Dalam memahami kegaduhan
dan pertikaian untuk ”memperebutkan” kekuasaan, dalang di depan kelir yang
terbentang bisa saja mengambil lakon ”perang brubuh”. Manusia Jawa mencatat
terdapat tiga jenis perang dalam pertunjukan wayang kulit Jawa, yaitu perang
gagal, perang kembang, dan perang brubuh. Yang dimaksud perang gagal
ialah sengketa antara pihak yang baik dan pihak yang berniat jahat, tetapi
hasilnya imbang: tiada yang kalah dan menang. Kemudian, perang kembang
dikenal sebagai pertempuran sengit antara seorang ksatria yang ditempeli
sifat baik melawan empat raksasa di alas (hutan rimba). Dalam pertempuran
itu, ksatria mampu mencabut nyawa keempat buta (raksasa) yang ganas. Namun,
anehnya, keempat raksasa berwajah merah ini dalam banyak kisah acap hadir
kembali dan ditumpas oleh ksatria lainnya. Keempat buta tersebut tak pernah
mati. Kalaupun meninggal, pasti hidup lagi. Terakhir, yaitu perang brubuh atau perang habis-habisan yang
bermuara dengan kematian mereka yang berniat jahat. Pada konsep ideal di
jagat pewayangan, perang tersebut menceritakan mereka yang ketahuan berbuat
jahat dan curang akan dikalahkan dalam perang itu menjelang akhir pertunjukan
yang ditandai dengan tanceb kayon.
Selepas itu, pertunjukan wayang kelar, lalu jagat dan manusia berada dalam
ketenangan. Jalan pikiran masyarakat
Jawa dalam pewayangan mengisyaratkan bahwa perang menghabisi keangkaramurkaan
atau kejahatan di dunia riil bukan urusan yang gampang. Meski demikian, dalam
jalan cerita perang brubuh sudah ditentukan alias wis ginaris bahwa kelompok yang berwatak jahat dan bermain dengan
strategi yang kurang elegan dalam suatu permainan bakal mengunduh kekalahan.
Kelicikan atau kampanye hitam yang diterapkan dalam peperangan malah
menyerang balik dirinya. Hal tersebut telah menjadi pakem dalam skenario seni
pedalangan, takdir yang tidak mungkin diingkari. Sang dalang bebas mengubah
cerita sesuai permintaan penanggap, misalnya memenangkan Kurawa alias
kelompok yang jahat di medan laga. Para penonton pasti akan melontarkan
kritik serta mencemooh dalang. Pasalnya, terawat dalam sanubari manusia bahwa
kejahatan merupakan pihak yang kalah, sedangkan kelompok berperilaku baik dan
menabur cinta kasih ialah pihak menang. Wayang, dalam pemahaman mereka,
telanjur menjadi suatu mitos yang hidup, menyajikan kisaran idealita yang
luas dalam berbagai penokohannya yang memungkinkan orang Jawa punya sejumlah
alternatif dalam pengindentifikasian diri dan pembentukan karakternya, serta
memiliki pandangan khusus mengenai berbagai sifat manusia di sekitarnya. Masyarakat terlampau sulit
menerima mereka yang berbuat jahat justru memenangi pertandingan, lalu
berkuasa di jagad cilik (bumi). Jika sampai menjadi kenyataan, berarti
menciderai akal sehat, dan mengingkari takdir yang digariskan Dalang Kang
Sejati: Gusti Allah. Sukar untuk tidak menerima
wayang dalam memahami aktivitas politik yang terjadi di negeri yang mempunyai
puluhan jenis wayang ini. Wayang, sebagaimana sistem metafisika dan etika
yang lain, berkenaan dengan penjelasan alam semesta Indonesia. Meski sebagian
didasarkan pada epos Ramayana dan Mahabarata dari India, mitologi wayang Jawa
adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang
Jawa, berbagai relasinya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada
sejawatnya dan kepada dirinya sendiri. Pluralisme moral ditemukan
dalam puluhan tokoh wayang menyelubungi seluruh jagat wayang. Begitu pula
dengan dunia politik Indonesia yang dipenuhi berbagai watak dan moral para
pelakunya. Maka, tidak sedikit dari kita mudah menganalogikan para pembisik
yang bersifat jahat dengan sosok Sengkuni. Juga sederetan tokoh jahat lainnya
merupakan personifikasi dari kelompok Kurawa. Jadi, bukanlah hal wajar
apabila petarung politik yang melakukan kelicikan dan kecurangan memenangi
pertandingan, sebab wis ginaris. Masih merujuk dunia
pewayangan yang digeluti Pak Manteb hingga ujung hayat, suasana yang panas
akan dingin dan hati pendukung yang bertikai dibilas dengan tirta suci, tirta
kamandalu, tirta nirmala, toya pawira,
toya marta, banyu mahapawitra, maupun
banyu bening pawitra sari. Asa terpacak, siapa pun pemimpinnya, mampu
membawa kerajaan dalam kemakmuran. Dalang Manteb ber-sesorah
mengisahkan alam perdesaan Karanganyar dan waduk yang dibangun Gusti
Mangkunegara VII menginspirasinya dalam janturan jejer: ”...lenggak-lenggok lampahing toya ingkang mijil saking
sendang-sendang wening, tirtane pinara-para playune tinampi wadhuk
binendung-nendung kinarya angileni sawah myang pategalaning narakisma.”
Terjemahan bebasnya: ”...berkelok-kelok air mengalir keluar dari mata air
yang jernih, airnya dibagi-bagi dimasukkan ke waduk-waduk untuk digunakan
mengairi sawah dan ladang para petani.” Akhirnya, Pak Manteb mangkat mayang
menyang kayangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar