Pemulihan
Ekonomi Hijau, Titik Balik Pemulihan Ekonomi Indonesia Widhyawan Prawiraatmadja ; Pengamat Energi |
KOMPAS, 09 Juni 2021
Organisasi Kesehatan Dunia
atau WHO menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Untuk memutus
penyebaran virus, interaksi manusia dibatasi. Hal ini mengakibatkan mobilitas
masyarakat dan produksi industri menurun sehingga menurunkan perkembangan
ekonomi, termasuk Indonesia. Negara ini resmi mengalami
resesi setelah dua kali berturut-turut mengalami kontraksi laju ekonomi pada
kuartal kedua dan ketiga tahun 2020. Akibatnya, angka pengangguran meningkat,
kesenjangan dan ketidaksetaraan ekonomi meningkat, serta terjadi fluktuasi
harga komoditas. Hasil simulasi SMERU tahun
2020 yang mengangkat dampak pandemi pada tingkat kemiskinan Indonesia
menyatakan bahwa angka kemiskinan akan mencapai 12,4 persen (meningkat 3,2
persen dari angka kemiskinan pada September 2019). Artinya, akan terjadi
penambahan 8,5 juta orang kurang mampu. Kini bergaung strategi
Green Economic Recovery atau Pemulihan Ekonomi Hijau untuk meningkatkan daya
lenting ekonomi Indonesia dengan perspektif lebih berkelanjutan. Komponen
dalam strategi ini, antara lain, pengembangan energi terbarukan, teknologi
efisiensi energi, skema insentif untuk kendaraan rendah karbon, perluasan
jaringan energi, infrastruktur transportasi hijau, hingga investasi dan
stimulus. International Energy Agency menyatakan bahwa stimulus hijau
memberikan manfaat makro ekonomi sebesar 0,1—0,5 persen dari produk domestik
bruto (PDB) dalam dua tahun, tergantung pada ukuran stimulusnya. Green stimulus atau
stimulus hijau pernah dilakukan Uni Eropa, Amerika Serikat, China, dan Jepang
pada tahun 2008. Penerapan kebijakan stimulus hijau dianggap berhasil karena
krisis keuangan global memengaruhi penurunan PDB berkisar 3-5 persen. Dengan stimulus hijau
pula, krisis keuangan tahun 2008-2009 menghasilkan intensitas karbon yang
lebih rendah dibandingkan dengan krisis ekonomi pada 1980-an hingga 1990-an.
Peningkatan tahunan intensitas karbon dalam periode itu adalah 1,5-1,8
persen, sementara hanya 0,9 persen dalam periode 2008-2009. Agar benar-benar kembali
bangkit, Indonesia perlu menciptakan iklim ramah investasi dan mengakomodasi
tren global. Saat ini Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG)
Funds menjadi patokan investasi bagi para investor global. Investasi berbasis
ESG berarti emiten dari proses usaha telah mempertimbangkan faktor
lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Pada 2020, ESG Funds
berhasil mencatat rekor dana segar 51,1 miliar dollar AS dari para investor.
Dua kali lebih besar dibanding tahun 2019 yang ”hanya” 21 miliar dollar AS.
Tren ESG Funds ini menjadi angin segar bagi negara-negara yang telah
menjalankan prinsip berkelanjutan dalam kegiatan usahanya. Dengan pengesahan UU Cipta
Kerja tahun lalu, Pemerintah Indonesia sempat mendapat surat keprihatinan
dari puluhan investor global karena regulasi ini ditengarai melanggar standar
praktik terbaik investasi internasional dan membahayakan aktivitas bisnis
investor yang akan masuk ke Indonesia, dari risiko reputasi hingga
operasional. Pada saat yang sama, beberapa negara dalam G-20 mengadopsi
Pemulihan Ekonomi Hijau. Bahkan, Korea Selatan mengeluarkan kebijakan Green
New Deal yang fokus pada energi terbarukan dan kendaraan listrik. Indonesia
akan menjadi ramah investasi apabila kebijakan investasinya selaras dengan
tren tersebut. Dalam konteks pembangunan
rendah karbon, sektor-sektor yang menjadi target empuk investasi
internasional sangat jelas terbaca, yaitu sektor penghasil karbon tertinggi
sehingga tidak heran bila Korea Selatan menyebut energi terbarukan dan
kendaraan listrik. Inilah celah bagi Indonesia karena pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan terkait kendaraan listrik berbasis baterai dan berniat
mengembangkan industri baterai. Apalagi Indonesia dikatakan memiliki stok
nikel terbesar di dunia. Tidak bisa dimungkiri,
kendaraan listrik mayoritas mendapat pasokan energi berbasis fosil. Namun,
dalam konteks transportasi rendah karbon sangat mungkin kita bertransisi ke
arah kendaraan listrik yang bersumber dari energi terbarukan. IRENA (Global Renewables
Outlook 2020) mengatakan, dengan meningkatkan porsi energi terbarukan global
sebanyak enam kali lipat dari bauran energi saat ini, GDP Global akan
meningkat hingga 2,4 persen pada 2050, setara dengan 98 triliun dollar AS.
Meningkatnya GDP tersebut diiringi peningkatan kesejahteraan global hingga
13,5 persen dan tersedianya lebih dari 42 juta lapangan pekerjaan di sektor
energi terbarukan. Saat ini, biaya
pembangkitan listrik energi terbarukan global menurun signifikan. Solar PV
menurun sebesar 82 persen, turbin angin sebesar 39 persen, dan teknologi
baterai sebesar 89 persen bila dibandingkan tahun 2010 dan 2019. Pengembangan infrastruktur
energi terbarukan merupakan kunci pemulihan ekonomi hijau di sektor
transportasi. Momentumnya, sekarang. Kesempatannya, sekarang. Pertama,
mengalihkan subsidi bahan bakar fosil agar lebih tepat sasaran. Kedua,
memperbaiki tata kelola sektor transportasi dan energi, khususnya pada
terobosan iklim investasi kendaraan listrik dan energi terbarukan. Ketiga,
mengevaluasi asumsi perencanaan dan menganalisis setiap skenario kebijakan
yang dapat terjadi. Dengan terobosan yang
tepat, dalam kebijakan, pendanaan, teknologi, dan SDM, Indonesia dapat
menjadi negara terdepan dalam pertumbuhan ekonomi hijau. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar