Pembatalan
Ibadah Haji di Masa Pandemi Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan
Kemahasiswaan Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga |
KOMPAS, 11 Juni 2021
Untuk yang kedua kalinya,
pemerintah membatalkan ibadah haji. Pembatalan itu disampaikan Menteri Agama
Yaqut Cholil Qoumas pada 3 Juni 2021. Pembatalan haji yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 ini diambil karena kondisi
pandemi Covid-19 yang masih membahayakan. Tahun 2020, pemerintah
juga membatalkan ibadah haji yang disampaikan Menteri Agama Fachrul Razi pada
2 Juni 2020. Alasan mendasar yang melatarbelakangi saat itu adalah demi
menjaga keselamatan setiap jiwa manusia. Hal ini sejalan dengan
spirit maqashid syariah yang menjadikan hifdz an nafsi (menjaga keselamatan
jiwa) sebagai prinsip dasar penerapan syariah dalam kehidupan beragama. Namun, keputusan itu
menimbulkan pro dan kontra yang cukup riuh. Kalangan yang pro memaklumi bahwa
cukup mustahil ketika di masa pandemi pemerintah harus memaksakan diri
membiarkan rakyatnya untuk melaksanakan ibadah haji. Apalagi Pemerintah Arab
Saudi menetapkan standar vaksinasi yang tidak sama dengan yang dilakukan
Indonesia sebagai syarat pelaksanaan haji. Sementara itu, kalangan
yang kontra terhadap keputusan pembatalan haji turut memunculkan berbagai
alibi dan kecurigaan, baik secara teknis permusyawaratan di level legislatif
maupun aspek substantif bahwa pemerintah sudah menghambat niat umat Islam
yang akan menunaikan ibadah haji. Rekam
jejak Lepas dari berbagai
sengkarut ketidaksetujuan berbagai pihak terhadap keputusan pembatalan haji
oleh Menteri Agama, sesungguhnya dalam sejarah perjalanan ibadah haji ada
berbagai insiden pembatalan yang pernah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Dalam buku Fragmen Sejarah
NU, Mun’im DZ menguraikan salah satu peristiwa penting, yakni pada 20 April
1946 KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa pengharaman ibadah haji karena
Indonesia saat itu dalam keadaan dijajah dan keamanannya terancam. Dengan mereka meninggalkan
Tanah Air sekian lama, penjajah menjadi leluasa menyerang. Apalagi, saat itu,
haji hanya dijadikan propaganda oleh penjajah untuk meraih simpati rakyat
Indonesia. Di samping itu, jika mengacu
pada data The Saudi King Abdul Aziz Foundation for Research and Archive,
dalam sejarah kehidupan manusia setidaknya ada 40 kali pembatalan ibadah haji
yang dilakukan Kerajaan Arab Saudi. Ada berbagai faktor kenapa
ibadah haji dibatalkan. Semisal, tahun 1920, Pemerintah Arab Saudi melarang
dan menutup ibadah haji lantaran saat itu Arab Saudi sedang terpapar wabah
kolera. Wabah kolera yang ditimbulkan oleh sikap serampangan jemaah haji
dalam menyembelih kambing sebagai dam ini memapar sejumlah negara hingga
mengancam jutaan manusia. Bahkan, dalam sejarahnya,
ada beberapa tahun terjadi pembatalan ibadah haji karena wabah pula. Seperti
yang terjadi pada tahun 1814, 1837, 1858, dan tahun 1892. Selain faktor wabah,
pembatalan ibadah haji yang disebabkan oleh faktor keamanan juga pernah
terjadi. Misalnya, beberapa potret buram ketidakamanan Mekkah, seperti
tindakan penjarahan dan pembunuhan yang menimpa penduduk Mekkah tahun 250
Hijriah. Peristiwa perampokan dan pembunuhan yang menimpa jemaah haji di sekitar
Mekkah pada tahun 317 Hijriah. Dampaknya, di sepanjang
tahun 317 hingga 326 Hijriah, tak seorang pun berani melaksanakan ibadah haji
karena sikap barbar Qaramithah. Di luar beberapa kasus
wabah dan sikap ketidakberadaban beberapa pihak yang mengancam praktik ibadah
haji, ada kasus-kasus lain yang bermula dari perselisihan dan konflik
internal umat Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada tahun 626 Hijriah,
ketika penguasa Mesir dan penguasa Damaskus terlibat pertempuran sesama
penguasa Muslim. Kejadian itu memicu
ketidakamanan pelaksanaan ibadah haji sehingga penduduk Syam tidak ada yang
berani menunaikan ibadah haji. Saat kasus konflik
internal antarumat Islam yang melibatkan Irak yang mencaplok Kuwait sehingga
meletus Perang Teluk II pada tahun 1991, Pemerintah Indonesia juga hampir
membatalkan ibadah haji guna menyelamatkan jemaah Indonesia. Menteri Agama Munawir
Sjadzali yang berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa
pihak terkait sudah berancang-ancang membatalkan ibadah haji apabila tidak
ada jaminan terhadap keselamatan jemaah Indonesia. Utamakan
keselamatan Mengacu pada berbagai
peristiwa ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang melingkupi sepanjang
perjalanan ibadah haji tersebut, ada benang merah yang bisa ditarik lurus
dengan alasan elementer Menteri Agama yang saat ini turut membatalkan ibadah
haji. Dalam kaitan ini, Menteri
Agama sebagai lokus sentral yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan
ibadah haji telah memosisikan diri sebagai pemimpin yang ingin bertanggung
jawab dengan berbagai konsekuensi pembatalan ibadah haji pada tahun ini. Sikap Menteri Agama ini
senapas dengan sebuah kaidah fikih yang berbunyi ”tasharrafu al imam ’ala ar
ra’iyah manuthun bi al maslahah” (kebijakan seorang pemimpin atau pemerintah
terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan). Melalui kerangka
kemaslahatan ini, pemerintah meletakkan keselamatan jiwa (hifdz an nafsi)
sebagai konsep istitha’ah (kemampuan) dalam melaksanakan haji. Dengan demikian, ketika
isthitha’ah yang menjadi syarat wajib haji sebagaimana disitir dalam QS
Al-Imran Ayat 97 dihubungkan dengan keamanan dan kesehatan, di masa pandemi
ini setiap calon jemaah haji dianggap tidak akan mampu menjalankan ibadah
haji. Lalu, ketika ada calon jemaah haji yang masih ingin mendesak pemerintah
agar tetap memberangkatkan calon jemaah haji ke Mekkah, sesungguhnya ia telah
”menodai” pesan penting Al-Quran. Oleh karena itu,
satu-satunya pilihan yang perlu disikapi oleh siapa pun adalah mematuhi
aturan pemerintah yang saat ini sudah menetapkan aturan pembatalan ibadah
haji. Apalagi, dalam pembatalan ibadah haji sudah disertai jaminan oleh
pemerintah untuk tetap memberangkatkan pada tahun berikutnya ketika kondisi
korona mulai mereda. Semoga, pembatalan ibadah
haji tahun ini memberikan pelajaran berharga dan hikmah besar bagi kita untuk
tetap bersabar dan tawakal. Barangkali dengan bersabar dan tawakal, kita bisa
meresapi spirit kemabruran yang selama ini menjadi the ultimate concern dalam
ibadah haji. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar