Kamis, 10 Juni 2021

 

Delegasi Tata Kelola Negara-Bangsa

Irfan Ridwan Maksum ;  Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara-UI, Ketua Kluster Democracy and Local Governance

KOMPAS, 10 Juni 2021

 

 

                                                           

Menyusul diterapkannya UU Cipta Kerja, banyak urusan pemerintahan ditarik kembali menjadi urusan pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman terkait bagaimana mengefektifkan roda tata kelola negara-bangsa berbagai urusan pemerintahan itu. Dalam UU Cipta Kerja (CK) disebutkan implementasinya melalui sejumlah peraturan organik di bawahnya. Dari sini mencuat istilah yang jadi semacam “momok” sekaligus harapan efektivitas tata kelola negara bangsa ini, yakni “delegasi”.

 

Pemerintah menyiapkan peraturan perundangan untuk melakukan delegasi urusan pemerintahan kepada berbagai pihak yang dianggap tepat. Meskipun banyak disebutkan dalam UU itu kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah, namun terdapat berbagai kemungkinan pihak lain yang dapat menerima delegasi dari pemerintah.

 

Delegasi sendiri memiliki bermacam makna, jika keliru menetapkan materi delegasi dan ke siapa delegasi diberikan justru dapat terjadi sengketa dan dapat berakibat tak efektif tata kelola yang diharapkan.

 

Dua golongan makna

 

Pertama, delegasi sudah dikenal dalam praktik tata kelola organisasi manapun di dunia. Delegasi adalah “fenomena dasar” dalam organisasi karena melekatnya karakter pembagian kerja di organisasi manapun. Pembagian kerja menimbulkan delegasi. Delegasi itu secara harafiah adalah adanya pergeseran wewenang dari delegator (yang mendelegasikan) ke delegatee (yang menerima).

 

Dalam organisasi manapun yang kerap terjadi adalah dari atasan ke bawahan. Sementara terdapat delegasi dari elemen organisasi ke pihak di luar, bahkan dalam organisasi yang bukan beraras dari atasan ke bawahan langsung. Terjadi terus-menerus dan ditemu-kenali oleh baik praktisi maupun para pengkaji fenomena organisasi di manapun di dunia ini.

 

Dalam hal delegasi dari atasan ke bawahan timbul istilah desentralisasi manajerial. Dalam tata kelola negara-bangsa, khususnya dalam pemerintahan dikenal dengan dekonsentrasi. Para praktisi dan pengkaji organisasi dari negara-negara yang berkiblat Inggris-Amerika mengenalnya dengan “desentralisasi administratif”.

 

Istilah-istilah itu muncul untuk membedakan istilah generik delegasi dalam pandangan tata kelola organisasi secara umum. Delegasi ke pihak lain di luar organisasi negara, menimbulkan istilah terkenal lain, yakni “privatisasi” karena adanya keikutsertaan pihak swasta dalam tata kelola negara bangsa.

 

Kedua, istilah delegasi juga tetap eksis walaupun sudah muncul istilah-istilah di atas, bahkan “dikhususkan” dalam praktik pemerintahan menjadi cara untuk membuat penerima delegasi jadi lebih otonom, berbeda dari “desentralisasi administratif” atau “dekonsentrasi”.

 

Delegasi digunakan untuk membentuk “organisasi parastatal” (Cheema dan Rondinelli: 1985). Delegasi dalam pengertian tata kelola negara bangsa ini, ditujukan untuk membentuk organisasi semi-otonom, sedangkan desentralisasi administratif atau dekonsentrasi tetap dalam konteks birokratisasi, yakni atasan-bawahan yang lebih hierarkis.

 

Delegasi dalam artian pergeseran wewenang, terjadi di semua konsep tadi. Perkembangan berikutnya, yang teramat penting dalam tata kelola negara-bangsa, timbul juga delegasi yang dimaksudkan untuk menciptakan unit otonom murni sebagai pemerintahan sub-nasional, yaitu “devolusi”. Devolusi dikenal juga dengan istilah desentralisasi politik pada awal 1980-an-1990-an akhir.

 

Devolusi sepadan dengan desentralisasi bagi praktisi dan pengkaji tata kelola negara bangsa bermazhab “ero-kontinental”. Bahkan devolusi telah dikenal sejak Alexander Agung dari Macedonia (Maas: 1959).

 

Desentralisasi yang sepadan dengan devolusi melahirkan pemerintahan daerah dalam tata kelola negara-bangsa karena basisnya adalah cita-cita mengotonomikan masyarakat lokal (local self-government). Dekonsentrasi atau desentralisasi administratif melahirkan birokrasi pusat di tingkat lokal (local state-government), sedangkan delegasi melahirkan organisasi semi-parastatal, seperti BUMN, Otorita, dan lain-lain.

 

Materi UU Cipta Kerja

 

Membaca materi UU CK, tampaknya perumus UU memandangnya dalam perspektif dasar (generik) tata kelola organisasi secara umum. Oleh karena itu, bisa berbentuk apa saja tergantung pemberi delegasi, yakni Presiden. Dengan demikian, jika tak memerhatikan konsekuensi tipikal delegasi dalam tata kelola negara-bangsa, bisa berdampak fatal.

 

Jika delegasi ditujukan ke gubernur sebagai wakil pemerintah, karena banyak disebut di UU tersebut, maka sebetulnya UU CK sedang menggunakan instrumen dekonsentrasi atau desentralisasi administratif. Jika ini yang dilakukan, sementara UU CK adalah mengatur materi yang jadi domain kementerian/lembaga (K/L), maka menjadi dispute.

 

Memang sejalan dengan UU No 23/2014, Pasal 10 dan/atau Pasal 19 terkait dapatnya menerima delegasi dari K/L yang mengurusi urusan pemerintahan konkuren dan/atau absolut. Tapi ini menjadi keliru dari praktik gubernur sebagai wakil pemerintah. Gubernur sebagai wakil pemerintah adalah penerima urusan PUM yang datang dari pemerintah yang bersifat lintas-sektor, koordinatif, integratif, bukan materi sektoral. Dalam hal ini UU No 23/2014 juga memang harus diperbaiki agar sesuai kaidah universal (Leemans: 1970).

 

Semestinya jika ingin lurus dan sesuai kelaziman, ditariknya urusan pemerintahan ke tangan pemerintah pusat, delegasi dapat dilakukan kepada K/L, sehingga jika kelak yang dikerjakan berada di berbagai pelosok penjuru Tanah Air, maka harus dengan instansi vertikal melalui dekonsentrasi.

 

Atau jika maksudnya dikerjakan kembali oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, maka dengan desentralisasi. Jika dilakukan desentralisasi kembali tentu membingungkan karena sebelum UU CK diputus, sudah terdesentralisasi.

 

Selain itu perlu konsistensi. Jika dengan dekonsentrasi, maka yang tepat dengan dibuka alat pusat di daerah dengan adanya instansi vertikal, supaya urusan pemerintahan efektif berjalan. Instansi vertikal juga dapat diberi tugas untuk pembinaan dan pengawasan dan pembinaan teknis terhadap daerah otonom terkait berbagai urusan yang didesentralisasikan ke daerah otonom agar terarah, berkualitas, terjaga, terbimbing untuk semua daerah otonom dengan lebih dekat, tak dilakukan hanya dari Jakarta.

 

Jika pemerintah tak memerhatikan hal-hal di atas, niscaya akan terjadi benturan, ketidakefektifan tata kelola, dan dapat menjurus ke chaos pemerintahan. Oleh karena itu harus cermat melakukan delegasi sehingga dapat diraih efektivitas pemerintahan kelak. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar