Kamis, 10 Juni 2021

 

Pemberdayaan Wirausaha di Era Ekonomi Baru

Moch Doddy Ariefianto ;  Dosen Binus University

KOMPAS, 10 Juni 2021

 

 

                                                           

Dilihat dari jumlah orang, UMKM adalah pelaku ekonomi terbesar di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan per akhir 2019; terdapat hampir 65,5 juta UMKM (99,9 persen total usaha nasional) yang menyerap lebih dari 119,5 juta tenaga kerja (96,9 persen tenaga kerja nasional).

 

Dari jumlah ini 64,6 juta (98,7 persen total usaha nasional) adalah usaha mikro yang menyerap lebih dari 109,8 juta tenaga kerja (89 persen tenaga kerja nasional). UU No 20/ 2008 mendefinisikan usaha mikro sebagai usaha dengan omzet hingga Rp 300 juta (atau modal sampai dengan Rp 50 juta). Usaha menengah omzet Rp 2,5 miliar-Rp 50 miliar, modal Rp 500 juta-Rp 10 miliar.

 

Meski memiliki jumlah anggota terbesar; kontribusi terhadap output nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) belum proporsional. Per akhir 2019; kontribusi UMKM adalah 60,5 persen atas dasar harga berlaku atau 57,1 persen atas dasar harga konstan. Gambaran ini lumayan timpang dengan statistik jumlah usaha dan serapan tenaga kerja.

 

Tentu saja kita harus memperhitungkan bahwa suatu porsi yang besar dari usaha mikro sebenarnya adalah “kelambu” dari pengangguran terbuka. Sebagai gambaran profil yang lebih proporsional; data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan di negara maju 90 persen entitas bisnis adalah UMKM; dengan pangsa tenaga kerja 60-70 persen dan sumbangan ke PDB 50 persen.

 

Ketika membicarakan UMKM; kita tak dapat lepas dari kewirausahaan. Kewirausahaan adalah “jiwa” bagi pebisnis yang mendedikasikan hidupnya untuk selalu menghasilkan nilai komersial (Gaddefors, Anderson, Alistair, 2017). Menurut Schumpeter (1934); kewirausahaan merupakan kunci pembangunan ekonomi negara melalui peran garda terdepan inovasi dan alokasi sumber daya.

 

Kewirausahaan mungkin memilki usia yang sama dengan kemanusiaan. Namun sukses tidaknya suatu wirausaha tetap suatu misteri besar. Studi-studi teoretis dan empiris belum dapat merumuskan konsep kewirausahaan yang universal dan kuat; serta merumuskan kiat praktisnya. Semua masih sangat kontekstual: tergantung jenis usaha, karakter masyarakat (sosial, politik dan budaya) dan linimasa (Kuratko; 2016).

 

Akibatnya, kewirausahaan menjadi suatu training dan mata kuliah fancy yang memadukan “mimpi” dan teori- perangkat bisnis seperlunya. Tentu sebuah “mimpi” diperlukan untuk memulai perjalanan wirausaha. Namun, tetap sejatinya wirausaha sukses itu hasil penempaan; bukan dilahirkan, apalagi hasil pendidikan.

 

Estimasi Leach and Melicher (2018), hanya sekitar 20 persen dari ide wirausaha bisa menggapai impiannya (disebut Utopian Dream). Sekitar 60 persen pada akhirnya akan berakhir sebagai bisnis break even; menghabiskan tenaga tak sebanding dengan labanya (Living Dead). Yang paling parah, sekitar 20 persen akhirnya harus menyerah setelah menghabiskan banyak uang (Black Holes).

 

Cakrawala baru UMKM

 

Gelombang ekonomi baru (new economy) yang muncul kurang 10 tahun belakangan ini telah membuka cakrawala baru bagi UMKM. Ekonomi baru bertopang pada tiga pilar: (a) internet platform, (b) shared economy dan (c) high technology (Martani, 2020). Lihat sekeliling kita begitu banyak bisnis yang mungkin bahkan tak terlintas di pikiran 10 tahun lalu.

 

Ride hailing, market place, pendidikan daring dan peer to peer lending hanyalah segelintir contoh. Kreasi bisnis baru di era new economy hanya akan dibatasi oleh imajinasi.

 

Menjadi tech savvy adalah keunggulan komparatif yang sangat besar tapi bukan segalanya. Masih banyak bisnis-bisnis “tradisional” seperti restoran, makanan, pemasok manufaktur dan agribisnis yang tak akan pernah lekang oleh zaman. Bisnis tambang; terlihat mengalami “kebangkitan”; seperti nikel yang trending belakangan ini. Dengan perkataan lain; mengembangkan wirausaha dilakukan bukan dengan “hype”.

 

Pendanaan wirausaha

 

Keahlian kunci yang harus dimiliki wirausaha mungkin hanya tiga (Kuratko, 2016): (a) keahlian “mengendus” kesempatan bisnis, (b) keuletan dan (c) mencari pendanaan. Keahlian “mengendus” dan keuletan merupakan aktivitas penempaan dan lebih bersifat personal; namun pendanaan merupakan area kebijakan publik.

 

Penyediaan pendanaan bagi benih wirausaha (start-up) yang sering disebut sebagai seed capital saat ini masih sangat tergantung dana pribadi dan inner circle (orangtua, saudara, istri-suami, kerabat dan sahabat). Penyediaan dana dari pihak-pihak komersial belum ditumbuhkan secara sistematis.

 

Leach dan Melicher (2018) menggambarkan kondisi finansial start-up layaknya bayi manusia yang baru lahir: “berdarah-darah” dan mutlak tergantung “perawatan” intensif. Tentu saja pendanaan konvensional melalui pinjaman bank apalagi pasar modal tak masuk dalam kriteria. Pendanaan harus bersifat lunak dan fleksibel; mengingat periode perjuangan dapat berlangsung hingga bertahun-tahun.

 

Salah satu bisnis yang menekuni pendanaan terhadap start-up adalah modal ventura yang biasanya berupa persilangan antara modal dan pinjaman; karakter mana yang mendominasi akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Berbeda dengan bank; modal ventura tak melihat kinerja historis, tetapi menitikberatkan aspek kualitatif: karakter pemilik dan masa depan bisnis.

 

Modal ventura melakukan evaluasi seberapa besar upaya yang dikeluarkan pemilik dan tim manajemennya; dan melakukan asesmen apakah upaya itu akan mampu menghasilkan ceruk pasar yang memadai untuk tumbuh kembang. Analisis kualitatif yang dilakukan oleh modal ventura tentu saja rentan terhadap kesalahan: mendanai bisnis yang akhirnya gagal.

 

Modal ventura memasukkan potensi kesalahan ini ke dalam pricing pendanaan, sehingga tak heran pendanaan itu jadi sangat mahal. Studi Kerins, Smith and Smith (2004) pada start-up di AS memperkirakan biaya pendanaan rata-rata mencapai 40 persen per tahun. Sangat mungkin sama untuk Indonesia.

 

Di sini terdapat potensi intervensi kebijakan. Biaya modal 40 persen sudah tak masuk akal untuk korporasi; apalagi UMKM. Tapi ini perhitungan wajar, mengingat tingginya potensi gagal perusahaan start-up. Suatu desain kebijakan bisa dibuat untuk mengurangi biaya itu ke level yang lebih dapat "dicerna” UMKM; misalnya melalui subsidi dan asuransi pendanaan. Bisa dibuat skema untuk menanggung katakan 30-50 persen biaya kegagalan pendanaan modal ventura yang terbukti berasal dari risiko bisnis.

 

Desain kebijakan tersebut akan jauh lebih efektif dibandingkan model kompetisi hibah yang banyak dilakukan saat ini. Daripada memperlakukan start-up bagaikan peserta celebrity contest yang berebut status “stardom” plus hadiah pendanaan, akan lebih baik pemerintah membuat program pendanaan bisnis “membumi”, berkesinambungan, jumlah ketersediaan yang lebih banyak (accessibility).

 

Model bisnis pendanaan UMKM tetap mengedepankan aspek komersial; tetapi didukung oleh subsidi atas risiko bisnis, paling tidak hingga UMKM itu layak untuk memperoleh pendanaan dari sumber yang konvensional seperti bank. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pemilik; dapat juga didesain konsekuensi atas kegagalan usaha akibat fraud atau shirking (bekerja di bawah optimal). Ketersediaan akses, harga masuk akal dan akuntabilitas adalah tiga prinsip kunci bagi penyediaan dana wirausaha. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar