Delegasi
Tata Kelola Negara-Bangsa Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi
Negara-UI, Ketua Kluster Democracy and Local Governance |
KOMPAS, 10 Juni 2021
Menyusul diterapkannya UU
Cipta Kerja, banyak urusan pemerintahan ditarik kembali menjadi urusan
pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman terkait
bagaimana mengefektifkan roda tata kelola negara-bangsa berbagai urusan
pemerintahan itu. Dalam UU Cipta Kerja (CK) disebutkan implementasinya
melalui sejumlah peraturan organik di bawahnya. Dari sini mencuat istilah
yang jadi semacam “momok” sekaligus harapan efektivitas tata kelola negara
bangsa ini, yakni “delegasi”. Pemerintah menyiapkan
peraturan perundangan untuk melakukan delegasi urusan pemerintahan kepada
berbagai pihak yang dianggap tepat. Meskipun banyak disebutkan dalam UU itu
kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah, namun terdapat berbagai
kemungkinan pihak lain yang dapat menerima delegasi dari pemerintah. Delegasi sendiri memiliki
bermacam makna, jika keliru menetapkan materi delegasi dan ke siapa delegasi
diberikan justru dapat terjadi sengketa dan dapat berakibat tak efektif tata
kelola yang diharapkan. Dua
golongan makna Pertama, delegasi sudah
dikenal dalam praktik tata kelola organisasi manapun di dunia. Delegasi
adalah “fenomena dasar” dalam organisasi karena melekatnya karakter pembagian
kerja di organisasi manapun. Pembagian kerja menimbulkan delegasi. Delegasi
itu secara harafiah adalah adanya pergeseran wewenang dari delegator (yang
mendelegasikan) ke delegatee (yang menerima). Dalam organisasi manapun
yang kerap terjadi adalah dari atasan ke bawahan. Sementara terdapat delegasi
dari elemen organisasi ke pihak di luar, bahkan dalam organisasi yang bukan
beraras dari atasan ke bawahan langsung. Terjadi terus-menerus dan
ditemu-kenali oleh baik praktisi maupun para pengkaji fenomena organisasi di
manapun di dunia ini. Dalam hal delegasi dari
atasan ke bawahan timbul istilah desentralisasi manajerial. Dalam tata kelola
negara-bangsa, khususnya dalam pemerintahan dikenal dengan dekonsentrasi.
Para praktisi dan pengkaji organisasi dari negara-negara yang berkiblat
Inggris-Amerika mengenalnya dengan “desentralisasi administratif”. Istilah-istilah itu muncul
untuk membedakan istilah generik delegasi dalam pandangan tata kelola
organisasi secara umum. Delegasi ke pihak lain di luar organisasi negara,
menimbulkan istilah terkenal lain, yakni “privatisasi” karena adanya keikutsertaan
pihak swasta dalam tata kelola negara bangsa. Kedua, istilah delegasi
juga tetap eksis walaupun sudah muncul istilah-istilah di atas, bahkan
“dikhususkan” dalam praktik pemerintahan menjadi cara untuk membuat penerima
delegasi jadi lebih otonom, berbeda dari “desentralisasi administratif” atau
“dekonsentrasi”. Delegasi digunakan untuk
membentuk “organisasi parastatal” (Cheema dan Rondinelli: 1985). Delegasi
dalam pengertian tata kelola negara bangsa ini, ditujukan untuk membentuk
organisasi semi-otonom, sedangkan desentralisasi administratif atau
dekonsentrasi tetap dalam konteks birokratisasi, yakni atasan-bawahan yang
lebih hierarkis. Delegasi dalam artian
pergeseran wewenang, terjadi di semua konsep tadi. Perkembangan berikutnya,
yang teramat penting dalam tata kelola negara-bangsa, timbul juga delegasi
yang dimaksudkan untuk menciptakan unit otonom murni sebagai pemerintahan
sub-nasional, yaitu “devolusi”. Devolusi dikenal juga dengan istilah
desentralisasi politik pada awal 1980-an-1990-an akhir. Devolusi sepadan dengan
desentralisasi bagi praktisi dan pengkaji tata kelola negara bangsa bermazhab
“ero-kontinental”. Bahkan devolusi telah dikenal sejak Alexander Agung dari
Macedonia (Maas: 1959). Desentralisasi yang
sepadan dengan devolusi melahirkan pemerintahan daerah dalam tata kelola
negara-bangsa karena basisnya adalah cita-cita mengotonomikan masyarakat
lokal (local self-government). Dekonsentrasi atau desentralisasi
administratif melahirkan birokrasi pusat di tingkat lokal (local state-government),
sedangkan delegasi melahirkan organisasi semi-parastatal, seperti BUMN,
Otorita, dan lain-lain. Materi
UU Cipta Kerja Membaca materi UU CK,
tampaknya perumus UU memandangnya dalam perspektif dasar (generik) tata
kelola organisasi secara umum. Oleh karena itu, bisa berbentuk apa saja
tergantung pemberi delegasi, yakni Presiden. Dengan demikian, jika tak
memerhatikan konsekuensi tipikal delegasi dalam tata kelola negara-bangsa,
bisa berdampak fatal. Jika delegasi ditujukan ke
gubernur sebagai wakil pemerintah, karena banyak disebut di UU tersebut, maka
sebetulnya UU CK sedang menggunakan instrumen dekonsentrasi atau
desentralisasi administratif. Jika ini yang dilakukan, sementara UU CK adalah
mengatur materi yang jadi domain kementerian/lembaga (K/L), maka menjadi
dispute. Memang sejalan dengan UU
No 23/2014, Pasal 10 dan/atau Pasal 19 terkait dapatnya menerima delegasi
dari K/L yang mengurusi urusan pemerintahan konkuren dan/atau absolut. Tapi
ini menjadi keliru dari praktik gubernur sebagai wakil pemerintah. Gubernur
sebagai wakil pemerintah adalah penerima urusan PUM yang datang dari
pemerintah yang bersifat lintas-sektor, koordinatif, integratif, bukan materi
sektoral. Dalam hal ini UU No 23/2014 juga memang harus diperbaiki agar sesuai
kaidah universal (Leemans: 1970). Semestinya jika ingin
lurus dan sesuai kelaziman, ditariknya urusan pemerintahan ke tangan
pemerintah pusat, delegasi dapat dilakukan kepada K/L, sehingga jika kelak
yang dikerjakan berada di berbagai pelosok penjuru Tanah Air, maka harus
dengan instansi vertikal melalui dekonsentrasi. Atau jika maksudnya
dikerjakan kembali oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, maka dengan
desentralisasi. Jika dilakukan desentralisasi kembali tentu membingungkan
karena sebelum UU CK diputus, sudah terdesentralisasi. Selain itu perlu
konsistensi. Jika dengan dekonsentrasi, maka yang tepat dengan dibuka alat
pusat di daerah dengan adanya instansi vertikal, supaya urusan pemerintahan
efektif berjalan. Instansi vertikal juga dapat diberi tugas untuk pembinaan
dan pengawasan dan pembinaan teknis terhadap daerah otonom terkait berbagai
urusan yang didesentralisasikan ke daerah otonom agar terarah, berkualitas,
terjaga, terbimbing untuk semua daerah otonom dengan lebih dekat, tak dilakukan
hanya dari Jakarta. Jika pemerintah tak
memerhatikan hal-hal di atas, niscaya akan terjadi benturan, ketidakefektifan
tata kelola, dan dapat menjurus ke chaos pemerintahan. Oleh karena itu harus
cermat melakukan delegasi sehingga dapat diraih efektivitas pemerintahan
kelak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar