Perangkap Kejahatan pada Perempuan dan Anak
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Guru Besar Kriminologi Pascasarjana UI;
Ketua Program Kajian Strategi Ketahanan Nasional Pascasarjana UI
|
KOMPAS,
09 Oktober 2015
Perempuan dan anak-anak merupakan golongan yang rentan perangkap
kejahatan, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pembunuhan yang
dilakukan seorang istri terhadap suaminya di Padang Sidempuan, Sumatera
Utara, September 2015, dan di Madiun, Jawa Timur, Agustus 2015, menegaskan
bahwa perempuan juga dapat terperangkap menjadi pelaku pembunuhan.
Sementara itu, dalam kejahatan dengan anak sebagai pelaku, pada
Februari 2015 ditengarai beberapa anak di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta
Barat terlibat perampokan. Baru-baru ini, seorang anak sekolah dasar
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian bagi teman sebayanya.
Dalam kaitan dengan anak sebagai korban kejahatan, selain kasus
E di Bali, beberapa waktu silam, kasus pencabulan anak oleh penarik ojek dan
terakhir penemuan mayat anak perempuan dalam kardus di Kalideres, Jakarta
Barat, baru-baru ini, serta kasus di Pontianak yang memakan korban 17 anak
dalam waktu yang berdekatan, menegaskan bahwa anak-anak merupakan menu utama
pelaku kejahatan. Di samping itu, kasus pembunuhan warga negara Jepang,
beberapa bulan lalu, pembunuhan istri oleh suami, perdagangan perempuan, dan
beberapa kasus lain juga menyiratkan rawannya posisi perempuan sebagai korban
kejahatan.
Sebagai korban
kejahatan
Dalam berbagai literatur kriminologi telah dikemukakan,
perempuan dan anak-anak berisiko tinggi terjebak kejahatan, seperti
pembunuhan, kekerasan, kekerasan seksual serta yang berhubungan dengan
industri seks. Faktor ekonomi, keluarga, dan berbagai faktor lain kebanyakan
merupakan penyebab mereka terperangkap dalam kejahatan.
Menyikapi kenyataan di atas, segala upaya perlu dilakukan
semaksimal mungkin untuk menghindarkan mereka terperangkap dalam kejahatan.
Secara umum, setiap negara dan dunia internasional memiliki perangkat
perundang-undangan dan perhatian khusus untuk melindungi mereka. Namun, dalam
kenyataan, perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban kejahatan.
Sebagaimana diketahui, terdapat dua definisi secara hukum
mengenai kejahatan. Definisi pertama menyebutkan kejahatan adalah apa yang
disebut hukum sebagai kejahatan (crime is what the law say it is). Definisi
kedua menyatakan, kejahatan adalah suatu tindakan yang disengaja atau
kelalaian yang dapat dikenai sanksi pidana oleh hukum (crime is an act or mission punishable by law) (Fattah, 1997).
Dalam literatur kriminologi, kejahatan terbagi dua, yaitu blue collar crime (kejahatan jalanan)
dan white collar crime (kejahatan
kelas atas). Tipe pertama lebih menggunakan fisik, sedangkan tipe kedua
merupakan kejahatan kelas atas dengan teknikalitas tinggi, yang mengutamakan
otak daripada fisik. Para pelaku kejahatan jenis pertama biasanya berasal
dari kalangan sosial bawah, tidak berpendidikan tinggi, berpenghasilan
rendah, menganggur, dan seterusnya. Sementara pelaku jenis kedua umumnya
berpenghasilan dan berpendidikan tinggi, memiliki jabatan terhormat, berasal
dari kalangan atas, dan sebagainya.
Perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban dari kedua jenis
kejahatan di atas. Dalam jenis kejahatan jalanan, tidak sedikit mereka
menjadi korban penganiayaan, penjambretan, perampokan, pembunuhan, kekerasan
dan pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, dan
lainnya. Sementara itu, dalam jenis kejahatan "kelas atas" yang
terselubung dan terorganisasi, perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban
perdagangan manusia atau human trafficking. Kejahatan jenis tersebut tersamar
dan berkedok hal-hal resmi sehingga teramat sulit untuk terdeteksi.
Sebagai pelaku
kejahatan
Tingkat kriminalitas dan kondisi ekonomi merupakan kedua elemen
yang tak terpisahkan. Setiap pelaku kriminal acap kali menjadikan faktor
ekonomi sebagai alasan pembenar. Permasalahan tersebut merupakan suatu
ancaman serius bagi perempuan dan anak-anak.
Perempuan terkadang terlibat sebagai pelaku kejahatan kelas
bawah yang umumnya dilandasi faktor ekonomi dan emosional, seperti
pembunuhan, perampokan, pengutilan, narkoba, dan prostitusi. Adapun mereka
yang terlibat sebagai pelaku kejahatan kelas atas biasanya memiliki kondisi
ekonomi yang cukup dan kedudukan atau jabatan yang tinggi. Latar belakang
kejahatan jenis ini, sebagaimana pernah dikemukakan Laura Snider (1993),
adalah uang, prestise, dan kekuasaan. Contoh kejahatan demikian biasanya
berkaitan dengan dunia perbankan, seperti kasus MD-pejabat bank asing
terkenal di Jakarta beberapa tahun silam.
Beberapa kasus kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur
sebagai pelaku kebanyakan adalah perampokan, pembunuhan, penganiayaan,
pencabulan, dan pemerkosaan. Sementara itu, untuk kejahatan kalangan atas,
patut diduga tidak ada seorang pun anak yang melakukan kejahatan jenis
tersebut.
Kesimpulan
Selain jadi korban kejahatan, perempuan dan anak-anak terkadang
juga menjadi pelaku kejahatan. Penanganan terhadap mereka yang menjadi korban
kejahatan tidak jarang memiliki kesulitan karena tidak sedikit kejahatan yang
menimpa mereka terjadi dalam keluarga atau dilakukan orang terdekat.
Kenyataan tersebut kerap membuat korban enggan atau tidak berani melaporkan
kejahatan yang menimpanya.
Sebagian besar dari mereka sangat rentan jadi korban kejahatan
jenis kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Hal demikian pernah dituturkan
Puji Astuti Santoso dari Direktorat Kesejahteraan Anak pada Kementerian
Sosial, 15 Maret 2015, bahwa kekerasan terhadap anak sudah menjadi fenomena
global, tak terkecuali di Indonesia.
Sementara itu, perempuan dan anak-anak juga kerap menjadi pelaku
kejahatan. Penanganan terhadap mereka yang berusia dewasa tentu dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan umum yang ada. Akan tetapi, bagi mereka
yang masih di bawah umur diselesaikan melalui mediasi dan sesuai dengan
undang-undang tentang anak atau undang-undang tentang peradilan anak.
Perempuan yang melakukan kejahatan kebanyakan melakukan
"kejahatan jalanan". Hal tersebut biasanya akibat kondisi ekonomi
yang bersangkutan dan faktor emosional, sebutlah seperti membalas dendam,
tidak dapat menahan emosi, ketakutan, dan faktor kejiwaan lain akibat tak
berdaya menghadapi masalah ekonomi. Sebagai ilustrasi, kenyataan faktor
kejiwaan tersebut pernah terjadi kepada seorang ibu yang membunuh anak
kandungnya di wilayah Jawa Barat, beberapa tahun silam. Adapun faktor
kejiwaan karena ketakutan biasanya terjadi terhadap perempuan yang membunuh
bayi yang baru dilahirkannya karena takut ketahuan atau malu.
Sementara kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak di bawah
umur kebanyakan adalah kejahatan jalanan, seperti melakukan perampokan atau
pencurian. Selain karena faktor ekonomi, kejahatan tersebut juga diorganisasi
atau didalangi. Jadi, mereka secara tidak langsung kadang diperalat untuk
melakukan perbuatan tersebut oleh pelaku utama.
Pada kejahatan yang dilakukan anak-anak berkaitan dengan seks,
sebagian besar terjadi akibat pengaruh media dengan konten pornografi. Mosher
dan Katz (1971) pernah mengemukakan bahwa banyak kasus kejahatan seks yang
dilakukan remaja di Amerika Serikat terjadi setelah menonton film porno.
Oleh karena itu, menjauhkan perempuan dan anak-anak dari
kejahatan-baik sebagai korban maupun pelaku-tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Kepedulian dan perhatian semua pihak serta peningkatan nilai-nilai
dan faktor-faktor, seperti pendidikan, agama, keharmonisan keluarga, budi
pekerti, membaiknya sosial ekonomi, perlindungan hukum, dan peran media,
sesungguhnya merupakan hal penting yang telah lama digaungkan.
Namun, sebagian upaya itu terkadang berbenturan dengan kondisi
ekonomi mereka yang kebetulan berada dalam posisi tidak baik. Kondisi
demikian tidak jarang akan memengaruhi upaya peningkatan nilai-nilai di atas.
Perhatian dan kepedulian akan nilai-nilai utama tersebut tidak dapat
tercurahkan maksimal karena sebagian besar konsentrasi tertuju pada kondisi
ekonomi yang mereka hadapi.
Sementara itu, perempuan dan anak-anak dengan status sosial
ekonomi yang lebih baik, pengabaian atas nilai-nilai yang telah diuraikan
sebelumnya tidak terkait dengan permasalahan ekonomi. Akan tetapi, ia
berhubungan dengan faktor perhatian, pengawasan, tanggung jawab, dan
perlindungan pada mereka secara internal ataupun eksternal, khususnya bagi
yang masih berusia anak-anak. Contoh kasus sekolah internasional di Jakarta
beberapa tahun silam menunjukkan hal tersebut.
Dengan demikian, permasalahan ekonomi kebanyakan memiliki
keterkaitan dengan mereka yang terjebak sebagai pelaku kejahatan. Akan
tetapi, sebagai korban kejahatan, hal demikian patut ditengarai bukan menjadi
latar belakang utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar