Kehadiran Badan Bahasa
Eka Budianta ; Penyair; Komunitas Penulis Deo Gratias;
Pemenang Hadiah Nasional 2012
|
KOMPAS,
09 Oktober 2015
Untuk pertama kali, belasan sastrawan Indonesia yang pernah
mendapat penghargaan nasional dan regional diundang diskusi. Itulah gebrakan Kepala Badan Bahasa Gufran
Ali Ibrahim yang baru diangkat awal September 2015.
Sastrawan Taufiq Ismail tampil dengan daftar kebutuhannya. Sebelum 1930-an, lulusan sekolah menengah
atas (AMS) minimal baca 25 novel, mengenal puisi, dan menulis 180 karangan
dalam tiga tahun, atau lima tugas menulis dalam sebulan. Alhasil, kita mendapat pemimpin bangsa yang
hebat, dengan pengetahuan luas dan kemampuan berbahasa yang prima.
Akan tetapi,
"template" pendidikan berbudi-bahasa itu tidak ada lagi
sekarang. Padahal, kita tetap perlu
generasi unggul sekualitas Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Muhammad
Yamin, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Untuk itu, pendidikan sastra dan bahasa
harus diperbaiki. Tanpa berpijak pada
ranah bahasa, kita akan terombang-ambing dalam gelombang globalisasi yang
melenyapkan jati diri bangsa. Begitu
pikiran banyak penggiat bahasa.
Jadi, Badan Bahasa punya posisi strategis dan tugas yang berat.
Penyair F Rahardi mengusulkan agar posisi badan ini ditingkatkan. Syukur kalau bisa langsung di bawah
Presiden. Mengapa? Karena selama di
bawah menteri, badan ini tak berani menegur gubernur dan kementerian lain
yang tertangkap mengabaikan pentingnya berbahasa dengan benar dan baik.
Harus hadir
Lebih penting lagi
kehadiran negara memang diharapkan di berbagai lini kehidupan berbangsa. Kita
tahu Presiden Joko Widodo mengoptimalkan "kehadiran" ini, tidak
terkecuali dalam pembangunan bahasa dan sastra Indonesia. Sudah bertahun-tahun negara abai pada
persoalan-persoalan nyata di lapangan.
Ketika ada sekelompok fundamentalis menyerbu sebuah pembacaan
puisi, negara tak ada di sana. Kita ingat Teater Koma asuhan N Riantiarno
dicegah pentas di sejumlah kota juga tak ada pembelaan dari Badan
Bahasa. Bahkan ketika seorang pegawai
laboratorium divonis penjara 8 tahun gara-gara membaca novel Pramoedya Ananta
Toer, negara seolah-olah tidak tahu.
Sekarang, kegiatan bahasa dan sastra berkobar-kobar dan
berkibar-kibar. Ajip Rosidi membuka
pusat studi Sundanologi yang megah.
Para sastrawan Sunda di Bandung berpikir pada 2055 (hanya 40 tahun
lagi!) warga Jawa Barat akan lebih suka berkomunikasi dalam bahasa daerahnya.
Bahasa Indonesia semakin tidak menarik bagi mereka. Hal itu mencuat dalam Seminar Internasional
Indonesia-Malaysia di Universitas Padjadjaran di Jatinangor, 19 September
2015.
Untunglah produk sastra nasional juga berlimpah ruah. Pada awal September, terkumpul 120 judul
buku puisi terbitan tahun ini yang berlomba untuk menjadi antologi terbaik,
menyambut Hari Puisi. Belum pernah
bangsa kita "panen raya" karya sastra sedemikian melimpah.
Persoalannya, 99 persen karya itu terbit secara indie. Setiap orang bisa menulis dan menerbitkan
buku dengan desain bagus dan dicetak terbatas secara digital di kedai fotokopi
terdekat.
Akan tetapi, itulah kreativitas anak bangsa. Badan Bahasa harus mencatatnya. Perpustakaan Nasional telah berperan
optimal dengan memberikan ISBN (International
Standards Book Number) yang berlaku global. Itu sangat membantu memberikan legalitas,
membuat setiap buku menjadi sah, resmi.
Sekarang, apa peranan Badan Bahasa?
Adakah negara hadir, ikut
merestui pemilihan buku terbaik itu? Seharusnya: ya! Dalam acara formal
pemberian hadiah, juga hadir korps diplomatik. Kedutaan Besar Perancis, Iran, Turki, dan
banyak negara lain ikut menampilkan data besar berikut puisinya. Dari Kementerian Luar Negeri pun mendukung
dengan berbagai cara. Yang tidak
terlihat adalah peranan Badan Bahasa.
Padahal, badan ini mestinya juga menangani penerjemahan. Banyak yang mengeluh minat baca dan menulis
rendah bila dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Sementara minat menulis dalam bahasa Inggris dan membaca terjemahan
bisa sangat tinggi. Sastrawan dan guru
besar Sapardi Djoko Damono mengatakan remaja Indonesia bisa melahap novel
Harry Potter yang tebalnya 600 halaman dalam tiga malam.
Badan Bahasa tidak boleh meninggalkan proyek besar pencerdasan
bangsa melalui penerjemahan. Apalagi
bulan depan Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam Pasar Buku Internasional
di Frankfurt, Jerman. Ratusan bahkan
ribuan judul buku karya anak bangsa mendapat peluang masuk ke pasar dunia.
Basis
komunitas
Lebih dari itu, Badan
Bahasa wajib memperhatikan perkembangan komunitas dan kegiatan bahasa-sastra
di berbagai pelosok Tanah Air. Ada
ribuan sanggar sastra, puisi, teater bertumbuh di daerah. Salah satu contoh adalah kegiatan Komunitas
Sastra Indonesia, yang dimotori oleh para penulis buruh sejak krisis moneter
1998. Sekarang komunitas itu sudah
berkembang di lebih 70 kota dan beberapa kali mengadakan musyawarah nasional.
Komunitas lain adalah penggiat sastra cyber yang menjamur di
dunia maya. Forum Lingkar Pena yang diasuh novelis Helvy Tiana Rossa memiliki
lebih dari 4.000 pendukung. Sungguh
bagus bila Badan Bahasa merangkul dan mendukung kegiatan komunitas-komunitas
sastra yang marak di internet. Sebaliknya,
sudah wajar bila para penggiat juga mendukung pemerintah untuk memperjelas
kehadiran negara.
Kita tidak menutup mata pada perusakan bahkan penghancuran
praktik berbahasa dan bersastra yang muncul akibat lemahnya pendidikan di
sekolah. Namun, kita juga percaya
adanya daya lenting, daya juang kaum partikelir di bidang perpustakaan,
penulisan, dan kegiatan sastra.
Sastra dan bahasa Indonesia termasuk anggota baru di kalangan
bahasa dan sastra dunia. Bahasa dan
sastra Inggris sudah dimulai sejak kisah-kisah Canterbury 1.000 tahun lalu.
Novel Jepang juga sudah berkembang sejak Genji Monogatari belasan abad
silam. Tetapi, sastra Indonesia baru
menggeliat berkat Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, awal 1920-an, belum
satu abad silam. Masih banyak kesempatan hidup dan berkembang. Kehadiran negara mungkin bisa jadi
terobosan yang brilian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar