Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 1)
Rhenald Kasali ; Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM,
12 Oktober 2015
Seperti investasi besar lainnya, pembangunan kereta cepat (high
speed train) yang nilainya mencapai 5,5 miliar dollar AS menjadi berita yang
kontroversial.
Pertama, siapa yang menyangka Presiden Joko Widodo memutuskan
begitu cepat? Maklumlah, kita sudah amat terbiasa menyaksikan ketidakhadiran
pengambilan keputusan strategis yang agile dan cepat.
Anda masih ingat bukan proyek-proyek infrastruktur yang sudah
disetujui saja bahkan dibiarkan mangkrak bertahun-tahun? Rencana tinggallah
rencana. Ribut sedikit saja sudah membuat penguasa takut dan tidak bekerja.
Proyek jalan Tol Cipularang yang bisa dituntaskan setahun saja, bahkan dulu
sempat dibiarkan berlubang dan berdebu lebih dari 5 tahun.
Kedua, Jepang yang sudah lama mengincar proyek ini ternyata
tidak terpilih. Memang Jepang terkesan amat berhati-hati karena kereta dapat
mengganggu industri otomotifnya yang market size-nya begitu besar di sini.
Siapa pun tahu, sistem transportasi publik berbasiskan kereta api dapat
mengganggu penjualan otomotif. Maka, wajar bila banyak menawar dan mengulur
waktu.
Sikap Jepang tiba-tiba berubah begitu menyaksikan kesungguhan
Tiongkok dalam bersaing. Jepang yang melakukan studi dan membuat FS terlebih
dahulu merasa lebih berhak menentukan masa depan transportasi publik
Indonesia, namun tetap menuntut jaminan pemerintah.
Ketiga, menjadi kontroversial karena keputusan pada level bisnis
juga cepat sekali dan terus berkembang (adaptif). Karena tak melibatkan uang
dan jaminan negara, maka Menteri Perhubungan pun menyerahkan sepenuhnya
kepada Menteri BUMN dengan skema business
to business.
Melalui konsorsiumnya, Menteri BUMN merumuskan business model yang bukan
menjadikannya sebagai proyek pembangunan kereta api semata-mata, melainkan
hadir bersama megaproyek kota-kota baru di sekitar jalur kereta. Maka,
Gubernur Jabar dan wali kotanya pun dilibatkan.
Dalam strategi pengembangannya, bukan lagi menjadi sekadar
proyek transportasi, melainkan sebuah kegiatan ekonomi skala besar yang kelak
akan melibatkan begitu banyak pelaku usaha besar maupun kecil. Value creation-nya amat besar sehingga
melibatkan minimal 4 BUMN inti. Ini tentu mengecohkan para pembuat opini yang
hanya berhitung cost-benefit-risk
analyses pada aspek bisnis kereta api cepat semata-mata.
Keempat, proses cepat ini ternyata ada cost-nya, yaitu kurang
terinformasinya publik atas opportunity
serta nilai yang diciptakan. Dilema di era keterbukaan dan partisipasi publik
ini memang dapat kita rasakan: antara hak untuk tahu publik dengan keputusan
bisnis adaptif yang cepat berubah dengan motif ambil untung para makelar
tanah. Akibatnya, para pengamat kebijakan publik dapat memberikan opini yang
keliru atas ketidaksempurnaan informasi.
Kelima, persaingan Jepang vs Tiongkok dalam proyek ini telah
menimbulkan opini pro dan kontra, apalagi ruang untuk pertumbuhan ekonomi di
kedua negara itu makin terbatas. Mereka punya kepentingan, sementara kita
punya kendali dan kepentingan yang harus dijaga pula. Kehadiran proyek
infrastruktur skala besar di Tanah Air tentu saja menimbulkan daya tarik
sendiri yang sudah pasti melibatkan perang opini yang dapat melibatkan conflict of interest yang cukup luas.
Tentu masih ada isu-isu lain dari proyek yang sebenarnya bagus
bagi perekonomian kita, tetapi akhirnya terkesan kontroversial. Apakah itu
pro-kontra jalur Jakarta-Bandung vs Jakarta-Surabaya, pertanyaan mengenai
siapa saja pihak yang dapat bermitra, kesungguhan Tiongkok berinvestasi, di
mana letak titik perberhentiannya, masalah apa yang akan muncul dalam tahap
implementasi, negosiasi, dan lain sebagainya.
Tetapi, baiklah kita fokuskan pada keputusan yang sudah diambil
dan bagaimana proyek ini bisa menciptakan value
bagi perekonomian kita, bukan Tiongkok dan bukan Jepang.
Karena saya bukan Menteri BUMN, maka saya mencoba menganalisis
dari kacamata ilmuwan dan praktisi bisnis yang saya miliki. Maaf, saya sama
sekali tak mengerti soal politik, sehingga tidak mengaitkan analisis ini
dengan masa jabatan presiden, sehingga pilihannya mungkin turut terpengaruh.
Saya hanya ingin membaca dan mengarahkan agar pemerintah paham
soal ekosistem bisnis, peluang dan ancaman yang mungkin timbul. Saya juga
ingin agar informasi ini dimilikipublik yang dapat membaca peluang yang
mungkin bisa dimanfaatkan untuk keluar dari perangkap ketakutan krisis.
Bahan-bahannya saya kumpulkan setelah bersusah payah mengorek dari para pihak
yang terlibat.
Perubahan business model
Beberapa tahun silam saya pernah meneruskan pertanyaan para
pimpinan negara kita kepada pimpinan BUMN di Tiongkok tentang cepatnya pembangunan
jalan tol di negeri itu. Harap maklum, selama 35 tahun Jasa Marga berdiri,
hanya 850 kilometer jalan tol yang bisa kita bangun, sementara Tiongkok dalam
15 tahun bisa membangun puluhan ribu kilometer.
Jawabannya sederhana sekali. Pertama, model pembangunan
infrastruktur di Tiongkok diserahkan kepada BUMN sehingga dapat menjadi aset
yang tumbuh. Dan kedua, BUMN Tiongkok melakukan value creation yang utuh, bukan sekadar membangun jalan tol.
Termasuk di dalamnya menjaga kepentingan publik yang luas, ya lingkungan, ya
rakyat jelata, petani, dan pemilik tanah. Ini berbeda sekali dengan
pembangunan jalan tol di sini.
Waktu saya tanyakan kepada para taipan kita yang membangun
kawasan permukiman dan industri di tepi-tepi jalan tol, mereka pun buka
mulut. "Pemerintah kita tidak
pandai memanfaatkan peluang. Bangun jalan tol, tetapi hanya membebaskan
jalannya saja. Kami lihat itu sebagai peluang, maka kami bebaskan tanah-tanah
di dekat jalur keluarnya agar menjadi kawasan industri dan permukiman,"
kata seorang pengusaha.
Seorang taipan mengaku value
creation-nya mencapai 30 hingga 50 kali lipat. Dari modal Rp 1 triliun,
kembalinya Rp 30 triliun. Modalnya pun disediakan mitra asing. Pantaslah
mereka begitu cepat masuk dalam daftar orang terkaya dunia.
Lantas bagaimana BUMN kita? Business
model BUMN kita di masa lalu hanya fokus pada keahliannya, ya fokus.
Ambil contoh saja Perumnas yang membangun kawasan permukiman, lalu
menyerahkan perawatan wilayahnya pada pemerintah daerah. Business model mereka tidak menghasilkan pendapatan yang
berkelanjutan (recurring income).
Sekarang bandingkan dengan pengembang-pengembang superblok yang
setiap bulan memungut service charge
dari berbagai jasa yang mereka jual: kebersihan, listrik dan air, sewa,
keamanan, parkir, dan seterusnya.
Kalau Anda tinggal di gedung bertingkat, Anda tentu paham apa
yang saya maksud. Setiap bulan Anda kena pungutan antara Rp 500.000 hingga Rp
2 juta. Itu semua masuk ke tangan pengelola gedung, yang tak lain adalah
pengembang itu sendiri.
Sekarang kita jadi mengerti mengapa return BUMN kita banyak yang kurang menarik, padahal mereka
berusaha dalam bidang yang sangat menguntungkan dan pasarnya captive.
Kini ketika cara pandangnya berubah, giliran kita banyak yang
tidak siap dan mati-matian mengkritik. Sementara, kalau BUMN kita kalah dengan
Temasek (BUMN Singapura) atau Khazanah (Malaysia), kita juga ikut mengejek
mereka. Padahal, keuntungan BUMN dapat menjadi kontributor penting bagi APBN.
Ia juga bisa menjadi akselerator pembangunan yang bekerja sama dengan
mitra-mitra usaha swasta nasional.
Kuncinya: Mengenal
ekosistem bisnis
Ini bukan soal patgulipat memutar uang, tetapi pemahaman atas
business model. Kalau Anda masih belum paham, mari kita lihat bisnisnya
anak-anak muda yang kalau Anda kurang paham, Anda pasti akan mengatakan mereka
tak bakalan untung. Misalnya, bagaimana mungkin Go-Jek bisa untung kalau
hanya memungut Rp 15.000 untuk rute yang lumayan jauh. Padahal, ojek
pangkalan saja untuk rute yang sama jauhnya menuntut Rp 30.000?
Anda juga pasti akan ditertawakan Starbucks kalau menjual
secangkir kopi seharga Rp 7.000. Mengapa? Karena, ia saja terancam rugi
walaupun harga secangkir kopi pahitnya (Americano) sudah Rp 40.000.
Seven Eleven Indonesia dengan model bisnis berbeda mampu
membuktikan bahwa ia bisa untung sekaligus menjadikan outlet-nya teramai di dunia. Jawabannya adalah business model mereka berbeda.
Yang satu jual kopi, yang lainnya jual ekosistem anak muda, yang
satu bisnis ojek, dan satunya bisnis aplikasi internet. Dan, untuk memahami
hal ini, Anda perlu mempelajari ekosistem usaha yang digeluti.
Demikian juga Anda bisa menertawakan Tune Hotel yang menyewakan
kamarnya di bawah Rp 100.000 per malam, dan mungkin Anda akan ikut menolak
proposal bisnisnya karena hotel yang menjual kamar seharga Rp 1 juta per malam
saja belum tentu menangguk untung.
Jangan lupa, Tune Hotel pernah memasang iklan beberapa tahun
lalu dengan tarif Rp 35 (ya, tiga puluh lima perak) per malam. Kok bisa
bertahan tahunan dan untung? Jawabannya karena business model hotel lainnya
dengan Tune berbeda.
Sekarang saya ajak Anda melirik guncangan dalam industri media.
Dulu penerimaan media berasal dari dua sumber, yakni sirkulasi dan iklan.
Kini tidak lagi. Berbekal luasnya jaringan narasumber, kini setiap media
punya unit yang mengelola bisnis seminar, pelatihan, event organizer, dan penerbitan.
Sama halnya dengan bisnis perbankan yang meraup untung bukan
dari pendapatan bunga, melainkan fee-based
income. Jadi kini sumber penerimaan perusahaan tak lagi dari satu atau dua
sumber konvensional, tetapi lebih luas. Sumber itu datang dari ekosistem
industrinya.
Hal serupa terjadi pada industri yang lain.
Perusahaan-perusahaan kontraktor, misalnya, dulu sumber penerimaannya hanya
dari bisnis konstruksi. Kini tidak lagi. Mereka juga menggali penerimaan dari
bisnis jasa rekayasa, pengadaan, dan konstruksinya, atau biasa disebut Engineering, Procurement, and Construction
(EPC).
Belajar dari membangun proyek orang lain, perusahaan kontraktor
jadi bertambah pintar. Mereka nyaris tahu segala sektor industri. Maka, tak
heran kalau bisnis perusahaan-perusahaan konstruksi melebar ke mana-mana. Ada
yang masuk ke bisnis properti, pembangkit listrik, jalan tol, hingga menjadi
perusahaan investasi (investment
company).
Menggali bisnis dari ekosistem industrinya membuat perusahaan
lebih punya banyak peluang untuk menjaring pendapatan. Itulah yang dilakukan
perusahaan-perusahaan kita, termasuk BUMN. Itulah dunia mereka. Maka, saya
tak habis mengerti ketika ada pihak yang begitu khawatir saat BUMN-BUMN kita
diajak berkongsi menggarap proyek kereta cepat dalam koridor Jakarta-Bandung.
Mereka khawatir BUMN kita tak mampu, bakal merugi, atau modalnya
tidak cukup. Tapi, itu belum cukup. Tuduhannya banyak sekali, yang intinya:
sudahlah, jangan lakukan, Anda tak akan sanggup! Bahkan ada yang mengatakan
BUMN-BUMN kita mau karena dipaksa menterinya.
Pendapat semacam ini jelas naif dan merendahkan kemampuan BUMN
kita yang sudah piawai dalam berbisnis. Bahwa mereka masih perlu belajar, ya,
itu sudah pasti. Tetapi, sudah saatnya kita satukan kekuatan, percayai bangsa
sendiri, dan sama-sama hadapi kekuatan lobi asing yang modalnya tak terbatas
untuk memecah belah masa depan bangsa ini.
Zaman sudah berubah, pengetahuan kita pun jauh lebih baik.
Sayang kalau para pengamat kurang berani menggalinya. Konsep bisnis memang
bukan hal yang mudah untuk dianalisis dalam sejam dua jam. Ilmu ini terus
berkembang.
Baiklah, bagaimana soal peluang bisnis yang akan muncul dalam
ekosistem proyek koridor Jakarta-Bandung ini akan saya bahas lebih lanjut
besok. Semoga Anda bersabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar