Mempersoalkan RUU Kebudayaan
Saratri Wilonoyudho ; Guru Besar Universitas Negeri Semarang
|
JAWA
POS, 12 Oktober 2015
DISKUSI untuk ”menyambut”
Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sangat menarik untuk ditanggapi.
Kebudayaan adalah masalah yang sangat kompleks sehingga tidak bisa
disederhanakan hanya untuk masalah tertentu, misalnya, produk budaya,
terutama kesenian.
Banyak pengamat sepakat bahwa
RUU Kebudayaan lebih bersifat ”otoriter”. Sebab, ”semangatnya” ingin
mengontrol atau mengatur. Artinya, penyusun RUU tersebut tidak paham apa
sesungguhnya yang disebut kebudayaan itu.
Berbicara masalah kebudayaan
adalah berbicara tentang keberadaan manusia di muka bumi ini yang memiliki
suatu cara hidup yang berkembang, kemudian diwariskan dari generasi ke
generasi. Dari titik itu saja, RUU Kebudayaan belum tegas, mana yang akan
diatur, manusia sebagai ”resipien” atau ahli waris kebudayaan atau manusia
sebagai ”agen” kebudayaan?
Manusia ketika lahir memang
hanya menerima ”nasib” karena hanya diwarisi kebudayaan. Namun, ketika mereka
mulai bisa berpikir dan bertindak, peran selanjutnya sudah
menanti,yaknibagaimanaiabertindak sebagai ”agen” kebudayaan?
Karena menyangkut cara hidup
dan berkembang, sudah pasti wujud kebudayaan sangat rumit. Sebab, menyangkut
masalah agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni.
Dengan demikian, jelas bahwa
kebudayaan adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Wujud kebudayaan yang abstrak, misalnya, kumpulan ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan itu terletak
dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat.
Karena itu, kata kunci dari gagasan
tersebut, antara lain, adalah daya cipta. Jika gagasan tersebut dinyatakan
dalam bentuk tulisan, wujudnya adalah karangan. Baik berbentuk buku-buku,
artikel, maupun pementasan satu karya seni dan sebagainya. Apakah itu yang
akan dikontrol RUU tersebut? Di masa lalu ada istilah ”pemberedelan” atau
harus ada izin khusus ketika ingin mementaskan suatu karya seni. Kata kunci
dari pemerintah adalah kebudayaan, dalam hal ini seni, dihayati dengan cita
rasa tidak kontradiktif, apalagi sampai menimbulkan oposisi.
Wujud kebudayaan yang lebih
konkret adalah sistem sosial, yakni segala bentuk tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat itu untuk saling berinteraksi menurut pola-pola
tertentu yang berdasar adat tata kelakuan. Disebut konkret karena sistem sosial
terjadi dalam kehidupan sehari-hari serta dapat diamati dan didokumentasikan.
Wujud kebudayaan lain yang
konkret adalah artefak, yakni kebudayaan fisik yang berupa hasil aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
halhal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Sifatnya paling konkret di
antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat,
antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan
yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah
kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Demikian komprehensifnya
pengertian kebudayaan karena menyangkut masalah politik, ekonomi, agama,
moral, dan seterusnya. Dengan kata lain, kebudayaan adalah suatu konfigurasi
besar, karena semua sektor mendapatkan bentuk, yang dalam istilah Karl
Jaspers disebut sebagai das umgreifende. Karena itu, organisasi sosial adalah
prasyarat yang harus ada agar kebudayaan mendapatkan landasan materiilnya.
Kebudayaan Indonesia berkembang
dan merupakan campuran serta internalisasi dari berbagai nilai yang
berkembang.
Jadi, pada masa mendatang juga
akan sangat sulit, bahkan untuk mempertahankan, Indonesia atau Jawa ”asli”
misalnya, karena bercampur baurnya nilai kebudayaan itu dari berbagai belahan
kebudayaan dunia lainnya.
Jadi, kalau mau dipertahankan
dan dikontrol dengan UU, misalnya, bagaimana caranya kita menghentikan arus
”sinkretisme” budaya seperti itu? Sederhana saja dalam dunia yang sangat
”sempit” ini yang oleh McLuhan disebut sebagai ” global village” karena
kemajuan teknologi dan komunikasi, sepertinya antarnegara sudah tidak ada
batasnya lagi.
Lalu, apa yang akan diharapkan
dari RUU Kebudayaan? Kebudayaan sebagai wujud spontanitas atau sebagai hasil
perencanaan (seperti diplomasi kebudayaan yang dilakukan Jepang dan Korea
–untuk menyebut dua contoh negara yang berhasil di luar negaranya)? Tanpa
perencanaan dan strategi kebudayaan, memang akan sulit pula untuk menyebut
apa itu puncak kebudayaan nasional.
Yang harus dijamin oleh negara,
misalnya, adanya ”iklim” yang memungkinkan kesenian, ilmu, teknologi,
pendidikan, dll dapat tumbuh subur yang berlandaskan kearifan lokal. Artinya,
diperlukan ”tegangan” yang kreatif antara ”membiarkan” spontanitas dan
kreativitas masyarakat dalam mengembangkan kebudayaan dan perencanaan atau
kontrol kebudayaan yang sehat.
Singkat kata, banyak persoalan
dalam RUU Kebudayaan. Sebab, kebudayaan menyangkut satunya pemahaman, cita
rasa, kepentingan, serta aksentuasi yang berbeda, misalnya, antara
pemerintah, seniman, ilmuwan, dan masyarakat pada umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar