Kamis, 15 Oktober 2015

Beberapa Isu Strategis Pendidikan Tinggi

Beberapa Isu Strategis Pendidikan Tinggi

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                             MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETIKA Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan untuk memisahkan pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah, banyak praktisi dan ahli pendidikan meragukan desain kebijakan ini akan efektif. Kita bisa mengingat, misalnya, bagaimana Menristek Dikti M Nasir meragukan nomenklatur kementeriannya yang dikritik para rektor terlalu berorientasi pada aspek risteknya ketimbang diktinya.

Persoalan kedua yang muncul dan menjadi isu nasional ialah pemisahan anggaran pendidikan secara keseluruhan. Jika ketika di Kemendikbud, perguruan tinggi masuk skema pembiayaan 20% APBN, berapa persen sebenarnya angka ideal kebutuhan anggaran ketika dikti dan ristek dijadikan satu?

Perubahan nomenklatur kementerian memang tak serta-merta mengubah kondisi perguruan tinggi kita yang memang sedang mengalami krisis. Dalam A New Vision of the Public University, Michael Burawoy (2011), menyatakan bahwa saat ini universitas publik di berbagai belahan dunia sedang mengalami krisis karena ada benturan berbagai kepentingan dengan kebijakan negara. 

Pada satu sisi, posisi penting universitas publik melahirkan keinginan agar universitas mampu mengeluarkan gagasan dan solusi berguna bagi masyarakat. Di sisi lain, pemotongan anggaran negara dan invasi konsep ‘pasar’ pada setiap dimensi universitas telah mendorong universitas publik melakukan komersialisasi pendidikan.

Konsep ‘otonomi universitas’ kemudian melahirkan tuntutan kebebasan melakukan apa pun yang dinilai mampu mendorong performa universitas, di antaranya melalui restrukturisasi fakultas-fakultas, mempekerjakan pengajar paruh waktu, outsourcing pekerjaan jasa, dan menaikkan biaya kuliah mahasiswa. Dalam semangat komersialisasi universitas, pengetahuan tak lagi dianggap barang publik yang seharusnya disediakan oleh cabang institusi negara bagi semua orang. Komodifikasi ilmu pengetahuan telah mengubah wajah universitas publik menjadi sekadar pabrik pengetahuan, toko kelontong dari segala jenis ilmu dan keterampilan.

Memilih prioritas

Dalam sebuah laporan majalah Forbes 2014, beberapa isu strategis yang mengganggu kondisi perguruan tinggi di belahan penjuru dunia dipaparkan secara panjang lebar.Pertama, disparitas pembiayaan jelas menempati urutan pertama, karena jika pada aspek pembiayaan sudah memiliki kendala, output perguruan tinggi akan mengalami masalah. Pembiayaan tidak hanya berimplikasi pada aspek sosial sebuah perguruan tinggi seperti lemahnya daya serap tenaga kerja sehingga menimbulkan masalah sosial, tetapi juga berimplikasi pada kualitas perguruan tinggi secara keseluruhan. Karena itu, sebuah UU baru mengenai pentingnya keterkaitan antara perguruan tinggi dan dunia usaha dalam konteks pengembangan mutu serta peningkatan kemampuan riset penting untuk dibuat.

Kedua, jika UU tersebut bisa dibuat, posisi tawar perguruan tinggi terhadap dunia usaha akan memperoleh posisi yang sama tinggi dan mengakibatkan penempatan serta pengembangan tenaga kerja yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Masalah yang muncul selama ini ialah banyaknya jumlah lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Pada tingkat ini, penting bagi setiap perguruan tinggi melakukan review kurikulum mereka berdasarkan prinsip pendidikan berbasis kompetensi (competency based education).

Tentu saja prinsip competency based education tidak semuanya cocok dengan kondisi perguruan tinggi kita. Agar arif dan bijaksana, seyogianya perguruan tinggi melakukan juga membuat riset-riset berbasis kebutuhan pasar yang cocok dengan tuntutan kerja dan kondisi geografis setempat. Secara sederhana, amatlah naif jika ada perguruan tinggi yang berlokasi di daerah pegunungan dan kaya dengan hasil hutan dan pertanian di sekitar mereka, kemudian malah membuat program atau prodi akuntansi atau perbankan. Ketiadaan riset praktis inilah yang membuat sebuah perguruan tinggi terkadang sulit dimonitor ketika mengusulkan sebuah prodi baru.

Isu ketiga yang juga harus dikelola dengan cermat ialah persoalan akreditasi yang semakin lama menjadi kurang berkualitas. Ketiadaan kerja sama dengan dunia usaha dan industri tertentu membuat akreditasi kebanyakan hanya dilakukan secara klinis, yakni badan akreditasi nasional hanya diisi sekelompok profesor doktor dari perguruan tinggi yang dianggap sudah maju, tetapi abai dalam mengikutsertakan dunia usaha dan lembaga lain dalam proses akreditasi. Kebutuhan akreditasi yang komprehensif, dalam konteks Indonesia, jelas membutuhkan banyak sekali kerja sama antarlembaga, termasuk dunia usaha dan industri.

Selain itu, masalah krusial yang juga dihadapi oleh perguruan tinggi kita ialah ketiadaan konsensus tentang pola asesmen yang digunakan dalam konteks penjaminan mutu. Yang saya maksud dengan konsensus dalam aspek asesmen dan evaluasi adalah komitmen untuk meninjau ulang pola rekrutmen mahasiswa dari sekolah menengah, serta pola asesmen yang tepat bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan program. Artinya, pola asesmen dan evaluasi kinerja perguruan tinggi terhadap input-output jelas harus dilakukan melalui skema kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dunia usaha dan industri, serta lembaga lain yang dianggap kompeten.

Terakhir, di tengah terjadinya krisis ekonomi yang sangat fluktuatif, jelas dibutuhkan kepemimpinan perguruan tinggi yang sanggup mengeluarkan perguruan tinggi dari kondisi sulit. Dalam catatan Forbes, banyak perguruan tinggi di dunia mengalami krisis kepemimpinan karena tidak semua rektor sebuah perguruan tinggi memiliki kapasitas manajerial sekaligus pengetahuan yang mumpuni untuk mengajak sebuah perguruan tinggi keluar dari krisis. Semoga catatan pendek ini bermanfaat bagi kementerian baru kita, ristek dan pendidikan tinggi, eh... pendidikan tinggi dan ristek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar