Minggu, 06 September 2015

Potret Buram Aktor Politik

Potret Buram Aktor Politik

Benni Setiawan  ;  Dosen Universitas Negeri Yogyakart; Peneliti Maarif Institute
                                                    JAWA POS, 04 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PELESIR gratis ke luar negeri seakan menjadi ’’tabiat’’ dewan yang terhormat. Mumpung masih menyandang status sebagai anggota dewan, saatnya menghabiskan waktu dengan uang rakyat. Seperti rombongan studi banding hukum adat ke Inggris dengan menggunakan dana Rp 3,3 miliar.

Belajar hukum adat ke Inggris seakan menafikan multikulturalisme hukum di Indonesia. Sebagai gugusan pulau terpanjang dan terbanyak, Indonesia memuat serangkaian hukum adat yang kaya.

Menilik kondisi itu, dapat disimpulkan bahwa studi banding ke Inggris tidak lain sekadar menghabiskan anggaran. Studi banding itu pun lebih tepat disebut liburan gratis.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kebiasaan buruk anggota dewan itu tidak kunjung hilang dari satu periode ke periode yang lain?

Negara Sehat

Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menyatakan,politikmerupakan ilmu yang kedudukannya paling tinggi bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, tujuan dan target akhir politik adalah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sehat. Dengan begitu, semua warga negara merasa dilindungi dan hakhaknya dibela. Akhirnya, masyarakat menjadi pribadi yang sehat sesuai dengan minat dan bakatnya.

Berdasar logika itu, umumnya para filsuf Yunani kuno memandang politik sebagai sebuah ilmu dan seni yang terhormat. Politisi harus mempunyai kualitas moral dan intelektual tinggi.

Bila politisi tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka dapat mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab? (Komaruddin Hidayat: 2006).

Pragmatis

Berdasar rumusan Aristoteles di atas, ilmu politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, aktor politik semestinya adalah manusia terpilih. Mereka adalah pribadi unggul yang mempunyai hati nurani, kecerdasan, dan kedewasaan yang akan membimbing warga negaranya menjadi lebih maju dan mandiri.

Namun, apa yang terjadi sekarang? Politik dan intitusi politik menjadi sesuatu yang ’’kotor’’. Politik tidak ubahnya seperti transaksi ilegal yang dihalalkan. Aktor politik berlomba mengembalikan modal saat kampanye. Mereka pun tidak segan meminta ’’jatah’’ kepada rekanan proyek dan dinas yang telah lolos ’’seleksi’’ UU.

Aktor politik juga sangat pragmatis. Mereka berpikir jangka pendek guna memenui hasrat duniawi. Sangat jarang kita temui mereka menjadi sosok negarawan yang santun dalam bersikap; bijak dalam mengambil keputusan dan tangkas dalam menyelesaikan masalah. Mereka sering malah menjadi bagian dari masalah dan memperkeruhnya.

Maka, tidak heran jika Vedi R. Hadiz menyatakan bahwa kekuasaan negara yang lahir dari sistem partai politik lebih banyak menguntungkan kaum borjuasi domestik. Mereka pun mengekang sekian kepetingan kaum proletar dalam sistem kenegaraan.

Maka, tidak aneh pula jika anggota dewan menjadi kalap saat menyandang gelar tersebut. Mereka akan menggunakan ’’aji mumpung’’ dalam menikmati fasilitas yang diberikan oleh negara. Mereka tidak akan peduli dengan nasib buruh bergaji murah, rakyat antre mendapatkan air bersih, dan banyaknya bangunan sekolah ambruk.

Terus Bertindak

Jika seperti itu, apakah masih ada harapan rakyat untuk aktivitas dan aktor politik? Tentu kita perlu mawas diri, tidak perlu berharap banyak kepada mereka.
Misi politik ala Aristoteles pun akhirnya hanya manis sebagai bahan kuliah. Bagaimana dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab jika aktor politiknya tidak memiliki kecakapan intelektual dan moral?

Masyarakat beradab mungkin hanya ada pada riwayat Polis dalam sejarah Yunani kuno atau bangunan masyarakat Madani ala Rasul Muhammad SAW. Bangunan keadaban itu tersusun dari pemimpin berjiwa filsuf.

Mereka mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan. Mereka tidak lagi membutuhkan uang guna menghidupi diri dan keluarganya. Semua aktivitas politik dilakukan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hal itu tentunya berbeda dengan anggota dewan dan pemimpin kita sekarang. 

Hanya ada tiga aktivitas politik di republik ini. Yaitu, uang, duit, dan rupiah. Belenggu fulus dan pragmatisme menyandera alam bawah sadar dan kejernihan berpikir. Akibatnya, setiap aktivitas bermuara kepada pundi-pundi kesenangan duniawi.

Itulah realitas politik di bumi Nusantara. Oleh karena itu, mari terus bertindak, sesuai dengan potensi diri. Pasalnya, hanya aktivitas kita sendiri yang dapat menyelamatkan biduk rumah tangga. Dalam kajian Mazhab Frankfrut, saat rumah tangga terselamatkan, negara akan tercerahkan.

Jika masih ingin disebut yang terhormat, sudah selayaknya anggota dewan memikirkan rakyat. Bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dengan mengumbar kemewahan di tengah kenestapaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar