Mafia Pangan : Antara Ada dan Tiada
Toto Subandriyo ; Pengamat Sosial-Ekonomi Pertanian;
Alumnus IPB dan Magister
Manajemen Unsoed
|
KORAN
SINDO, 01 September 2015
Gejolak harga pangan
yang terjadi beberapa bulan terakhir hingga kini tak kunjung teratasi. Semua
jurus sudah ditempuh pemerintah, namun sepertinya harga pangan tetap bandel.
Jalan terakhirnya,
dicarilah kambing hitam: mafia berada di balik semua itu. Saat gejolak harga
beras tak kunjung reda, mafia beras dituduh sebagai penyebabnya.
Begitu pula ketika
terjadi gejolak harga gula, cabai rawit, cabai merah, daging sapi dan daging
ayam, mafia dituduh sebagai aktornya. Keberadaan mafia-mafia pangan itu ”antara
ada dan tiada”. Ada karena selalu jadi tertuduh, tiada karena selama ini kita
tidak mendengar para pelakunya ditangkap dan diproses ke meja hijau.
Rupanya dalam hal
pemecahan masalah pangan, pemerintah sekarang ini setali tiga uang dengan
pemerintahanpemerintahan sebelumnya. Cara reaktif operasi pasar masih menjadi
jurus utama. Menyelesaikan permasalahan secara simptomatik dengan
menghilangkan gejala permasalahan sementara, namun permasalahan yang sama
akan muncul kembali di kemudian hari.
Mestinya pemerintah
lebih mengedepankan upaya dan kebijakan solutif jangka panjang secara
fundamental. Hal ini karena pada hakikatnya pemerintah adalah sebuah
organisasi yang memiliki lingkup tugas dan tujuan yang sangat kompleks
sehingga dituntut menjadi organisasi pembelajar (learning organizations).
Menurut Peter Senge
dalam bukunya berjudul The Fifth
Discipline (1990), organisasi pembelajar adalah organisasi yang
orang-orangnya terus menerus meningkatkan kapasitas untuk mencapai tujuan
yang didambakan, pola pikir baru dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan
bebas, tiap orang terus belajar bersama.
Rapuh Berlarut-larutnya
penanganan masalah pangan menunjukkan adanya ketidakmampuan belajar (learning disability) dari pemerintah.
Menurut Senge, ada tujuh faktor penyebab ketidakmampuan belajar sebuah
organisasi. Beberapa di antaranya organisasi tersebut selalu mengidentifikasi
penyebab masalah berada di luar organisasi (the enemy is out there).
Selalu dicari kambing
hitam dari permasalahan yang timbul. Tak mau introspeksi bahwa kemungkinan
penyebab permasalahan dari internal organisasi. Faktor lain penyebab ketidakmampuan
belajar dari organisasi adalah seringnya ”ilusi mengambil tanggung jawab” (the illussion of taking charge).
Perilaku tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan agar dianggap proaktif, padahal sejatinya hanya
tindakan reaktif. Permasalahan pangan yang selalu terulang dan terulang lagi
ini mengindikasikan rapuhnya ketahanan pangan kita. Terdapat tiga pilar utama
ketahanan pangan, yaitu peningkatan produksi secara nyata, penguatan stok,
serta sistem distribusi yang mumpuni.
Jika muncul gejolak
pangan, maka sudah dapat dipastikan ada satu, dua, atau tiga pilar ketahanan
pangan tersebut yang bermasalah. Permasalahan menyangkut daging sapi
misalnya, merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Dari sisi produksi,
selama ini kebijakan pemerintah mulai dari pembibitan hingga pasca panen
belum terintegrasi secara baik.
Permasalahan utama
yang dihadapi peternak di daerah adalah sulitnya memperoleh bibit sapi dan
pakan. Untuk itu, intervensi pemerintah dalam program pengembangan sapi
rakyat harus difokuskan pada pemenuhan bibit unggul dan pakan berkualitas.
Permasalahan lain yang dihadapi peternak rakyat adalah sulitnya mengakses
kredit. Meski Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) telah dikucurkan sejak
2009, realisasinya tidak sesuai harapan.
Sudah ribuan proposal
diajukan, tetapi pelaku usaha yang sudah mendapatkan rekomendasi dapat
dihitung dengan jari. Faktor lain penghambat peningkatan produksi daging sapi
adalah relatif rendahnya harga jual sapi hidup dibanding harga jual daging.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa mata rantai tata niaga sapi potong masih
cukup panjang. Untuk itu, pemerintah harus memangkas agar lebih pendek
sehingga lebih menggairahkan peternak.
Kalibrasi Data Pangan
Berdasarkan data Angka Sementara Badan Pusat Statistik (BPS), produksi daging
sapi nasional 2014 mencapai 539.965 ton dengan populasi sapi potong sejumlah
14,7 juta ekor. Menyangkut kesiapan stok dan distribusi, data ini harus
dicermati betul oleh para penentu kebijakan. Jutaan ekor sapi yang didata ini
tersebar di seluruh pelosok negeri.
Jadi bukan merupakan
stok sapi siap potong jika terjadi kelangkaan daging. Bukan hanya itu,
menurut sensus sapi dan kerbau yang pernah dilakukan, sebagian besar
populasinya berada di Pulau Jawa. Para penentu kebijakan harus memahami
budaya peternakan kita yang unik. Bagi masyarakat Jawa, sapi/kerbau bukanlah
komoditas ekonomi semata, tetapi merupakan tabungan (rojo koyo).
Mereka tidak akan
menjual sapi/kerbau, kecuali dalam keadaan darurat dan mendesak. Sedangkan
untuk beras, polemik yang sering mengemuka berpangkal dari tidak akuratnya
data produksi/konsumsi. Data produksi beras nasional yang merupakan perkalian
antara luas panen dan produktivitas, didapat dari cara-cara yang masih
konvensional.
Pengukuran luas panen
melalui perkiraan pandangan mata (eye estimate), data produktivitas diperoleh
melalui sampel ”ubinan” petak 2,5x2,5 meter memakai alat sederhana.
Terjadinya human error sangat besar dengan cara ”jadul” ini sehingga bias
data pengukuran secara berantai mempengaruhi data produksi nasional.
Begitu pula untuk data
konsumsi beras. Kementerian/lembaga keukeuh dengan angka masing- masing.
Kementerian Pertanian angkanya 139,15 kilogram/ kapita/tahun, BPS besarnya
113,48 kilogram/kapita/tahun, Data Susenas 2012 mematok angka 98 kilogram/
kapita/ tahun. Beragamnya data ini sangat menyulitkan dalam menghitung neraca
beras nasional, angkanya surplus atau minus.
Kenyataan seperti ini
memunculkan kondisi ”swasembada beras semu”. Suatu kondisi di mana angka
produksi beras di atas kertas lebih besar dibanding angka produksi dan
kebutuhan beras riil. Tidak heran kalau kemudian muncul pertanyaan-
pertanyaan kritis, ”Jika terjadi surplus produksi beras mengapa harga masih
tetap stabil tinggi?” atau ”Jika produksi beras surplus tapi mengapa masih
ada impor?” Hingga kini pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut tidak terjawab.
Oleh karena itu,
usulan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk segera
membenahi data pangan harus ditanggapi secara serius. Saat inilah momentum
paling tepat untuk melakukan kalibrasi semua data yang menyangkut masalah
pangan.
Momentum ini juga
momentum yang tepat bagi pemerintah untuk segera membentuk lembaga pangan
seperti amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Lembaga yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden guna mewujudkan
kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.
Lembaga ini mengemban
dua misi besar, melindungi produsen pangan (petani/peternak) dari anjloknya
harga hasil panen, serta melindungi konsumen dari melambungnya harga pangan
yang tidak terkendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar