Senin, 22 Juni 2015

Kolaborasi NU-Muhammadiyah, Mungkinkah?

Kolaborasi NU-Muhammadiyah, Mungkinkah?

Ane Permatasari ;   Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY;
Menyantri di Prodi Politik Islam, Program Doktoral UMY
JAWA POS, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERNAH mendengar lagu Don’t Kill the Whale milik Yes dari album Tormato? Lantunan suara Jon Anderson, bebunyian gitar nyeleneh yang menirukan suara ikan paus dari Howe, dan solo keyboard ngawur tetapi enak didengar dari Rick Wakeman berpadu dengan begitu atraktif. Lagu tersebut merupakan lagu Yes yang tergolong unik. Saya pun langsung jatuh cinta sejak pertama mendengarnya.
Menariknya, saya tidak yakin kalau mendengarnya sebagai bagian yang terpisah. Suara Anderson, petikan gitar Howe, atau bunyi keyboard Wakeman akan lebih enak didengar dengan perpaduan antara ketiganya. Itulah kolaborasi yang merupakan gabungan antara beberapa unsur dalam musik.
Lalu, apa hubungan kolaborasi itu dengan NU dan Muhammadiyah? Apa pula maksud kolaborasi NU dengan Muhammadiyah? Sebenarnya ini hanya sebuah pemikiran nakal saya. Pemikiran yang muncul dari sebuah harapan (dan mungkin impian).
Tidak disangsikan lagi, NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar serta tertua di Indonesia. Selama ini, dengan cara sendiri-sendiri, mereka berkiprah untuk ikut andil dalam perjuangan bangsa. Kalau menganalogikan keduanya sebagai suatu unsur, hukum kolaborasi pasti juga akan berlaku ketika keduanya bersatu.
Bayangkan harmonisasi yang akan dihasilkan bila NU dan Muhammadiyah bekerja sama dalam penyelesaian begitu banyak masalah di negara ini. Satu permasalahan yang krusial sudah ada di depan mata, yaitu ketiadaan regulasi tata kelola sumber daya air setelah pencabutan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). UU Sumber Daya Air telah dibatalkan MK pada Februari lalu atas gugatan Muhammadiyah dan berbagai elemen masyarakat lain.
NU dan Muhammadiyah, menjelang muktamar mereka yang kebetulan hampir bersamaan pada Agustus nanti, tampaknya, memiliki perhatian yang sangat besar dalam perumusan konsep baru tentang tata kelola air yang lebih berpihak kepada rakyat, yang lebih menjaga kedaulatan negara, dan tentu saja lebih syar’i.
Di tengah begitu gencarnya media memberitakan kiprah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut dalam melaksanakan agenda mereka, ada satu hal yang terasa mengganjal. Keduanya masih saja bekerja sendiri-sendiri. Mengadakan seminar dan FGD di berbagai tempat sendiri-sendiri, mengadakan jumpa pers sendiri-sendiri, serta membuat konsep tata kelola air yang baru sendiri-sendiri dengan judul ’’Tata Kelola Air Menurut NU’’ di satu sisi dan ’’Tata Kelola Air Menurut Muhammadiyah’’ di sisi lain.
Air adalah kebutuhan seluruh umat. Karena itu, pemerintah harus menjamin bahwa tata kelola nya harus memberikan maanfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umat. Bukankah kebijakan pemimpin/pemerintah harus senantiasa bertujuan untuk kesejahteraan umat/rakyatnya? NU dan Muhammadiyah, kali ini, tampaknya sepakat bahwa hal itu harus segera terwujud di Indonesia.
Kita bisa melihat, berkaitan dengan permasalahan tersebut, NU dan Muhammadiyah memiliki visi dan misi yang sama. NU dan Muhammadiyah mempunyai tujuan yang sama. Memiliki target yang sama. Pertanyaannya kemudian, kalau begitu banyak yang sama dalam permasalahan itu, mengapa mereka tidak mau bekerja sama mewujudkannya? Bukankah kerja bersama akan membuat semua lebih mudah?
Islam mengajarkan kepada kita untuk bekerja sama menyelesaikan berbagai masalah di muka bumi ini. Para pimpinan NU dan Muhammadiyah pasti juga selalu mengajarkan kepada putra-putri mereka untuk hidup rukun, bekerja sama dengan orang lain dalam kebaikan, serta selalu tolongmenolong. Alangkah naifnya bila ternyata mereka sendiri tidak bisa melakukannya.
Bukankah Allah berfirman: ’’Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan’’ (QS As-Shaff : 2-3). Tidakkah mereka merasa takut akan hal itu?
Secara pragmatis, bayangkan bila NU dan Muhammadiyah bersatu mengawal penyusunan UU SDA yang baru, meminggirkan sejenak perbedaan di antara mereka, dan bersatu padu demi kepentingan bangsa.
Yakinlah, hal itu akan berdampak psikologis yang luar biasa bagi banyak pihak, terutama tikustikus serakah perampok uang rakyat yang selama ini berwajah anggota dewan yang rela menjual kehormatan demi segepok uang dengan menerima pasal-pasal titipan dalam pembahasan RUU, para pejabat publik yang korup, serta para pengusaha yang tidak pernah sedetik pun memikirkan kepentingan bangsa ini. Mereka tidak akan lagi berani main-main.
Jadi merindukan masa ketika Muhammadiyah, NU, beserta ormas Islam lainnya bersatu padu dalam membendung agenda kalangan liberal dalam judicial review UU No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA).
Apakah memang harus ada ’’musuh bersama’’ dulu, baru NU dan Muhammadiyah bisa berjuang bersama? Kalau memang iya, apakah kekuatan kolonialisme berwajah baru yang ingin memorakporandakan ekonomi kita, budaya kita, dan bahkan akidah kita belum bisa dianggap musuh bersama? Semoga muktamar NU dan Muhammadiyah nanti menghasilkan sebuah kado indah untuk bangsa ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar