Kolaborasi NU-Muhammadiyah, Mungkinkah?
Ane Permatasari ; Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY;
Menyantri di Prodi Politik Islam, Program Doktoral UMY
|
JAWA POS, 19 Juni 2015
PERNAH mendengar lagu Don’t Kill the Whale milik Yes dari
album Tormato? Lantunan suara Jon Anderson, bebunyian gitar nyeleneh yang menirukan suara ikan
paus dari Howe, dan solo keyboard ngawur
tetapi enak didengar dari Rick Wakeman berpadu dengan begitu atraktif. Lagu
tersebut merupakan lagu Yes yang tergolong unik. Saya pun langsung jatuh
cinta sejak pertama mendengarnya.
Menariknya, saya tidak
yakin kalau mendengarnya sebagai bagian yang terpisah. Suara Anderson,
petikan gitar Howe, atau bunyi keyboard Wakeman akan lebih enak didengar
dengan perpaduan antara ketiganya. Itulah kolaborasi yang merupakan gabungan
antara beberapa unsur dalam musik.
Lalu, apa hubungan
kolaborasi itu dengan NU dan Muhammadiyah? Apa pula maksud kolaborasi NU
dengan Muhammadiyah? Sebenarnya ini hanya sebuah pemikiran nakal saya.
Pemikiran yang muncul dari sebuah harapan (dan mungkin impian).
Tidak disangsikan
lagi, NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar serta tertua di
Indonesia. Selama ini, dengan cara sendiri-sendiri, mereka berkiprah untuk
ikut andil dalam perjuangan bangsa. Kalau menganalogikan keduanya sebagai
suatu unsur, hukum kolaborasi pasti juga akan berlaku ketika keduanya
bersatu.
Bayangkan harmonisasi
yang akan dihasilkan bila NU dan Muhammadiyah bekerja sama dalam penyelesaian
begitu banyak masalah di negara ini. Satu permasalahan yang krusial sudah ada
di depan mata, yaitu ketiadaan regulasi tata kelola sumber daya air setelah
pencabutan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). UU Sumber Daya
Air telah dibatalkan MK pada Februari lalu atas gugatan Muhammadiyah dan
berbagai elemen masyarakat lain.
NU dan Muhammadiyah,
menjelang muktamar mereka yang kebetulan hampir bersamaan pada Agustus nanti,
tampaknya, memiliki perhatian yang sangat besar dalam perumusan konsep baru
tentang tata kelola air yang lebih berpihak kepada rakyat, yang lebih menjaga
kedaulatan negara, dan tentu saja lebih syar’i.
Di tengah begitu
gencarnya media memberitakan kiprah dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia tersebut dalam melaksanakan agenda mereka, ada satu hal yang terasa
mengganjal. Keduanya masih saja bekerja sendiri-sendiri. Mengadakan seminar
dan FGD di berbagai tempat sendiri-sendiri, mengadakan jumpa pers
sendiri-sendiri, serta membuat konsep tata kelola air yang baru
sendiri-sendiri dengan judul ’’Tata Kelola Air Menurut NU’’ di satu sisi dan
’’Tata Kelola Air Menurut Muhammadiyah’’ di sisi lain.
Air adalah kebutuhan
seluruh umat. Karena itu, pemerintah harus menjamin bahwa tata kelola nya
harus memberikan maanfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umat. Bukankah
kebijakan pemimpin/pemerintah harus senantiasa bertujuan untuk kesejahteraan
umat/rakyatnya? NU dan Muhammadiyah, kali ini, tampaknya sepakat bahwa hal
itu harus segera terwujud di Indonesia.
Kita bisa melihat,
berkaitan dengan permasalahan tersebut, NU dan Muhammadiyah memiliki visi dan
misi yang sama. NU dan Muhammadiyah mempunyai tujuan yang sama. Memiliki
target yang sama. Pertanyaannya kemudian, kalau begitu banyak yang sama dalam
permasalahan itu, mengapa mereka tidak mau bekerja sama mewujudkannya?
Bukankah kerja bersama akan membuat semua lebih mudah?
Islam mengajarkan
kepada kita untuk bekerja sama menyelesaikan berbagai masalah di muka bumi
ini. Para pimpinan NU dan Muhammadiyah pasti juga selalu mengajarkan kepada
putra-putri mereka untuk hidup rukun, bekerja sama dengan orang lain dalam
kebaikan, serta selalu tolongmenolong. Alangkah naifnya bila ternyata mereka
sendiri tidak bisa melakukannya.
Bukankah Allah
berfirman: ’’Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan’’ (QS As-Shaff : 2-3). Tidakkah
mereka merasa takut akan hal itu?
Secara pragmatis,
bayangkan bila NU dan Muhammadiyah bersatu mengawal penyusunan UU SDA yang
baru, meminggirkan sejenak perbedaan di antara mereka, dan bersatu padu demi
kepentingan bangsa.
Yakinlah, hal itu akan
berdampak psikologis yang luar biasa bagi banyak pihak, terutama tikustikus
serakah perampok uang rakyat yang selama ini berwajah anggota dewan yang rela
menjual kehormatan demi segepok uang dengan menerima pasal-pasal titipan
dalam pembahasan RUU, para pejabat publik yang korup, serta para pengusaha
yang tidak pernah sedetik pun memikirkan kepentingan bangsa ini. Mereka tidak
akan lagi berani main-main.
Jadi merindukan masa
ketika Muhammadiyah, NU, beserta ormas Islam lainnya bersatu padu dalam
membendung agenda kalangan liberal dalam judicial review UU No 1 Tahun 1965
tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA).
Apakah memang harus
ada ’’musuh bersama’’ dulu, baru NU dan Muhammadiyah bisa berjuang bersama?
Kalau memang iya, apakah kekuatan kolonialisme berwajah baru yang ingin
memorakporandakan ekonomi kita, budaya kita, dan bahkan akidah kita belum
bisa dianggap musuh bersama? Semoga muktamar NU dan Muhammadiyah nanti
menghasilkan sebuah kado indah untuk bangsa ini... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar