Tumpang Tindih Dana Aspirasi
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti madya
Institute for Social Research and Development, Jakarta
|
JAWA POS, 19 Juni 2015
PENOLAKAN usul dana
aspirasi dengan total anggaran Rp 11,2 triliun per tahun yang akan dianggarkan
dalam RAPBN 2016 digulirkan bukan hanya oleh gerakan masyarakat sipil, namun
juga fraksi-fraksi di DPR. Selain tidak terlihatnya urgensi usul dana
aspirasi itu, publik mencium bakal munculnya lahan korupsi baru. Karena itu,
nilai mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Selain itu, usul dana
aspirasi berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Yakni,
penambahan fungsi DPR sebagai pengelola anggaran negara. Hal itu bisa
menimbulkan overlapping peran antara pemerintah dan DPR. Secara
konstitusional, DPR hanya berwenang mengusulkan anggaran kepada pemerintah.
Sejumlah
perundang-undangan yang akan overlapping itu, antara lain, UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Sangat kuat dugaan,
rencana dana aspirasi hanyalah akal-akalan oknum politisi untuk mengeruk uang
negara lewat APBN demi ’’kepentingan pribadi dan golongan’’. Sebab, jika usul
itu murni, mengapa para penentu kebijakan di Senayan tidak memfungsikan serta
mengoptimalkan UU yang sudah ada dalam kaitan untuk pembangunan di daerah?
Ditengarai kuat,
rencana itu akan sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sebab,
dana-dana APBN yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat akan kembali
digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Itu sungguh suatu model atau bentuk ’’rencana jahat’’
baru yang akan dilakukan para wakil rakyat.
Kiranya relevan jika
Geoff Mulgan dalam karyanya, Politic in
an Antipolitical Age (1994), mengungkapkan bahwa para politikus yang
semestinya dan seharusnya dibangun berdasar nilai-nilai moral serta etika,
pada pelaksanaannya, lebih memperbanyak memenuhi kepentingannya, kemudian
akhirnya merusak tujuan dan arti politik itu.
Tujuan politik adalah
to role, bagaimana semestinya para politikus di Senayan membuat suatu
kebijakan strategis dalam rangka menyejahterakan kehidupan warga negara.
Bukannya menggembosi uang rakyat.
Politik yang
dijalankan politikus Senayan pada tataran pelaksanaannya terus tercemari oleh
praktik-praktik banalitas yang hanya memperbesar kepentingan demi individu
dan kelompoknya. Politik yang dimainkan sekarang cenderung selalu berada
dalam sebuah era antipolitik.
Seiring dengan
janji-janji para politikus, yang kemudian tidak terbukti atau menyimpangkan
wewenang kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, diharapkan
nanti masyarakat akan mendelegitimasi mereka pada pemilu mendatang. Politikus
yang riskan dengan praktik banalitas bisa dipastikan akan bertumbangan.
Sudah banyak politikus
Senayan yang mengkhianati kepentingan rakyat dengan, misalnya, perilaku korup
dan manipulatif. Di tengah keprihatinan bangsa yang diterpa berbagai cobaan,
tidak sedikit politikus yang bukannya memikirkan dan membantu semua persoalan
kebangsaan, tetapi justru terus merugikan rakyat lewat kebijakan-kebijakan
yang konyol.
Yang lebih
mengecewakan, di tengah keprihatinan itu semua, satu per satu skandal korupsi
mulai terusut KPK. Sungguh suatu skandal memalukan yang tentu tidak memiliki
rasa sensitivitas terhadap rakyat yang tiap hari bertambah sengsara.
Belum lagi kelakuan
partai-partai politik yang hanya memikirkan suksesi pemilu. Lihat saja
gemanya. Misalnya, untuk menyelamatkan citra partai, partai-partai membuat
strategi dengan harapan partainya terkesan responsif terhadap tuntutan zaman
dan masyarakat.
Selain demi
kepentingan rakyat, jargon demokrasi tidak pernah tertinggal digunakan
politikus. Mereka menganggap demokrasi adalah tujuan, tetapi tujuan itu
justru tidak jelas. Bahkan, terkesan, tujuannya adalah sekali lagi demi
kepentingan individu dan kelompok.
Menurut Mestika Zeid
(2005), demokrasi yang dijadikan tujuan sesungguhnya bukanlah target
demokrasi itu sendiri. Sebab, demokrasi punya tujuan dan tujuan itu adalah
kesejahteraan bagi rakyat.
Bangsa ini sekarang
berada dalam era politik yang sesungguhnya antipolitik. Politik tidak
dibangun berdasar moral. Energi politik saat ini dihabiskan hanya untuk
kepentingan pribadi dan kelompok. Di sisi lain, persoalan yang sesungguhnya
harus diselesaikan seperti kemiskinan, pengangguran yang kian meningkat, dan
krisis pangan, misalnya, tidak disentuh sama sekali.
Para politikus dan
birokrat hanya sibuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanya
dijadikan ajang dan arena untuk memperkaya diri, saling menjatuhkan, dan
sebagainya yang pendeknya bertentangan dengan etika dan moral politik.
Jika terus
berlangsung, sesungguhnya keadaan itu akan membahayakan kelangsungan bangsa
ini. Sebab, politikus tidak lebih hanya merupakan instrumen destruktif yang
justru akan memorak-porandakan bangsa ini dari dalam. Mereka bukan lagi
instrumen untuk merekonstruksi persoalan-persoalan bangsa. Melihat kondisi
seperti itu, sudah saatnya negara diselamatkan dari kepentingan sempit
politikus yang akan merugikan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar