Kembalikan
Ruh Perjuangan HMI
Azhar Kahfi ; Ketua
Bidang PTKP PB HMI
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2015
“Kegagalan HMI kegagalan satu
generasi, keberhasilan HMI keberhasilan satu generasi”. (Ahmad Wahib) Di Milad Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Ke-68 tahun ini, penting mengetengahkan kegelisahan
Ahmad Wahib tersebut.
Maknanya, HMI sebagai representasi gerakan kaum menengah
intelektual merupakan alat perjuangan. Namun, alat itu kini sudah mulai
tumpul bersamaan dengan dominasi warna politik di HMI dan hampir semua
gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya. Musti diakui, gerakan mahasiswa dan
pemuda pasca 1998 telah kehilangan ruh perjuangannya.
Idealisme ekstraparlementer, gerakan politik moral, dan
produktivitas intelektual kini hanya mampu diwiridkan tanpa pernah hidup di
dalam sanubari anak negeri. Inilah yang terjadi pada para kader HMI dan
mayoritas gerakan pemuda di negeri ini. Mahasiswa dan pemuda yang semestinya
mengambil peran kepeloporan, seolah kehilangan keberdayaannya. Di tengah
kelesuan gerakan HMI, kita merindukan gagasan visioner baru yang kontekstual
dengan kondisi kebangsaan saat ini.
Sudah waktunya mengembalikan HMI sebagai sentrum gerakan
pencerahan dan laboratorium intelektual demi melahirkan pemimpin muda yang
visioner, bermoral, danberintegritas. Sebuah investasi kepemimpinan bangsa di
masa depan. Mari sejenak berkontemplasi. Luruhnya ruh perjuangan dan peran
kepeloporan HMI setidaknya dapat dinapaktilasi dari tiga indikator.
Pertama, pascagerakan reformasi 1998, HMI, dan mayoritas
organisasi pemuda mengalami antiklimaks. Beragam action, semisal demonstrasi, tak lagi murni mencerminkan
kepentingan rakyat, melainkan lebih diwarnai oleh rekayasa pesanan politik.
Gerakan mahasiswa dan pemuda kerap mengatasnamakan perjuangan hak rakyat,
namun rakyat tidak pernah merasa diperjuangkan hakhaknya.
Di satu sisi, HMI dan gerakan pemuda lebih mengandalkan
hadirnya musuh bersama (common enemy)
di domain kekuasaan secara oposisional, ketimbang mengusung cita-cita bersama
secara konstruksional. Nah, pada saat siklus kekuasaan berubah dari
sentralisme menuju desentralisme, pola gerakan HMI pun ikut berubah mengikuti
peta fragmentasi kekuasaan. Akibatnya terjadi bias arah perjuangan.
Di sisi lain, tingginya libido politik praktis seolah
menjadi wabah yang tak terelakkan dari jantung organisasi HMI sehingga
orientasi organisatoris kian pragmatis dan kehilangan independensi karena
larut di arus besar permainan politik (political
mainstream). Itu terbukti dari kecenderungan perpecahan (mufaraqah) organisatoris yang dipantik
oleh momentum peralihan kekuasaan (politik internal organisasi). Kelompok
yang kalah biasanya tidak mau menerima secara fair kekalahannya.
Sebaliknya kelompok yang menang tidak mau mengakomodasi
kelompok kalah karena aspek rivalitas. Ujungnya, terjadi perpecahan di mana
masing-masing top leader berebut
legitimasi kekuasaan. Kedua, aktivitas kajian strategis- konseptual,
penyamaan isu maupun pemetaan potensi kader kian jarang dilakukan, kecuali
hanya untuk menyangga kebutuhan struktural dan jauh dari dimensi substansial.
Kader HMI saat ini lebih nyaman memilih pola pikir instan,
ketimbang rumusan programatik yang dianggap terlampau rumit dan bertele-tele.
Maka wajar bila capaian gerakan kita hanya sebatas tujuan “antara”. Artinya,
kita piawai menggoyang ataupun menurunkan sebuah rezim kuasa. Namun, tidak
siap dengan grand design konsep restrukturisasi pasca runtuhnya rezim.
Pola gerakan yang digunakan lebih bersifat konfrontatif,
ketimbang diplomatis. Semestinya pola diplomasi dengan menyodorkan desain
konsep dapat berimplikasi lebih sistemik daripada harus selalu
berkonfrontasi. Ketiga, HMI dan organisasi pemuda sebagai entitas menengah
intelektual belum mampu memfungsikan diri sebagai jembatan yang menyambungkan
jurang kesenjangan antara rakyat (grassroots)
dengan elite.
Kita seolah lebih
nyaman menjadi komunitas eksklusif yang terpisah dari grassroots. Sebaliknya, kita kerap berposisi “butuh” kepada
elite. Tidak terjadi relasi yang integrated
individual and community level empowerment, sebagaimana dipesankan Louise
Jennings dalam Toward a Critical Social
Theory of Youth Empowerment.
Semangat Zaman HMI
Ada tiga hal yang melatarbelakangi berdirinya HMI, yakni
dunia Islam, kebangsaan, dan kemahasiswaan. Tiga ladang pengabdian ini
senyatanya belumlah digarap secara maksimal. Kondisi dunia Islam, sebagaimana
diketahui, hingga kini masih diselimuti awan kegelapan. Terorisme berbasis
agama tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Paham antipluralisme merebak di
mana-mana dan siap mengoyak keragaman yang sudah sekian lama terajut di
negeri ini.
Di titik ini, HMI musti berada di garis depan mencegah
munculnya virus-virus kedengkian yang dibalut ajaran dan dogma agama. Nilai-nilai
Islam inklusif, toleran, dan humanis niscaya di-landing-kan dalam kenyataan berbangsa dan bernegara. Pada kondisi
kebangsaan kita saat ini, perilaku korupsi mewabah dari pusat hingga daerah.
Ini menyebabkan proses pembangunan menjadi terhambat
karena dikemplangnya kekayaan negara oleh segelintir elite negeri ini. Mereka
memperkaya diri secara membabi buta tanpa menyadari bahwa ada hak orang lain
yang dirampasnya. HMI seharusnya mengambil kembali semangat perjuangan yang
dulu pernah dilakukan di masa kemerdekaan. Sementara kondisi kemahasiswaan
Indonesia saat ini masih dibelit krisis identitas.
Mahasiswa hari ini cenderung bergaya hidup hedonistis
akibat infiltrasi globalisasi melalui alat teknologi informasi dan
komunikasi. Mengambil kembali kendali nilai intelektualitas yang selama ini
menjadi ciri khas HMI, tidaklah bisa ditawar sebab keberadaannya inheren
dalam diri seorang kader HMI. Mengutip apa yang pernah dituturkan Cak Nur, “HMI
adalah organisasi elite.” Elite bagi Cak Nur bermakna kualitas intelektual
individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader organisasi
mahasiswa dan kepemudaan secara umum.
Dengan kemampuan intelektual, kader HMI mampu membaca
tanda-tanda perubahan zaman yang semakin bergerak maju. Ia juga harus mampu
menganalisis apa yang akan menjadi tantangan ke depan untuk kemudian
mempersiapkannya. Apalagi saat ini era pasar bebas sudah dimulai dengan
dicanangkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Yang diperdagangkan tak hanya
barang dan jasa, tapi juga tenaga kerja. Jangan sampai HMI menjadi beban
sejarah bangsa ini.
Dengan jumlah anggota tersebar di berbagai pelosok di
Indonesia, peran HMI sebagai motor penggerak pembangunan bangsa harus
dibangkitkan kembali. Menjelang satu abad Indonesia, ruh perjuangan dan
kiprah intelektualisme HMI musti dikibarkan!! ? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar