Toleransi
Bukan Harmoni
Samsudin Berlian ; Pengamat Bahasa dan Sosial, Tinggal di Jakarta
|
SATU
HARAPAN, 24 November 2014
Ada perbedaan di Indonesia.
Itulah titik berangkat kita. Ada perbedaan yang bertingkat-tingkat,
berlapis-lapis, dan bertumpang-tindih. Perbedaan agama, aliran-aliran di
dalam satu agama, sukubangsa, ideologi, bahasa, partai, selera, pendidikan,
dll, mewujud dalam perbedaan pandangan, sikap, perilaku, kebiasaan, pilihan,
dst.
Tanggapan terhadap perbedaan pun
berbeda-beda. Ada orang yang sangat senang perbedaan. Mereka dengan semangat
mencari tahu segala hal yang berbeda; mereka belajar, mereka menikmati,
mereka gembira akan segala hal baru dan lama yang berbeda dengan keadaan dan
pandangan diri mereka sendiri. Mereka bergaul dan berbaur saling cinta saling
jaga. Tidak ada ketidaksetujuan di sini. Karena itu, tidak ada tolerasi.
Dengan demikian, tidak ada toleransi.
Banyak kata bisa dipakai untuk
keadaan ini—harmoni, serasi, selaras, indah, pluralis, majemuk, ideal, sejuk,
gotong-royong, solidaritas, dll. Banyak kata yang masing-masing bisa
menggambarkan dengan tepat keseluruhan atau aspek tertentu keadaan dan sikap
yang sangat surgawi ini. Tapi toleransi bukan salah satunya. Tidak ada dan
tidak perlu ada toleransi di surga.
Ada orang yang tidak senang
perbedaan. Mereka tidak setuju perbedaan. Mereka mengambil sikap menentang
secara aktif. Mereka bukan hanya tidak setuju. Mereka menolak dan berusaha
menghambat atau melarang pandangan, sikap, dan atau perbuatan yang tidak
mereka setujui itu. Dalam bahasa generasi lalu, mereka tidak mentolerir hal
yang tidak mereka setujui. Mereka menggunakan tekanan psikologis, kekuatan
massal, serangan ideologis, kekuasaan negara, ancaman hukum, ketajaman golok,
dan hantaman pentung untuk berusaha menghancurkan dan melenyapkan orang dan
pihak yang berbeda dari mereka. Mereka menciptakan neraka bagi orang-orang
yang mereka musuhi agar takut dan lari pergi, atau mati. Kenegatifan ini bisa
disebut pertentangan, permusuhan, intoleransi, disharmoni, kebencian,
kepicikan, kesempitan, keganasan, atau apa saja yang bermakna serupa. Yang
jelas bukan toleransi. Tidak ada toleransi di neraka.
Ada orang yang tidak setuju pada
perbedaan tertentu. Tapi mereka yang tidak setuju ini tidak melakukan sesuatu
terhadap orang yang tidak mereka setujui. Mereka diam saja, tidak menentang
secara fisik orang yang pendapat atau perilakunya tidak mereka setujui.
Mereka mengambil sikap kurang lebih: hidupmu hidupmu, hidupku hidupku. Mereka
tidak berusaha membungkam atau mencengkam orang atau pihak yang tidak mereka
sukai. Sebagian tidak hanya diam, tapi secara aktif berdebat, bersilat lidah,
secara langsung pribadi atau melalui media umum. Mereka berbicara, atau
mengecam dan menyalahkan, tapi mereka tidak mementung atau membacok, tidak
memenjarakan atau mengusir. Inilah tolerasi. Tidak setuju, tapi tidak berbuat
sesuatu yang negatif terhadap persona orang yang tidak disetujui atau
disukai. Ini belum toleransi. Dekat, tapi belum. Mirip, tapi bukan.
Dari orang-orang yang
bertolerasi ini, sebagian akan tetap diam saja ketika orang atau pihak yang
tidak mereka setujui itu mengalami perlakuan tidak adil dari orang atau pihak
yang berusaha memburuki atau menggebuki mereka. Walaupun mereka bertolerasi
terhadap orang yang tidak mereka setujui tindakan, perilaku, atau
pandangannya, mereka tidak berusaha membela ketika orang-orang itu, dalam
kedudukan lemah, dicederai dan dicelakai, ditindas dan ditikam oleh orang
yang tidak bertolerasi, atau oleh negara dan atau aparatur negara. Mereka
bertolerasi, tapi tidak bertoleransi.
Sebagian orang yang bertolerasi
mengambil sikap aktif membela hak-hak orang atau pihak yang tidak mereka
setujui. Mereka memakai prinsip Voltaire yang sering dikutip itu. Walaupun
bukan langsung dari pena atau mulutnya, melainkan dari parafrase penulis
biografinya, Evelyn Beatrice Hall, kutipan itu adalah intisari toleransi
dalam pemikiran filsuf utama Prancis itu: “Aku tidak setuju apa yang kamu
katakan, tapi aku akan membela mati-matian hakmu untuk mengatakannya”.
Seorang yang bertoleransi adalah
seorang yang, ketika masyarakat berada dalam keadaan tenang, membiarkan
segala macam pandangan dan perilaku yang tidak dia setujui—yang dikemukakan
oleh segala macam orang di segala bidang kehidupan—tetap berkumandang dan
berkembang; atau mereka secara aktif terlibat dalam perdebatan dengan
kata-kata dan bertikai hanya secara rasional dengan mereka yang berbeda
pandangan itu.
Seorang yang bertoleransi adalah
seorang yang, ketika masyarakat berada dalam keadaan tegang, menggunakan
segala kemampuan, segenap kekuatan, dan sepuncak kecerdasannya untuk membela
dan memperjuangkan hak orang dan pihak yang tidak mereka setujui itu untuk
melanjutkan tindakan dan memperluas pandangan mereka dengan leluasa.
Orang yang bertoleransi akan
berkata, aku tidak setuju pendapatmu, kalau bisa aku harap kamu mengubah
sikap dan pandanganmu. Aku bahkan akan berusaha membujuk dan meyakinkanmu
dengan damai untuk menganut pendirianku. Tapi aku tidak akan memaksa kamu
dengan kekerasan atau dengan hukum atau dengan kekuatan negara sehingga kamu
menjadi takut dan tunduk kepadaku. Kuhargai hakmu untuk berpegang pada
keyakinanmu dan perilakumu. Dan kalau ada orang lain berusaha menganiaya dan
menindasmu karena keyakinanmu itu, apabila ada orang berusaha menjahati dan
menzalimi kamu karena pandanganmu dan perilakumu itu, aku akan membelamu dan
memperjuangkan hakmu dengan sekuat tenagaku.
Orang Indonesia secara
tradisional tidak mengenal toleransi atau tolerasi, melainkan harmoni. Kehidupan
tradisional ideal yang aman tenteram adalah kehidupan selaras serasi.
Perbedaan dikurangi. Perasaan tidak suka dipendam. Perselisihan diredam.
Kebencian tak punya wajah. “Ya” adalah jawaban paling indah di telinga semua
orang. Setuju dan sepakat adalah cita-cita sosial yang dijunjung tinggi.
Selaras seperti dawai-dawai yang dikencangkan dengan sempurna tegangannya
sehingga menimbulkan ragam bunyi yang nyaman di telinga. Serasi seperti
gugus-gugus bintang di langit yang berbaris setiap malam tanpa pernah
terlihat melanggar jalan dan jalur tetangganya. Begitulah ideal kehidupan
sosial masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya.
Tapi orang Indonesia masa kini
tidak hidup dalam dunia tradisional. Suka tidak suka, mau tidak mau, percaya
tidak percaya, pola kehidupan masyarakat tradisional hanya bisa dijaga dan
diselamatkan unsur-unsur tertentunya saja, tidak bisa dipertahankan
seutuhnya. Keluarga perdesaan Jawa mungkin masih bisa mengandalkan tetangga
dan kepala desa dalam memelihara kerukunan, tapi di kota-kota rukun tetangga
dan rukun warga memiliki sifat dan fungsi berbeda. Keluarga Padang di rantau
harus berinovasi dalam melanjutkan tradisi pewarisan harta pusaka matriarkat.
Demikianlah perubahan dan penyesuaian harus dialami dan dijalani semua dan setiap
masyarakat Indonesia yang membuka diri terhadap kehidupan modern dan pengaruh
nasional dan global.
Harmoni,
ketika semua dan setiap orang sepakat sehasrat dan sehati sejiwa tidak bisa
lagi menjadi cita-cita kebersamaan masyarakat kontemporer Indonesia. Toleransi,
ketika pertikaian dan perselisihan adalah kebiasaan normal yang berlangsung
dalam damai dan penuh akal budi dengan sikap saling hormat dan saling junjung
martabat, ketika perbedaan pandangan dan perilaku justru menghasilkan adu
otak dan asah jiwa yang menjadi motor kemajuan dan perbaikan, adalah ideal
maksimal suatu masyarakat modern yang merdeka sebagai satu bangsa, merdeka
sebagai kelompok-kelompok manusia, dan merdeka sebagai seorang-seorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar