Antara
Oposisi dan Teror Politik
Rahmatul Ummah Assaury ; Pegiat Majelis Kamisan Metro
|
SATU
HARAPAN, 01 Desember 2014
Akhir-akhir
ini kita dipertontonkan perseteruan seru dua koalisi besar di parlemen.
Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Bahkan untuk
menghindari stigma negatif tentang model koalisi yang dibangun, KMP menyebut
ideologi koalisinya sebagai aliran politik konservatif dan menyebut KIH beraliran
politik liberal.
Walaupun
ide-ide dua aliran politik tersebut masih harus diuji plus-minusnya dalam
praktik koalisi ke depan. Hal yang mungkin saat ini perlu didialogkan adalah
pluralitas ideologi politik yang tampak pada parpol yang bergabung di dua
koalisi tersebut. Maka pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah,
benarkah koalisi yang dibangun berbasis kesamaan ideologi, atau sebaliknya
hanya dilatarbelakangi kepentingan?
Arend
Lijphart (1999) menyebut koalisi adalah keniscayaan demokrasi konsensus
(consensus model of democracies), yang secara garis besar koalisi
dipetakannya dalam dua tipe. Pertama, minimum winning coalition, yakni
koalisi yang dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk meraih kemenangan di
parlemen. Kemenangan ini menjadi penting karena politik lebih dimaknai
sebagai kuantitas suara di parlemen yang akan menentukan kelangsungan
kekuasaan di pemerintahan (eksekutif). Kedua,
connected winning coalition
atau koalisi yang didasarkan kesamaan ideologi. Walaupun kemenangan itu tetap
menjadi target, namun koalisi ini tetap berpijak kepada ideologi yang
dianutnya.
Sulit
untuk memberi jawaban dan kesimpulan, bahwa KMP sedang berusaha membangun
oposisi kuat untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh
Pemerintahan Jokowi-JK. Di samping model oposisi tidak dikenal dalam sistem
pemerintahan presidensial sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi,
praktik-praktik berpolitik KMP pun lebih terlihat pada kepentingan berbagi
kekuasaan.
Buramnya
idelogi politik dan orientasi kepentingan/kekuasaan KMP menjadi indikasi awal
untuk mencurigai bahwa KMP berpotensi menjadikan pemerintahan Jokowi-JK
menjadi stagnan dan tampak bodoh, dan ini adalah ancaman serius terhadap
keberlangsungan demokrasi dan penguatan politik sipil. Alih-alih kita bisa
berharap kepada KMP untuk menjadi kontrol efektif terhadap kekuasaan, yang
ada justeru kekhawatiran KMP menjadi teror politik.
Oposisi dan Teror Politik
Oposisi,
kata itu berasal dari bahasa Latin opponere,
yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan
alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada
kepentingan pribadi atau kelompok.
Oposisi
di alam demokrasi adalah keniscayaan sejarah, karena pasti akan ada kebaikan
dan kejahatan dalam praktik bernegara dan berbangsa. Prinsip mengontrol
dominasi kekuasaan ini akan selalu relevan dengan zaman. Prinsip ini akan
dapat disuarakan dan terus diperjuangkan selama sebuah bangsa memiliki
masyarakat yang kuat (civil society
untuk melawan hegemoni Negara sehingga memberikan harapan terhadap prospek
demokratisasi.
Sedangkan
kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Di akhir abad
ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang Perang Dunia kedua (PD-II), terorisme
menjadi teknik perjuangan revolusi. T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan
penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi
kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan
menjadi dua katagori, yaitu enforcement
terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap
kekuasaan mereka, dan agitational
terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk
kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Kontekstualisasi
kata oposisi dan teror dalam politik Indonesia saat ini, menjadi penting
untuk menguji KMP yang secara beruntun telah memenangkan “voting” di
parlemen, mulai UU MD3, UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, pemilihan
pimpinan MPR, dan bisa saja akan memenangkan seluruh permainan dan
pertandingan yang akan di gelar berikutnya.
Oposisi
yang sejatinya adalah untuk mengontrol dominasi kekuasaan dan diorientasikan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, menjadi salah satu alat ukur
efektif, apakah deretan-deretan kemenangan KMP yang secara beruntun itu layak
untuk dikategorikan sebagai oposisi atau justru merupakan tindakan simbolis
yang dirancang untuk mempengaruhi dan membuat kebijakan yang bermuara pada
terpangkasnya hak-hak politik rakyat, dan menjadi tindakan politik yang
berbau teror?
Apapun
jawabannya, tentu bukanlah kesimpulan akhir untuk menilai KMP, karena
perjalanan koalisi ini masih panjang, harus terus menerus diuji dan
dibuktikan apakah lebih berpihak kepada rakyat atau lebih berpihak kepada
elit politik parpol yang bergabung di KMP.
Namun,
jika ada yang terlanjur menilai bahwa praktik politik KMP lebih cenderung
kelihatan sebagai teror politik, justeru penilaian itu bersumber dari paparan
jawaban KMP sendiri atas pertanyaan orientasi yang mereka sedang bangun.
Karena sekali lagi teror sebagai sebuah kata hanya punya satu makna:
mengekalkan ketakutan.
Ketika
rakyat memberikan kesimpulan dan stigma negatif atas tindakan politik KMP,
maka secara tidak langsung KMP-lah yang menarasikan tindakan-tindakan
tersebut sehingga mudah dibaca dan ditebak oleh publik, tak mungkin ada asap
tanpa ada sumber api. Pilihannya ke depan, KMP mau mengubah narasi dan
tindakan politiknya atau tetap mempertahankan wajah politik yang tak ramah
publik.
Jika KMP tetap bersikukuh pada keyakinan tindakan politik yang
terlanjur tidak pro rakyat dan tetap menjadi teror politik hari ini, maka
bersiaplah untuk dikerdilkan oleh prilaku politiknya sendiri. Dan teror
memang dapat membungkam masyarakat. Namun, teror sebenarnya tak pernah dapat
melegitimasi kekuasaan. Dalam sejarah, tidak ada rezim totaliter yang
bertahan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar