Masyarakat
tanpa Sekolah
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 14 Desember 2014
7. Ibu berhadas besar. Yang ibu
lakukan untuk bersuci adalah: a. Wudu b. Mandi keramas c. Cuci kaki 8. Najis
mutawsittah disebut juga dengan: ... dan seterusnya
(tidak saya lanjutkan).
Soal
ujian pilihan berganda itu ditunjukkan oleh seorang ibu kepada saya. Saya
pikir tadinya ini soal-soal ulangan kelas II SMP, tetapi belief it or not,
anak sulung ibu itu baru kelas 1 SD dan dia tinggal di Bekasi. Jadi itu
adalah materi ulangan murid kelas 1 SD di Bekasi (nama SD-nya off the
record).
Kata
ibu itu, ”Ini soal UAS anak saya, Prof.” Yang mencengangkan adalah bahwa
soal-soal seperti itu diberikan ke siswa kelas 1 SD yang menurut psikolog J
Piaget, perkembangan kognisi anak secara umum belum sampai ke taraf harus
bisa membaca. Pada tahapan umur 6-7 tahun anak baru bisa mulai diajari
membaca. Dulu saya sediri baru belajar membaca di kelas 1 SR (sekolah rakyat,
setara SD sekarang), ”Be...u... bu...ka... u...ku... buku! Horeee....”
Sebelumnya,
di TK saya main melulu, menggambar, bernyanyi, dan menari; kalau udah
kebelet, ”Bu Guru, mau pipis....” Tapi yang paling salah menurut Piaget
(psikolog dari Swiss, 1896-1980) adalah anak seumur itu diajari konsep-konsep
yang abstrak, yang sudah pasti dia tidak akan bisa mengerti. Apa itu ”hadas
besar”? Ibu gurunya mungkin tahu bahwa arti kata itu adalah ”ibu dan bapak
habis gituan ”, tetapi mana anak tahu dan bagaimana cara ngasih tahunya?
Apa
hubungannya dengan wudu, keramas, atau cuci kaki? Apa pula artinya ”bersuci”
dan ”mutawsittah ”? Saya saja bingung, apalagi buat anak. Tapi anak dipaksa
saja untuk menghafal, ngerti tidak ngerti hafalkan. Kalau hafal dan nyontreng
jawaban yang benar, ”Itu sudah,” kata orang Ambon.
Menteri
Diknas Anis Baswedan menengarai bahwa sekolah-sekolah negeri makin lama makin
bergeser ke agama tertentu saja. Penelitian Prof Dr Bambang Pranowo (UIN
Jakarta, 2011) mengungkapkan data bahwa sudah ada sejumlah siswa yang
anti-Pancasila dan prokekerasan terhadap agama lain di SLTA negeri
se-Jabodetabek.
Di
wilayah-wilayah yang mayoritas muslim, ”iklim” sekolah mulai tidak nyaman
untuk murid-murid dan orang tua yang nonmuslim. Karena itu Menteri Agama
menggagas doa umum untuk sekolah-sekolah negeri (bukan sekolah khusus agama
tertentu) yang bisa diikuti semua murid lintas agama atau kalau mau
dilaksanakan doa dengan cara agama tertentu, murid-murid yang berkeyakinan
lain, diizinkan untuk tidak ikut berdoa.
Tapi,
seperti sudah diduga, wawasan Menteri Anis Baswedan yang muslim dan golkar
(golongan keturunan Arab) ini serta-merta menuai kritik dan protes. Demikian
juga tentang UN (ujian nasional) di masa Mendikbud Muh Nuh yang penuh
kontroversi. Pokoknya banyak yang tidak setuju, di
sampingadayangsetujuataubahkan sangat setuju. Jadi memang menyeragamkan
pendidikan itu sangat sulit. Itubarutarafnasional, apalagi taraf
internasional.
Pada
tahun 1971, seorang pastor Katolik keturunan Austria, Ivan Illich,
menerbitkan sebuah buku yang sangat fenomenal berjudul Deschooling Society.
Dalam buku itu ia mengatakan bahwa menyeragamkan pendidikan sangat tidak
mungkin. Setiap komunitas di Eropa mempunyai budaya dan kebiasaan
masing-masing. Bahkan setiap individu punya bakat dan minat sendiri-sendiri.
Penyeragaman
berarti pelembagaan. Pelembagaan pendidikan dan pranatapranata masyarakat
berarti pemaksaan dan setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik.
Hal itulah yang sekarang ini (tahun 2014) sedang terjadi di seluruh dunia!
Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Inkelles, harus punya tiga
tujuan:
(1)
memungkinkan semua orang yang ingin belajar untuk bisa mengakses
sumber-sumber pelajaran setiap saat sepanjang umurnya, (2) mendorong setiap
orang yang punya pengetahuan dan keahlian untuk berbagi dengan setiap orang
lain yang membutuhkan pengetahuan dan keahliannya itu, dan (3) menyediakan
sarana bagi setiap orang yang punya wawasan, temuan, atau kritikan tentang
hal-hal tertentu untuk menyajikannya kepada publik, agar setiap orang bisa
membahasnya secara terbuka.
Jawaban
terhadap masalah ini, kata Illich, adalah website melalui jaringan internet.
Di tahun 1972-1973, ketika bersekolah di Universitas Edinburgh, Inggris, saya
masih buta komputer, apalagi internet. Bahkan sebagian pembaca, belum ada di
dunia ketika itu. Tapi Illich sudah bicara tentang internet pada tahun 1971,
ketika Jokowi masih berusia 10 tahun, masih SD, dan suka berenang di kali di
belakang rumahnya di Solo.
Apa
yang diramalkan Illich sudah jadi realitas sekarang. Bukan lagi hanya di AS
atau Eropa, tetapi juga di Indonesia, di era Jokowi sudah jadi presiden.
Masyarakat Indonesia adalah salah satu pengguna internet terbesar di dunia,
puluhan provider internet melayani sektor dunia maya ini, pemerintah punya
kementrian sendiri, dan pemerintah juga mendorong elektronisasi di semua
sektor, termasuk sektor pendidikan, sampai ke kampung dan pelosok di daerah
terluar sekalipun.
Jadi
apalagi yang ditunggu? Beberapa pendidikan formal sampai tingkat yang
tertinggi boleh dipertahankan (tentu harus ada yang menghasilkan peneliti,
doktor, dokter, lawyer atau profesional lainnya dan profesor) dan belajar
tingkat calistung (baca, tulis, hitung) boleh diwajibkan terus untuk mencegah
buta huruf dan memungkinkan orang untuk memakai internet.
Selebihnya
biarkan orang belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat
masing-masing. Mau belajar kuliner, treking, PR, marketing , musik, bahkan
jadi selebritas agar bisa masuk infotainment, silakan pilih sendiri. Tapi
awas : orang belajar merakit bom juga bisa dari internet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar