Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan
Daulat Rakyat
pada Era Digital
Amir Sodikin ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 15 Desember 2014
TAHUN
2014 menjadi titik balik pemanfaatan internet, dari yang semula lebih banyak
dipakai untuk hiburan dan bisnis hingga menjadi salah satu alat perjuangan
politik. Teknologi informasi telah menemukan jati dirinya sebagai kawan
seiring dalam mewujudkan transparansi dan menjaga demokrasi.
Sebagian
toa atau pelantang suara para pengunjuk rasa, pada tahun 2014, telah diganti
dengan teks dan visual yang dikampanyekan di media sosial. Awalnya, banyak
orang menyangsikan media sosial mampu mendorong perubahan sosial Indonesia.
Namun, prediksi tersebut ternyata meleset.
Deputi
Direktur Public Virtue Institute (PVI) John Muhammad mencatat, sepanjang
tahun 2014, setidaknya ada 34 platform atau situs web yang digunakan untuk
kepentingan demokrasi dan sekitar 30 aplikasi terkait pemilu. ”Total ada 64
website,” katanya.
Munculnya
situs web pengawal suara pemilu, seperti situs kawalpemilu.org, berikut
dampak yang ditimbulkannya menjadi salah satu fenomena menarik terkait dengan
teknologi informasi (TI) pada 2014.
Kampanye
di media sosial juga menjadi fenomena tersendiri. Sepanjang tahun ini, banyak
tagar politik jadi topik pembicaraan di Twitter, di antaranya #ShameOnYouSBY,
#Jokowi9Juli, #AkhirnyaMilihJokowi, #GagalGolput, dan tema-tema terkait
dengan debat calon presiden.
Dari
segi pendayagunaan media sosial, fenomena itu menakjubkan. ”Dari sisi
infrastruktur internet, Indonesia berada di urutan bawah dibandingkan negara
lain. Namun, produktivitas kita luar biasa, bahkan paling berisik di dunia,”
kata John.
Semangat
itu, jika tidak dijaga, akan berbuah negatif. Alasannya, dengan teknik yang
sama, sangat mungkin ada orang yang merekayasa media sosial untuk kepentingan
pribadi, misalnya untuk mempromosikan orang.
”Netizen
akan berhadapan dengan derasnya arus informasi, tetapi kebenaran dan faktanya
harus diteliti ulang. Pesan untuk tahun 2015, kecerdasan digital makin
dibutuhkan. Memilih fakta dan informasi itu wajib. Netizen harus punya
keterampilan kritis,” kata John.
Netizen
yang tidak kritis bisa ditelan informasi, bahkan diproses hukum karena kesalahan
sepele. Pada 2014, banyak kasus kriminalisasi percakapan di media sosial
dengan mengatasnamakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
TI untuk transparansi
Pemilu
Presiden 2014 telah menjadikan Indonesia negara demokrasi nomor satu di dunia
dalam hal jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam
satu waktu yang serentak, yakni mencapai 134 juta orang.
Pengalaman
demokrasi ini mendorong muncul fenomena baru. Para programmer bahu-membahu
membangun berbagai aplikasi, mulai dari se-
kadar
untuk berbagi informasi seputar pemilu hingga untuk mengawal kemurnian suara
rakyat yang disampaikan di bilik suara.
Semangat
dan gairah para programmer itu ikut dipicu oleh kebijakan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang menganut sistem open data atau data terbuka. KPU, misalnya,
membuka data perolehan suara dari setiap TPS secara daring.
Komisioner
KPU, Juri Ardiantoro, mengatakan, keterbukaan data itu dilakukan karena salah
satu agenda besar penyelenggara pemilu adalah bagaimana mendorong partisipasi
dan keterbukaan. ”Ketika KPU menutup informasi, masyarakat akan curiga dan
tak bisa mengawal pemilu,” kata Juri.
Buah
dari keterbukaan KPU itu antara lain memunculkan situs kawalpemilu.org yang
dibangun Ainun Nadjib dan kawan- kawan. Aplikasi ini memanfaatkan formulir
rekapitulasi tingkat TPS atau C1 yang diunggah di situs we
pilpres2014.kpu.go.id.
Langkah
Ainun Nadjib dan kawan-kawannya, yang menyediakan cara untuk memonitor
perolehan suara pemilu itu, banyak berperan dalam meredakan ketegangan
horizontal dan kesimpangsiuran politik yang diakibatkan oleh sistem
rekapitulasi suara berjenjang memakan waktu lama.
Mengadopsi TI
Joko
Widodo adalah presiden yang lahir dari fenomena gerakan digital. Oleh karena
itu, tidak aneh jika salah satu gagasannya adalah memanfaatkan TI untuk
mengganti blusukan, kegiatan turun ke masyarakat yang selama ini sering
dilakukannya.
Netizen
menyambut antusias langkah Jokowi memanfaatkan TI untuk blusukan, yang
kemudian muncul dengan istilah e-blusukan. Namun, juga ada kesadaran, hal itu
bisa hanya sekadar pemanis bibir jika tidak ditindaklanjuti.
Eryanto
Nugroho dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan mengingatkan, jika ide
memfasilitasi berbagai kanal aspirasi dalam e-blusukan tidak disertai jaminan
akan ditindaklanjuti pejabat publik, gagasan itu akan sia-sia. ”Pemerintah
harus menjamin hak-hak warga dan memastikan para pemegang kebijakan yang
dipetisi wajib menanggapinya,” katanya.
Hak
petisi sudah diakui dalam Piagam Magna Charta, yang disebut The Right to
Petition. ”Indonesia tidak asing dengan hak ini karena pernah ada di UUD
Republik Indonesia Serikat dan juga di UUD Sementara,” tutur Eryanto.
Dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, hak petisi tertuang dalam Pasal 28 yang
mengatur kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Hak
petisi kembali tercantum di Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam
Pasal 44 UU No 39/1999 itu dinyatakan, setiap orang berhak mengajukan
pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam
rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik
dengan lisan maupun dengan tulisan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
”Agar
antusiasme rakyat mengawal pemerintahan terus berkembang, dibutuhkan komitmen
pemerintah Jokowi untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999,” kata Eryanto.
Resa
Temaputra dari Public Virtue Institute
menuturkan, e-blusukan yang ideal
adalah milik Pemerintah Korea Selatan yang mereka sebut sebagai e-people. Di Inggris, mereka memiliki
mekanisme merespons petisi dengan mengumpulkan 100.000 tanda tangan agar bisa
dibahas di parlemen.
Di
Amerika Serikat, sistem kanal digital ”We
The People’” mewajibkan petisi harus meraup sedikitnya 150 tanda tangan
sampai dengan 30 hari jika ingin ditampilkan pengelola. Dengan batas waktu
yang sama, untuk mendapatkan respons presiden, petisi harus ditandatangani
sedikitnya 100.000 orang.
Dengan
sistem yang jelas, hak warga dalam menyampaikan keluhan bisa dilakukan secara
serius dan bukan sekadar berteriak di jalanan. Inilah yang disebut mengubah
noise menjadi voice pada era
demokrasi digital.
Para
aktivis digital meyakini, kekuatan voice
dari rakyat ini berlipat dahsyatnya dibandingkan dengan suara parlemen.
Keluhan di kanal-kanal digital harus dikelola dengan baik agar noise itu menjadi voice. Jika potensi tersebut difasilitasi, daulat rakyat bisa
direngkuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar