Mari
Berkeringat untuk Mufakat
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 November 2014
ACAP kali saya tertegun seusai
mendengar atau ngobrol baik dengan pemimpin organisasi, pejabat negara,
intelektual ternama, hingga teman-teman seniman atau saudara-saudara tukang
ojek-sopir taksi yang ngopi di warung-warung amigos (agak minggir got
sedikit). Ketertegunan yang bersilih katup dengan rasa kagum; mengapa mereka
tidak saja tetap bertahan hidup, tapi juga masih ringan tersenyum bahkan
tertawa bahak saat menonton `pertunjukan' di gedung parlemen via televisi. Sementara
itu, dengan tone yang hampir sama, semua kelompok manusia itu tidak letih
membicarakan ketidakpuasan, kemarahan, hingga keputusasaan menghadapi
realitas yang mau tak mau harus mereka jalani.
Dengan klise-klisenya yang khas,
mereka semua (baca: kita bersama) mengekspresikan dunia batin dan pikiran
masingmasing tentang kacau dan bahkan lenyapnya standar, acuanacuan juga
orientasi--ideologis, primordial, religus, dll--yang secara tradisional
menjaga, menciptakan keseimbangan, hingga meluruskan tujuan mereka hidup
dalam kenyataan kontemporer zaman ini.
Analisis pun bertimbun dan
bertumpang-tindih--dengan cara berpikir yang tidak hanya rasional `akademik',
tapi juga spekulatif, mistik, bahkan klenik--menciptakan semacam argumen yang
menunjukkan absurditas hidup, kegelapan masa depan dan ilusi hingga obsesi
tentang keagungan dan kejayaan yang `terbayangkan' (imagined) ada di masa lalu atau masa depan. Sebuah kenyataan
mental yang jujur saja harus diakui tidak merepresentasi dinamika yang kuat,
konstruktif apalagi progresif, tetapi cenderung mewakili involusi yang kian
akut.
Saya kurang berani mengonstatasi
daya hidup bangsa ini dalam menjalani absurditas di atas ialah akibat
pelarian diri mereka ke dunia yang ilusif, obsesif, atau `bayangan' mistik
tentang kejayaan nenek moyang atau anak cucu nanti. Namun, dari kenyataan itu
alasan pun muncul dalam frasa klasik yang didasarkan pada faith, bahwa hidup
tetap harus dipertahankan karena `hidup itu (ternyata) indah', `masih ada
(setitik) harapan', `Tuhan (tentu) punya maksud tersendiri'.
Dengan kelemahan bathin yang
ada, saya merasa tidak nyaman dengan argumentasi tak-terverifikasi itu. Saya
lebih berani menyatakan realitas yang tampaknya absurdik itu bukanlah sesuatu
yang terjadi begitu saja, taken for granted, melainkan situasi yang
dikondisikan, kenyataan yang terdesain. Sekurangnya dijerumuskan dalam
situasi yang mengarah ke kepentingan tertentu. Kepentingan yang belakangan
secara global telah disadari mayoritas masyarakat kritis, berhulu pada
sekelompok (sangat) kecil titan-ekonomik yang dalam tingkat tertentu menjadi
dapat tiran. Tingkat ia tidak memedulikan apa pun, bahkan manusia dan
kemanusiaannya, demi memenuhi libido kekuasaannya untuk menjadi kompetitor
Tuhan.
Sandiwara politik
Tentu saja konstatasi itu bukan
sebuah bualan. Hal itu dinyatakan banyak kalangan kompeten, dari pemenang
Hadiah Nobel Ekonomi hingga Direktur Pelaksana IMF. Sebuah realitas
tersembunyi (dalam layer-layer simbolis) yang muncul dalam imajinasi kalangan
awam sebagai fiksi-ilmiah, dongeng-dongeng pascamodern yang berfungsi sebagai
`katup-pelepas' ban yang terlalu pepat oleh angin keputusasaan.
Dengan menyadari diri yang juga
memiliki kelemahan manusia jelata, saya harus berterus terang juga mengalami
satu tingkat frustrasi saat memahami posisi kita yang berada di layer pembuka
sebenarnya sama sekali tak berdaya. Bahkan sekadar untuk campur tangan pada
sandiwara politik elite belakangan ini, antara koalisi ini dan itu dalam
parlemen misalnya, kita seperti budak yang terbelenggu oleh invaliditas
intelektual hingga moral. Pasrah bungkukan menjadi penonton sandiwara itu di
televisi gratis, tapi harus membayar mahal dampak yang diakibatkannya.
Frustrasi itu menguat ketika
kita berusaha dengan keras menggunakan arsenal politik, ekonomi, sains,
agama, tetap saja gagal menemukan jalan keluar dari situasi (hidup) yang
represif itu. Keadaan yang mendorong saya untuk melakukan sebuah upaya tanpa
arah, sebagaimana dilakukan para petualang primitif, rohaniwan bebas, sufi
pengembara atau pendekar turun gunung, dengan berjalan...berjalan tiada
henti, tiada tujuan, dan (hampir) tiada harapan.
Hingga kemudian pengalaman di
tiap depa perjalanan, varian berbagai adat yang mengajarkan, kesadaran dari
langit-langit di tiap bumi terpijak, memberi saya oksigen pengetahuan yang
memenuhi paru-paru kehidupan bahwa hidup manusia dan dinamika ke manusiaan di
negeri ini akan tetap bertahan bukan karena jumlah cadangan emas atau besaran
GDP, bukan karena teknologi bungker yang menyelamatkan para elite dari
bencana dahsyat masa depan, juga bukan karena jumlah kepala nuklir yang
dimiliki apalagi kecanggihan dari kelicikan diplomasi intelijen, melainkan
lantaran bumi-bumi itu tetap kuat dipijak karena langit dijunjung sebuah
kekuatan yang dibangun dalam periode milenium, yang lebih tua daripada
politik, bahkan perda gangan, namanya: kebudayaan.
Saya sangat mafhum, perhitungan
kuat (bukan keyakinan) atas daya kerja dan potensi dari kebudayaan itu pun
sebenarnya telah menjadi rapuh. Karena serbuan-serbuan mematikan dari
kekuatan titanik-global di atas, membuat kebudayaan mengalami semacam
sakratulmaut justru akibat potensinya yang memiliki daya dobrak sangat tinggi
pada kuasa para titan di atas. Kebudayaan perlu diasasi nasi, hingga ke
tingkatan sistemis, karena ia dapat menjadi pertahanan terkukuh dari sebuah
bangsa dalam menegakkan eksistensi dan kuasa atas dirinya sendiri.
Karena itu, sebagai orang yang
sejak remaja sudah menyedekahkan hidupnya dalam kerja-kerja kebudayaan, saya
merasa terhormat untuk menjadi kuncen dari makam tempat kebudayaan terkubur
dengan sisa napas di ujung jarinya. Menjadi penjaga yang akan memaksa pihak mana
pun yang masih bernafsu besar untuk memastikan kematian kebudayaan, untuk
melangkahi lebih dulu tulangtulang tuanya yang letih agar dapat melaksanakan
kejahatan peradaban itu.
Bermusyawarah
Saya kira, untuk itulah saya
dengan rendah hati mengajak saudara-saudara saya, para pekerja sekaligus
kuncen kebudayaan negeri ini, berkumpul untuk bermusyawarah. Tidak hanya
menyinergikan tulang-tulang pertahanan itu, tapi bila mungkin dengan kekuatan
batin dan intelektualnya memufakatkan semacam terapi yang mampu mengembang
kan paru-paru kebudayaan yang kian ciut itu. Mengajak teman-teman para
pemangku negeri ini untuk berkeringat, tidak sekadar fisis, tapi juga in
telektual dan mental-spiritual, untuk membuktikan pada para penjahat
kebudayaan, bahwa sejarah adat dan tradisi kita (anasir-anasir pembentuk
kebudayaan) mampu memproduksi hikmah (yang) bijaksana untuk tercapainya
mufakat tentang kebudayaan seperti apa yang sebenarnya realistis menjadi
fondasi dari berdirinya sebuah bangsa, sebuah negeri, sebuah negara.
Kita boleh merasa malu bila
warisan para pendiri bangsa yang kita nikmati dalam bentuk kemajuan hidup
(walaupun sudah terkorupsi 85% dari nilai intrinsiknya) saat ini tidak
berhasil membuahkan pula sebuah warisan berharga bagi generasi pelanjut kita;
warisan yang tak lekang oleh waktu dan ruang: gagasan. Warisan itu, pertama,
bukan hanya menjadi penyeimbang dari warisan material kita (bangunan, alam,
dan sistem) yang ternyata bukan saja rapuh, melainkan juga telah menjadi
limbah, tapi juga, kedua, karena ia adalah satu-satunya kapasitas yang bisa
diandalkan untuk menang ketika di hampir semua sektor (ekonomi, ilmu,
politik, milter, dsb) kita hanya menjadi pecundang berhadapan dengan gergasi
rakus di sekitar kehidupan global kita.
Akhirnya ketiga, warisan mufakat
ini dapat menjadi bukti kebudayaan yang ditanak dengan waktu yang panjang ini
memiliki kemampuan operasional yang tinggi, setidaknya menegasi apa yang
terjadi dalam `kultur' politik kita yang begitu mudahnya menyerah pada voting
ketika mereka gagal mengambil hikmah kebijaksanaan dari sebuah musyawarah. Kemampuan
operasional yang mudah-mudahan dapat dipergunakan sebagai jalan setapak
anak-cucu kita dalam membabad alas masa depan yang kian primitif dengan hukum
rimbanya yang kian kasar dan represif.
Betapa pun kita melakukannya
dalam ruangan dingin artifisial, kursi dan kasur yang empuk serta buffet yang
cukup berkelas, ketimbang apa yang didapat para pendiri bangsa kala dahulu,
kita tetap bisa dan selayaknya berani berkeringat untuk tujuan yang secara
subjektif boleh kita anggap mulia di atas. Berkeringatlah kita untuk mufakat dalam kebudayaan, untuk kebudayaan
dalam mufakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar