Gerontokrasi
Toto Subandriyo ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 01 Desember 2014
Suku
Nuer, suku yang cukup berpengaruh di Sudan, memiliki satu tradisi "Rites
de Passage" yang selalu dipegang teguh. Istilah dari bahasa Prancis ini
berarti "peristiwa penting dalam masa transisi dari kehidupan
seseorang". Dalam dimensi kehidupan yang lebih luas, "Rites de
Passage" menunjukkan proses susul-menyusul generasi, termasuk regenerasi
kepemimpinan.
Istilah
"Rites de Passage" tersebut menjadi sangat relevan jika kita
sandingkan dengan kondisi bangsa kita saat ini. Meski reformasi telah
berjalan lebih dari 16 tahun, kaderisasi kepemimpinan sekarang nyaris setali
tiga uang dengan rezim Orde Baru. Para elite politik sepuh negeri ini tidak
legowo menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada generasi yang lebih muda,
seperti yang dipertontonkan secara vulgar oleh para politikus Partai Golkar.
Secara
kasatmata, fenomena gerontokrasi tampak menonjol. Gerontokrasi adalah istilah
yang menggambarkan bahwa panggung politik didominasi politikus sepuh.
Gerontokrasi ini telah membuat organisasi politik kita bak octopus yang
berjalan lamban, cenderung stagnan karena tak ada ide-ide pembaruan yang
brilian.
Kondisi
ini sepertinya mengiyakan kebenaran tesis Valvac Havel (1993), yang
menyatakan bahwa keberhasilan gerakan pro-demokrasi menumbangkan rezim
totaliter tidak selalu berarti jalan mulus bagi suatu rekonstruksi
sosial-politik pada masa sesudahnya. Kondisi masyarakat pasca-revolusi selalu
dipenuhi kontradiksi, ironi, dan permasalahan yang tidak terbayangkan
sebelumnya: konflik etnis, agama, faksi politik, tumbuhnya populisme
berlebihan, dan lain-lain. Semua itu representasi dari rasa frustrasi yang
berkepanjangan.
Paling tidak,
ada empat alasan mengapa pemuda perlu segera diberi peran lebih dalam format
kepemimpinan nasional saat ini. Pertama, di hampir semua negara, kelompok
pemuda menempati jumlah mayoritas. Abad ke-21 adalah abad kaum muda, peran
kaum muda dalam perubahan dunia saat ini dan ke depan akan semakin besar
dibanding kaum tua, demikian ditulis Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam
bukunya yang berjudul Our Time is Now:
Young People Changing the World.
Kedua,
pemuda berada pada saat idealisme di titik puncak, dan ini potensi untuk
perubahan besar. Ketiga, pemuda selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di
mana pun. Dalam kompetisi global saat ini, semua dituntut memiliki kesegaran
energi, pemikiran, dan kreativitas yang tinggi.
Keempat,
para pemuda tidak memiliki beban sejarah, konflik, dan trauma masa lalu,
sehingga langkahnya masih tegap tanpa diliputi rasa kebimbangan. Pemimpin
nasional yang kita dambakan saat ini adalah sosok yang bermoral luhur,
berani, tegas, mempunyai vitalitas tinggi, berinteligensi di atas rata-rata,
bahkan superior. Inilah karakter kaum muda.
Bukan
rahasia lagi, Ir Sukarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, Sutan Sjahrir
menjadi perdana menteri ketika umurnya baru 38 tahun, Roosevelt menjadi
Presiden Amerika pada umur 42 tahun.
Saatnya karpet merah dibentangkan bagi kepemimpinan pemuda. Mereka
harus diberi panggung untuk bisa tampil memimpin bangsa. Momentum tidak akan
datang dua kali. Sekali momentum disia-siakan, tak ada lagi catatan emas
dalam lembar sejarah. Alih-alih menjadi pemimpin dalam konotasi sebenarnya,
yang kita dapatkan mungkin hanyalah seorang pemimpin minus huruf
"n" alias pemimpi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar