Mengapa
Perpres Baru Wamen Digugat?
Mohammad Novrizal Bahar ; Dosen FHUI, Kandidat Doktor pada Institute of Constitutional
and Administrative Law, Faculty of Law, Economics and Governance, Universiteit
Utrecht, The Netherlands
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 14 Juni 2012
BELUM
lagi bekerja, keberadaan para wakil menteri (wamen) kembali digugat.
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) kembali menyatakan akan menggugat eksistensi para wamen dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pascapemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2012, yang mengukuhkan kembali keberadaan para wamen. Gugatan akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) kembali menyatakan akan menggugat eksistensi para wamen dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pascapemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2012, yang mengukuhkan kembali keberadaan para wamen. Gugatan akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Buat
sebagian masyarakat, memang lelah rasanya menyaksikan apa yang dilakukan GNPK.
Ada satu pertanyaan pembaca yang menggelitik hati saya, yang sempat muncul di
situs mediaindonesia.com, Minggu (10/6) malam, dalam menanggapi berita tentang
rencana gugatan GNPK terhadap perpres yang baru. Sang pembaca berkomentar,
“Mengapa mesti digugat lagi sih? Apa tidak ada kerjaan lain?” Dalam tulisan
ini, walaupun tak punya kaitan langsung dengan niat GNPK, saya ingin memberikan
tanggapan atas pertanyaan yang terlihat sederhana tadi. Perpres baru ini perlu
dikoreksi karena dua alasan.
Pertama
dari sudut pandang efisiensi. Menurut data yang dimiliki GNPK, dalam kurun
waktu tiga tahun, 20 orang wamen bisa menghabiskan APBN sebesar Rp1,84 triliun.
Siapa yang tak terperanjat mendengar angka yang disampaikan Minggu (10/6) pagi
lewat laporan Metro this Week di
Metro TV. GNPK rupanya tak puas melihat perincian pekerjaan wamen yang begitu
luas, yang seharusnya hanya melakukan hal-hal yang benar-benar khusus pada
kementerian tertentu saja, sehingga jumlahnya tidak perlu terlalu banyak. Saat
ini ada 18 wamen dari 34 kementerian yang ada dalam kabinet.
Hal
itu pun telah saya singgung dalam tulisan terdahulu (Media Indonesia, 8/6) agar
Presiden mengambil sikap yang dapat meredam polemik berkepanjangan, yaitu
dengan mengurangi jumlah wakil menteri. Tujuannya tentu demi eļ¬siensi.
Pasal
3 Perpres No 60 Tahun 2012 menyebutkan tugas wamen ialah: a) membantu menteri
dalam proses pengambilan keputusan kementerian; b) membantu menteri dalam
melaksanakan program kerja dan kontrak kerja; c) memberikan rekomendasi dan
pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi
kementerian; d) melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan
fungsi kementerian; dan e) membantu menteri dalam penilaian dan penetapan
pengisian jabatan di lingkung an kementerian.
Dengan
cakupan tugas yang demikian luas, berarti wamen tidak hanya menangani tugas
tertentu. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 UU No 38 Tahun 2009
tentang Kementerian Negara yang menyatakan, ‘Dalam hal terdapat beban kerja
yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil
menteri pada kementrian tertentu’.
Oleh
karena itu, perpres sebagai peraturan pelaksana dan merupakan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah daripada undang-undang perlu dikoreksi.
Dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita, koreksi itu dapat dilakukan di
MA melalui upaya hukum yang dikenal sebagai judicial
review. Upaya hukum itu pun masih bisa berlanjut di pengadilan tata usaha
negara (PTUN) bila dari perpres ini lahir keputusan presiden yang isinya berupa
penetapan terhadap pengangkatan para wamen yang berakibat merugikan pihak-pihak
tertentu.
Kedua,
upaya koreksi terhadap perpres yang baru perlu dilakukan demi alasan pendidikan
bagi masyarakat akan ilmu dan kesadaran hukum.
Pembelajaran Berharga
Dengan
diajukannya gugatan terhadap perpres tersebut ke lembaga peradilan, secara tak
langsung kita telah mendidik masyarakat untuk melakukan koreksi kepada
pemerintah melalui cara-cara yang benar dan ilmiah, bukan dengan cara-cara yang
anarkistis.
Pranata
judicial review merupakan salah satu
sarana yang disediakan melalui prinsip demokrasi yang dianut negara kita.
Apalagi dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum. Dengan demikian, bila terdapat ketidakpuasan terhadap
penyelenggara negara dan hasil perbuatannya, tentunya kita harus mencari solusi
dengan berdasarkan hukum, dalam hal ini lewat penegakan peraturan
perundang-undangan.
Sebagai
seorang pengajar di fakultas yang mengajarkan ilmu tentang perundang-undangan,
saya bisa mengerti mengapa gugatan terhadap perpres wamen dilakukan. Sebab,
itulah cara yang aman untuk melakukan koreksi dan bersifat mendidik. Mungkin
sang pembaca tadi berpendapat, mengapa GNPK tidak memberikan koreksi langsung
kepada Presiden, melalui surat pribadi, misalnya. Cara seperti itu juga baik
tentunya, tetapi surat koreksi itu tetap harus diumumkan kepada masyarakat
sebagai upaya pendidikan, agar masyarakat mengerti mengapa perpres itu harus
diubah.
Namun,
bagi GNPK tentunya tidak ada jaminan bahwa Presiden akan melakukan perubahan,
karena saran GNPK itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Di situlah
letak permasalahannya, mengapa upaya koreksi kemudian dilakukan lewat lembaga
peradilan. Kepada sang pembaca tadi, mudah-mudahan kini mengerti mengapa
gugatan itu diajukan. Kalau tidak ada upaya koreksi, artinya kita membiarkan
pemerintah dalam kesalahan. Tentu saja kita tidak mau pengalaman buruk di masa
dictatorship Orde Baru terulang kembali, di kala pemerintah dibiarkan melakukan
kesalahan dalam penegakan peraturan perundang-undangan.
Sebagai
catatan terakhir, yang perlu diketahui masyarakat ialah bahwa ketentuan Pasal
10 UU Kementerian Negara itu memang tidak dilarang dalam ilmu
perundangundangan. Pertama dari segi konstitusionalitas, tidaklah masalah bila
ada hal yang tidak disebutkan dalam konstitusi kemudian diatur dalam undang-undang,
tapi tetap konstitusional. Hal itu tentu dimungkinkan sepanjang norma yang
diatur dalam undang-undang itu tidak melawan atau bertentangan dengan isi
konstitusi. Konstitusi tidak mungkin mengatur semua hal dalam pengelolaan
negara.
Sebagai
contoh, peraturan mengenai wakil kepala daerah dan pemerintahan desa dalam
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga tidak
disebutkan dalam UUD 1945. Kedua, dari urutannya terlihat ia adalah
pengecualian dari ketentuan sebelumnya, yaitu Pasal 9 yang mengatur susunan
organisasi kementerian. Pasal tersebut mengatur bahwa di bawah menteri tidak
ada jabatan wakil menteri, tetapi menteri langsung dibantu oleh sekretariat
jenderal, inspektorat jenderal, direktorat jenderal, badan dan/atau pusat, dan
pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri.
Walaupun
tidak disebutkan dalam Pasal 9, dalam hal ini jabatan wakil menteri boleh
diadakan atas dasar prinsip lex specialis
derogat legi generali (aturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan
aturan yang bersifat umum). Dengan demikian, rasanya tak perlu kita perdebatkan
lagi konstitusionalitas ataupun legalitas jabatan wamen. Masyarakat hanya
berharap Presiden dapat mengelola kabinetnya dengan seefisien mungkin, agar tak
terlalu banyak memboroskan uang rakyat. Kita sedang prihatin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar