Dana
Alokasi Desa
Razali Ritonga ; Direktur
Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Pemberlakuan otonomi daerah antara lain
dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan pembangunan antardaerah, terutama antarprovinsi
dan kabupaten/kota, di Tanah Air.
Namun, pendelegasian wewenang ke daerah itu
belum mampu mewujudkan pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan.
Secara faktual, pembangunan masih bias ke perkotaan, sedangkan wilayah pedesaan
tertinggal.
Tertinggalnya pedesaan antara lain
termanifestasi dari angka kemiskinannya yang jauh lebih tinggi dibanding di
perkotaan. Pada Maret 2011, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 15,72
persen, sementara di perkotaan sebesar 9,23 persen (BPS, 2011).
Salah satu konsekuensi dari tertinggalnya
kesejahteraan masyarakat desa adalah urbanisasi, yang mayoritas merupakan
perpindahan kemiskinan ke perkotaan. Penduduk kota kian padat. Selama tiga
dasawarsa terakhir, persentase penduduk kota meningkat dari 17,29 persen (1970)
menjadi 49,79 persen (2010).
Maka, untuk mengatasi ketertinggalan
pedesaan, pemerintah berupaya mengajukan RUU Desa guna ditetapkan menjadi UU
Desa. Setidaknya ada dua misi yang ingin diwujudkan dari RUU Desa. Pertama,
melestarikan adat-istiadat. Kedua, memajukan ekonomi pedesaan melalui
pembentukan pemerintahan desa.
Untuk memajukan ekonomi desa, pemerintah
berencana mengalokasikan dana 5 persen dari APBN untuk membiayai kegiatan
pembangunan desa. Jika dana itu dialokasikan pada 2012, maka setiap desa
rata-rata akan menerima sekitar Rp 922 juta. Diketahui, APBN 2012 sebesar Rp
1.439 triliun dan jumlah desa diperkirakan 78.000.
Namun, realisasi dana alokasi suatu desa bisa
berada di rata-rata, lebih besar dari rata-rata, atau lebih kecil dari
rata-rata dana alokasi desa (DAD). Besarnya DAD bergantung pada kondisi desa
dan pengalokasian yang digunakan. Dalam RUU Desa tidak dijelaskan bagaimana
pemerintah menetapkan pengalokasian DAD. Padahal, alokasi dana kerap memunculkan
kekisruhan, terutama dalam soal keadilan pendistribusian dana.
Jika pengalokasian mengikuti perumusan dana
alokasi umum (DAU), kendalanya adalah soal ketersediaan data. Untuk DAU,
ketersediaan data pada level provinsi dan kabupaten/kota, yang umumnya bisa
dipenuhi. Namun, tidak demikian untuk DAD karena level ketersediaan data adalah
desa. Adapun pengalokasian DAU terdiri atas lima faktor: jumlah penduduk, luas
wilayah, produk domestik regional bruto (PDRB), indeks pembangunan manusia
(IPM), dan indeks kemahalan konstruksi (IKK).
Sebenarnya, pemenuhan data penduduk desa bisa
disiapkan dengan melakukan registrasi penduduk secara baik dan benar. Hal ini
amat bergantung pada institusi penyelenggara registrasi penduduk, yang dalam
hal ini berada di bawah institusi Direktorat Jenderal Administrasi
Kependudukan.
Ketersediaan data registrasi penduduk akan
memudahkan penghitungan angka umur harapan hidup sebagai salah satu dimensi
IPM. Sementara pemenuhan data dua dimensi lainnya dari IPM, pendidikan dan daya
beli, pemerintah perlu melakukan survei khusus, yaitu survei sosial ekonomi
daerah (suseda) sebagai perluasan dari susenas.
Metode Pengalokasian
Namun, untuk menyelenggarakan suseda
diperlukan biaya besar. Hal sama terjadi pada penyediaan data untuk penghitungan
PDRB dan IKK. Maka, dengan mempertimbangkan faktor kesulitan itu, untuk
pengalokasian DAD perlu dicari metode lain.
Salah satu metode yang bisa digunakan adalah
sejumlah indikator yang bersesuaian dengan keberadaan data potensi desa
(podes), yang memuat berbagai jenis data mengenai desa. Jika podes memang akan
digunakan, maka pendataan podes perlu dilakukan setiap tahun. Sebab, pendataan
podes selama ini dilakukan tiga tahun sekali mengikuti sensus penduduk, sensus
pertanian, dan sensus ekonomi.
Meski penetapan DAD dapat dilakukan, hal itu
belum menjamin seluruh wilayah di suatu desa akan tersentuh pembangunan
pedesaan. Terutama daerah terpencil, terisolasi, dan pedalaman, serta daerah
terluar dan daerah perbatasan.
Keberadaan daerah terpencil dan perbatasan
tampaknya belum secara spesifik dijelaskan dalam RUU Desa. Mencermati
syarat-syarat yang diajukan RUU Desa untuk pembentukan suatu desa, maka daerah
terpencil dan perbatasan cukup sulit untuk menjadi pemerintahan desa
tersendiri. Hambatan utamanya adalah soal jumlah penduduk.
Daerah terpencil dan perbatasan umumnya
berpenduduk jarang, tetapi menyebar secara berkelompok. Untuk jadi sebuah desa,
dalam RUU Desa ditetapkan persyaratan: untuk Jawa-Bali paling sedikit 1.500
jiwa atau 300 keluarga, Sumatera dan Sulawesi sedikitnya 1.000 jiwa atau 200
keluarga, Kalimantan, NTB, NTT 375 jiwa atau 75 keluarga, serta Maluku dan
Papua sedikitnya 200 jiwa atau 50 keluarga.
Jika penduduk daerah terpencil dan perbatasan
itu digabung dengan daerah lain agar memenuhi syarat jadi sebuah pemerintahan
desa, hal itu akan terkendala dalam soal adat-istiadat, komunikasi,
transportasi, dan koordinasi pembangunan desa.
Tampaknya, dalam kaitan ini pemerintah perlu
melakukan pendekatan khusus untuk melakukan pembangunan di daerah terpencil dan
perbatasan. Maka, atas dasar itu, pembahasan RUU Desa—yang kini sedang digodok
di DPR—perlu dilakukan secermat mungkin sebelum ditetapkan menjadi
undang-undang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar