Menyimak
Lika-liku Jakarta,
Megapolis
Ibu Kota Negara
Bagus
Takwin dan Niniek L Kariem ; Pengajar
di Fakultas Psikologi UI
Sumber :
KOMPAS, 24 Juni 2012
”Memikirkan
kota adalah menyadari aspek konfliktualnya: batasan dan kemungkinan, kedamaian
dan kekerasan, pertemuan dan kesendirian, kebersamaan dan perpisahan, yang
enteng dan puitis, fungsionalisme brutal dan improvisasi mengejutkan”.
Pernyataan Henri Lefebvre ini bisa digunakan
untuk mendekati Jakarta, kota yang punya daya-daya bertentangan di dalamnya.
Jakarta berpotensi besar menghasilkan hal-hal baik meski secara aktual lebih
banyak masalah di sana.
Kita saksikan ada banyak masalah di situ:
macet, banjir, sampah, kepadatan penduduk, pengangguran, kesenjangan ekonomi
dan kemiskinan, tata ruang semrawut, minimnya sarana transportasi publik,
polusi, korupsi, dan lain-lain.
Namun, di kota besar yang bertahan seperti
itu pasti ada kekuatan yang bekerja. Kami coba mengidentifikasi kekuatan itu
untuk memperoleh pemahaman mengenai tuntutan yang dihadapi pemimpin Jakarta.
Kekuatan Jakarta
Sebagai megapolis, Jakarta punya sumber daya
besar. Jakarta berlimpah sumber daya dan dinamika pengetahuan. Kekuatan ini
belum tergarap baik karena berbagai kekurangan, seperti pemimpin yang tak
berintegritas, birokrasi tak efektif, dan peraturan tidak konsisten. Potensi
bisnis di Jakarta sangat tinggi dan jika dikelola dengan baik dapat
menyejahterakan warganya.
Orang dari berbagai etnis berkumpul di
Jakarta. Kota ini bisa menjadi tempat membangun keterbukaan dan toleransi.
Jakarta terbuka bagi dunia dan siap menerima temuan mutakhir meski juga rentan
terhadap pengaruh buruk.
”Di Jakarta, Tuhan menciptakan orang
Indonesia.” Ungkapan JJ Rizal saat diskusi dengan kami menyiratkan kekuatan
Jakarta sebagai tempat berkumpul orang dengan latar belakang berbeda. Potensi
perubahan perilaku dan perubahan politik ada di situ meski tentu mengandung
potensi konflik.
Di Jakarta tumbuh kesadaran pelestarian
lingkungan dan ide perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhan mereka. Sudah
terbentuk gerakan politik hijau di kota ini. Kesadaran itu tumbuh dan mulai
mengonsolidasi kekuatan.
Potensi pariwisata Jakarta tergolong besar.
Ada pantai, laut, pulau, situs budaya, sentra perbelanjaan, beragam kuliner,
dan seni. Peristiwa sejarah penting banyak terjadi di sini dan itu bisa jadi
obyek wisata menarik jika dikelola dengan baik.
Kualitas dan Masalah
Kualitas Jakarta masih rendah. Tarik-menarik
antara aspek konfliktualnya masih dimenangi oleh kekuatan yang menurunkan
kualitas wilayah ini. Kita bisa menilainya berdasarkan dimensi kualitas tempat
dari Florida (2005): diversitas, kelebihan khusus, kehidupan budaya, teknologi,
talenta, kreativitas, toleransi atau keterbukaan, serta estetika mencakup
arsitektur, taman dan warisan kota, lingkungan, dan keselamatan.
Kualitas diversitas Jakarta bisa digolongkan
rendah karena kepadatan yang melebihi batas. Jumlah penduduk sangat tinggi (9,6
juta jiwa) dibandingkan dengan luasnya (666,33 kilometer persegi). Seperti
dikemukakan Slamet JP (Kompas, 16/4), rata-rata setiap individu mendapat ruang
gerak terbatas: 8 x 8 meter. Ranah pribadi dan ruang umum bertumpuk. Pada siang
hari, Jakarta dipadati pekerja komuter dan macet adalah salah satu akibatnya.
Banyak lingkungan tempat tinggal yang tak
memadai. Kita saksikan pinggir kali, kolong jembatan, lahan sepanjang rel
kereta api, dan tempat berisiko lain menjadi tempat tinggal. Pemanfaatan ruang
pun tergolong rendah, kebanyakan didominasi aktivitas ekonomi.
Ruang untuk bermain, olahraga, belajar, dan
aktivitas lain sangat minim. Akibatnya, hampir tak ada tempat khusus yang luas
dan segar di Jakarta. Tempat olahraga dan rekreasi, restoran, serta ruang
(semi) publik kurang dan tak tersebar merata.
Kualitas budaya di Jakarta juga rendah,
padahal orang kreatif banyak tinggal di Jakarta. Tempat kegiatan seni dan
budaya yang terbuka untuk umum bisa dihitung pakai jari. Itu pun pengunjung
harus bayar mahal.
Rendahnya jumlah paten per kapita, juga
persentase hasil teknologi tingkat tinggi, mengindikasikan rendahnya kualitas
teknologi meski jika dibandingkan dengan provinsi lain, Jakarta lebih tinggi.
Padahal, ada potensi warga Jakarta bisa jadi produsen. Talenta warga Jakarta
tergolong tinggi jika dilihat dari jumlah orang dengan gelar sarjana.
Kreativitasnya rendah.
Namun, ada tanda baik dalam dinamika
pengetahuan masyarakat Jakarta. Pemanfaatan teknologi dan pemikiran
kritis-alternatif yang beredar menghasilkan penyebaran pengetahuan yang lebih
luas dan egaliter.
Dinamika itu menambah kemungkinan
dilakukannya perbandingan, munculnya banyak alternatif, peningkatan
keberagaman, dan perluasan interaksi di antara beragam sudut pandang.
Kualitas toleransi di Jakarta kini sering
dipersoalkan. Banyak tindakan tak toleran, seperti pelarangan diskusi,
penolakan terhadap pemusik asing, bentrok antarkelompok berbeda keyakinan, dan
kesulitan mendirikan rumah ibadah agama tertentu. Tak jarang intoleransi
disertai kekerasan yang memakan korban, tetapi saat bersamaan muncul gerakan
memperjuangkan pluralisme, kesetaraan, kebebasan, dan hak asasi manusia.
Kepadatan Jakarta dengan sebaran penduduk tak
beraturan membuat kekacauan tata ruang. Ada ketidaksesuaian pembangunan sarana
transportasi dengan konsep tata ruang, penggunaan lahan kosong secara ilegal,
pedagang kaki lima tersebar tak beraturan, dan mal muncul bak jamur di musim
hujan.
Hasilnya, tak ada estetika di Jakarta walau
ada usaha membuat taman. Meski warisan kota ini cukup menjanjikan, toh, masih
belum berhasil menampilkan sinar pesona karena tertutup kesemrawutan tata
ruang.
Polusi jadi masalah besar di Jakarta. Selain
banjir rutin yang menyusahkan dan mengotori Jakarta (meski sudah berkurang
luasnya tiga tahun terakhir), udara, air, dan tanah tercemar. Akibatnya, kualitas
lingkungan sangat rendah.
Keberlanjutan aset lingkungan alamiah
terancam dan kualitas lingkungan hidup memburuk. Air tanah di Jakarta makin
sedikit dan kenaikan air laut terus bertambah. Studi para ahli Belanda
memprediksi, jika tak ditangani segera, setengah Jakarta bisa tenggelam pada
2025.
Meski pada 2011 ada penurunan kejahatan 9,51
persen dibandingkan dengan 2010, tingkat kriminalitas di Jakarta tergolong
tinggi. Jakarta pun dipersepsi makin menakutkan oleh warga.
Di banyak dimensi, kualitas Jakarta rendah,
bahkan beberapa buruk. Hal ini memerlukan pemikiran dan penanganan khusus yang
sungguh-sungguh. Ditambah lagi, sebagai ibu kota negara, pengelolaan Jakarta
jadi lebih kompleks karena pemerintah pusat punya wewenang ikut mengelola.
Pertentangan kepentingan dan kebijakan antara
pemerintah pusat dan Pemprov DKI tak jarang terjadi. Saling lempar tanggung
jawab dalam mengatasi masalah yang ada memperlambat dan menurunkan kinerja.
Lobi politik pemprov terhadap pemerintah pusat membutuhkan kompetensi tersendiri.
Pemimpin buat Jakarta
Kepemimpinan transformasional dibutuhkan
Jakarta. Pemimpin Jakarta perlu punya kompetensi dapat diandalkan, integritas,
akuntabilitas, fleksibilitas, diversitas, penyelesaian masalah, interpersonal,
komunikasi, dan kerja sama. Lebih khusus lagi, diperlukan kompetensi fokus
kepada warga, yaitu kemampuan dan kepedulian untuk memenuhi kebutuhan warga
dengan cara yang memuaskan.
Gubernur DKI Jakarta harus orang yang dapat
menampilkan kepedulian terhadap pencapaian dan peningkatan hasil, penuh gairah
untuk meningkatkan penyajian layanan, dan berkomitmen terus-menerus melakukan
perbaikan. Inisiatif, kemauan untuk terus belajar, peka terhadap global, dan
berani mengambil risiko menjadi syarat bagi gubernur yang kompeten.
Mengelola Jakarta adalah pekerjaan amat
pelik. Tuntutan terhadap orang yang mau menjadi gubernur sangat tinggi. Orang
yang mau memimpin Jakarta harus punya semua kompetensi itu. Tak kalah
pentingnya, dia harus orang yang mencintai Jakarta dan warganya: orang yang mau
mengorbankan dirinya untuk yang dicintai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar