Dua
Wajah Otonomi Daerah
Susanti Agustina ; Litbang
KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 25 Juni 2012
Era otonomi daerah berlangsung lebih dari
satu dekade sejak tahun 2001. Kendati ada pengakuan publik terhadap
perkembangan fisik di sejumlah daerah, banyak hal yang dinilai masih rawan.
Selain ada kekhawatiran atas merosotnya kualitas layanan publik, merebaknya
korupsi di wilayah yang telah dimekarkan juga sangat mengkhawatirkan.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas
menunjukkan kecenderungan peningkatan kepuasan publik terhadap perbaikan dalam
pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi di daerah setelah otonomi. Terhadap
pembangunan sarana pendidikan (sekolah), misalnya, apresiasi publik bertambah
dari angka 61,8 persen (tahun 2010) menjadi 65,5 persen. Kenaikan penilaian
yang relatif sama juga disuarakan responden di bidang kesehatan (rumah sakit,
puskesmas) dan pembangunan sarana perekonomian (pasar, mal).
Tak hanya persoalan strategis, masalah
kerapian dan pengelolaan kota juga diapresiasi responden. Meski demikian,
tanggapan publik terhadap perbaikan kondisi sarana umum (jalan, jembatan)
cenderung lebih rendah, yaitu 53,8 persen responden justru menyatakan
ketidakpuasan. Masyarakat kecewa dengan kondisi jalan dan transportasi yang
tidak mengalami kemajuan berarti di daerah mereka, selain lalu lintas kota yang
makin semrawut.
Berbeda dengan penilaian publik terhadap
perkembangan kondisi infrastruktur fisik wilayah yang cenderung diapresiasi,
penilaian terhadap kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah justru
dinilai relatif mengecewakan. Salah satu yang paling dominan adalah korupsi
yang ditengarai 36,2 persen responden kian banyak dilakukan pada era otonomi.
Hanya 14 persen responden yang menilai di daerah mereka makin sedikit elite
yang korupsi.
Selain itu, soal kualitas layanan publik juga
masih meragukan. Sepertiga bagian responden menyatakan kualitas layanan publik
di daerahnya tetap buruk dan bahkan makin buruk. Setali tiga uang, perhatian
pemerintah kepada warga juga mengkhawatirkan. Lebih dari 41 persen responden
menyatakan, perhatian pemerintah di daerah mereka tetap minim, bahkan makin
minim. Masyarakat menilai pemerintah daerah (pemda) masih ”dikelilingi”
kepentingan politik ketimbang kepentingan masyarakat.
Merujuk data evaluasi kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (2011), tercatat
ada enam kabupaten yang dinilai berkinerja rendah. Selama tahun 1999-2009 pun
hanya dua daerah yang mendapatkan nilai/skor di atas 60 dari skala 1-100.
Puncak Jaya dan Paniai bahkan mendapat nilai kosong untuk indikator
kesejahteraan masyarakat, pemerintahan, dan daya saing.
Kualitas Layanan Publik
Salah satu tujuan pemekaran adalah pelayanan
kepada masyarakat menjadi makin mudah dan berkualitas. Namun, kondisi demikian
belum tercapai. Alih-alih memberikan pelayanan berkualitas, banyak aparat
pemerintahan daerah sibuk ”menyelamatkan” berbagai agenda politik partai yang
terkait dengan keuangan daerah.
Tengok saja sejumlah kasus korupsi yang
dilakukan kepala daerah atau anggota DPRD. Data terakhir menyebutkan, 200 lebih
kepala daerah, gubernur, wali kota, atau bupati diduga terlibat kasus korupsi
terkait penggunaan dana APBD.
Tak dimungkiri, pendelegasian sejumlah besar
kewenangan ke daerah menciptakan format ”raja kecil” yang berusaha menjaga
daerah kekuasaannya dari serangan pemerintah pusat. Masalahnya, dana terbesar
yang dikelola daerah tetap berasal dari pusat. Meski telah lebih 10 tahun
pelaksanaan otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah masih tetap buruk.
Keuangan daerah masih tergantung pada dana pusat.
Riset Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran menemukan, 80 persen pemda di Indonesia sangat bergantung pada dana
perimbangan. Komposisi dana yang dapat dikembangkan daerah melalui berbagai
pajak dan retribusi atau produk inovasi lain relatif habis, bahkan defisit tiap
tahun. Kondisi ini memburuk karena pemda tidak memberi porsi besar untuk
belanja publik.
Temuan berikutnya juga menunjukkan, ada 297
kabupaten/kota (separuh lebih total kabupaten/kota di Indonesia) yang memiliki
belanja pegawai di atas 50 persen alias melebihi belanja untuk pelayanan
publik. Dengan kondisi ini, sulit mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan
publik dari sejumlah besar pemda yang ada.
Otonomi Khusus Papua
Papua merupakan ironi berikutnya dari
pembangunan daerah pada era otonomi. Alih-alih memajukan dan memberdayakan
”Bumi Cenderawasih”, penggelontoran dana otonomi khusus justru ”menjerumuskan”
aparat dan publik Papua dalam karut-marut korupsi serta tuntutan pemekaran.
Tiap tahun, Papua dan Papua Barat menerima dana perimbangan triliunan rupiah.
Tahun 2012, pemerintah mengalokasikan sekitar
Rp 30 triliun untuk pembangunan Papua. Namun, kenyataannya, dana itu tak pernah
terwujud menjadi sarana dan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, dan
terminal. Sebanyak 55,3 persen responden di luar Papua menilai pembangunan
fasilitas umum pasca-pemekaran di Papua tidak memuaskan.
Kekurangcermatan kebijakan otonomi dan
pengabaian kebutuhan substansial warga asli Papua membuat wilayah ini seperti
api dalam sekam. Penggelontoran triliunan rupiah uang negara bukannya memajukan
pembangunan dan mendekatkan warga Papua dengan saudara sebangsa, tetapi
sebaliknya justru memicu isu separatisme hingga kini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar