Mao,
Negara, dan Sepak Bola
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Islam Malang
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 14 Juni 2012
KOMPETISI
sepak bola di antara negara Eropa sedang bergulir. Beberapa tim kesebelasan sudah
bertanding. Uang sekitar Rp450 triliun digunakan untuk menyangga kompetisi
tersebut--jumlah uang yang tidak sedikit untuk menahbiskan sang jawara, padahal
Eropa sedang mengalami krisis serius.
Bagaimana mungkin uang demikian besar dikeluarkan demi satu jenis olahraga bernama sepak bola?
Bagaimana mungkin uang demikian besar dikeluarkan demi satu jenis olahraga bernama sepak bola?
Tidak
ada negara peserta kompetisi Eropa yang kecewa dengan banyaknya uang yang
dikeluarkan. Pasalnya selain gelar juara yang mereka obsesikan, untuk sampai ke
putaran final mereka sudah menunjukkan kerja keras demi mewujudkan agar negara
bisa ditulis sebagai negara berprestasi atau negara yang pernah memasuki golden
era (zaman keemasan).
Bagaimana
dengan negara kita? Adakah elite berpikir seperti pemimpin negara-negara Eropa?
Atau, masih punyakah negeri ini sosok pemimpin (penguasa) yang suka berpikir
keras dan menunjukkan kinerja demi merengkuh prestasi di berbagai bidang
strategis? Bukankah elite kita hanya berkonsentrasi dan senang mempertahankan
jawara korupsi daripada menyemaikan banyak prestasi positif?
Dalam
ranah perebutan jawara Eropa atau membangun olahraga berskala nasional, seperti
sepak bola, kinerja rezim ikut menentukan. Secara tidak langsung, Mao Tse Tung
pernah berpesan, ”Dengan bedil kekuasaan bisa direbut,” yang sebenarnya ia
berkampanye bahwa kekuasaan bisa direbut dengan kekerasan atau penggunaan
senjata mematikan. Pemahaman itu pun bisa dikembangkan bahwa posisi jawara di
tingkat Eropa atau dunia pun bisa direbut asalkan ada keinginan kuat dan kerja
keras untuk mewujudkannya. Ketiadaan etos kerja keras membuat citacita besar
sekadar mimpi.
Hari-hari
buruk di bumi pertiwi belakangan ini tampaknya masih sulit digeser menjadi
episode sejarah yang menawan dan menyejukkan, apalagi yang beratmosfer
mewujudkan prestasi besar seperti berlaga di level dunia. Pasalnya, fakta
menunjukkan tak sedikit manusia di negeri ini yang gemar mengemas perbuatan
kontraproduktif, mengedepankan egoisme sektoral, meninggikan mental merasa
paling benar, dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agung dalam demokrasi,
atau cita-cita berdemokrasi dalam keagungan nilai.
Kita
hanya sibuk menyemaikan friksi atau mengedepankan organisasi berwajah egoisme
daripada memikirkan kepentingan besar. Kasus radikalisme elitis dan friksi di lingkaran
organisasi olahraga yang masih berkawan akrab di tubuh PSSI merupakan bagian
dari realitas wajah memalukan dan memilukan. Mereka menjadikan aksi tak
terpelajar dan antinasionalisme itu sebagai `bedil' untuk mematikan bibit-bibit
sumber daya olahraga (sepak bola) yang seharusnya berpotensi mengglobal dan
jadi kompetitor hebat.
Mereka
tak berkeinginan menikmati hak berekspresi dan berkreasi, menikmati
persaudaraan dalam perbedaan, dan perbedaan dalam persaudaraan dengan sesama
elemen komunitas dalam konstruksi olahraga (sepak bola). Mereka memilih jadi
`penjagal' norma-norma agung berbasis kebersatuan, kemanusiaan, dan profesio
nalisme yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati. Mereka seperti bukan
dari kelompok manusia bernalar bening. Sebaliknya, mereka justru seperti
kumpulan manusia purba atau barbar yang tidak paham regulasi moral dan fondasi
nilai keadaban dalam ‘bernegara’ (berolahraga) atau bersepak bola.
Mereka
hanya mengiblati (mempelajari) sebagian pelajaran dari Mao Tse Tung bahwa
senjata apa pun bisa dan harus digunakan untuk mewujudkan ambisi, memuaskan
nafsu, mengakselerasikan kepentingan eksklusif (seperti target-target
mengapitalisasikan pemain asing), dan menyukseskan keserakahan. Sementara
sebagian pelajaran lain, yang bertajuk kerja keras, menjaga kebersatuan, tidak bernyali
lembek, dan bersikap militan tidak mereka tunjukkan sebagai senjata ampuh.
Profil
PSSI kita, misalnya, bukan berkonsentrasi pada bagaimana membangun dan
mengembangkan bibit-bibit unggul atau talenta-talenta muda supaya semakin
bersinar dan layak jual di zona industri sepak bola modern, melainkan malah
lebih menyibukkan diri dalam pertikaian yang tak kunjung tuntas.
Bagaimana
mungkin bisa membangun dan mengembangkan atmosfer kompetisi sepak bola yang
memotivasi lahirnya banyak prestasi kalau elemen organisasi sepak bolanya masih
berfokus menghamba pada ambisi di lini `rezim' PSSI mereka, bukan pada kerja
keras dan profesionalisme.
“Bakat
yang biasa-biasa dibarengi kegigihan luar biasa akan membuat seseorang mampu
mencapai prestasi luar biasa,“ demikian kata FX Burton, yang mengingat kan
elemen strategis masyarakat supaya pantang kecil nyali dalam menunjuk kan
kinerja terbaik sehingga realitas kehidupan yang dijalani tak sampai mengidap
`kemiskinan' prestasi mencerahkan. Kegigihan, seperti kata Burton, menjadi kata
kunci yang menentukan prestasi.
Kegigihan
menjadi gambaran mental militan dan menjadikan tantangan sebagai penyemangat
menuju kesuksesan. Tanpa ada kegigihan (mujahadah),
prestasi luar biasa tak akan bisa dicapai dan obsesi besar hanya tinggal mimpi.
Dalam sepak bola pun demikian. Bukan friksi dan kongres yang membuat prestasi
besar bisa diraih, melainkan kerja keras. Kegigihan menjadi syarat utama
mempertemukan dan mewujudkan dunia ide (das
sollen) sepak bola modern menjadi dunia nyata (das sein) bernama prestasi.
Komunitas
sepak bola akan menjadi hebat serta menuai kemajuan dan pencerahannya jika
setiap segmen organisasi dan para pesepak bola punya jiwa mujahadah, yakni ada
usaha keras, kerja maksimal, sikap tidak pantang menyerah, kreativitas,
kegigihan yang terus menyala, dan selalu berusaha mewujudkan prestasi yang
lebih tinggi, bukan sekadar supaya pesepak bola diakui di level lokal dan masih
tertulis legal di catatan FIFA.
Tidak
ada kegigihan yang dikonstruksi dalam sektor kehidupan apa pun, termasuk sepak
bola, yang tak melahirkan dan mengembangkan generasi emas. Hanya dengan
kegigihan, menyalakan nalar intelektual, dan membarakan semangat berkreasi yang
dipelopori pelatih dan pengurus PSSI di tengah belantara persaingan global,
komunitas persepakbolaan kita tak akan sampai kalah dalam persaingan tajam dan
jauh dari stigma sebagai pecundang. Pasalnya, dalam dirinya selalu membara jiwa
optimisme, tak kenal putus asa, dan menyala hasrat mendekonstruksi berbagai
bentuk penyakit yang menantang atau mencoba menghancurkannya.
Selain
memahami pesan Mao Tse Tung, negara juga wajib merekonstruksi sikap politik
terhadap jagat olahraga. Selama ini negara bukan hanya ikut bersalah atas
konflik di PSSI dan semakin temaramnya sepak bola Indonesia, melainkan juga
sengaja merestui dan melanggengkan atmosfer sepak bola Indonesia tetap
karut-marut. Negara sepertinya sengaja memberikan mainan kepada publik berupa
sepak bola berpenyakitan supaya publik tidak berkonsentrasi mengamati dan
menguliti borok-boroknya yang tergolong mengerikan.
Jika
sepak bola masih tetap karut-marut, perjalanan negara atau rezim tak terganggu,
minimal tak selalu dijadikan objek koreksi dan perlawanan masyarakat. Sikap
negara terbaca sebagai organisasi terbesar yang mencoba berbagi kesalahan
melalui organisasi sepak bola supaya publik mendapatkan tambahan ‘menu’ yang
bisa dinikmati setiap saat. Terbukti, elemen rezim tidak menjadi sibuk ketika
temperatur konfl ik PSSI masih belum mereda. Negara tampaknya menciptakan PSSI
atau jagat sepak bola sebagai ‘negara kecil’ yang diberikan kepada rakyat untuk
dinikmati.
Sikap
negara itu bukannya menguntungkan bagi prospek demokratisasi dalam konstruksi
sepak bola Indonesia. Itu malah mengancam jagat olahraga secara umum. Jagat
olahraga akan diketahui dan dirasakan publik bukan sebagai dunia kaum
berprestasi, melainkan sekadar lahan untuk membenarkan dan membebaskan para
oportunis bertarung dan saling menikam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar