Strategi
Berdakwah ala sang Pencerah
Biyanto
; Dosen
IAIN Sunan Ampel
Sumber :
JAWA POS, 25 Juni 2012
SIDANG
tanwir Muhammadiyah yang dilaksanakan di Bandung usai. Din Syamsuddin dalam
sambutan pembukaan mengatakan bahwa spirit yang ingin diusung dalam sidang
tanwir adalah bekerja dan bekerja. Jika dikaitkan dengan makna kata tanwir yang
berarti pencerahan (enlightenment),
agenda tahunan Muhammadiyah ini jelas menekankan pentingnya beramal sosial yang
mencerahkan. Itu berarti sesuai dengan jati dirinya, Muhammadiyah ingin menjadi
gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar yang mencerahkan.
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah hingga kini telah menunjukkan kiprah yang membanggakan. Tetapi, harus diakui bahwa dalam tingkat tertentu kiprah dakwah Muhammadiyah belum mampu menjangkau ke semua lapisan masyarakat. Hal itu sesuai dengan penilaian Mitsuo Nakamura yang pernah menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan perkotaan (urban phenomenon). Kesimpulan itu didasarkan kepada fakta bahwa dakwah Muhammadiyah terasa mudah diterima masyarakat perkotaan, tetapi sulit menembus basis massa di pedesaan.
Meski kini dakwah Muhammadiyah telah menunjukkan hasil sebagaimana tampak dalam perkembangan jumlah ranting di desa/kelurahan, kemasan dakwah Muhammadiyah tetap membutuhkan sentuhan. Kalangan insider secara jujur juga mengakui bahwa pengemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah harus diperbaiki agar mudah diterima masyarakat. Karena itu, ada keinginan kuat untuk mengubah strategi dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Model dakwah tersebut dikenal dengan dakwah kultural. Secara diametral, dakwah kultural dapat dibandingkan dengan dakwah struktural yang menekankan aspek larangan dan ancaman berdasar ketentuan akidah, akhlak, ibadah, dan fikih.
Keinginan menerapkan pendekatan kultural dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat jelas memiliki arti penting bagi perkembangan Muhammadiyah. Sebab, dakwah Muhammadiyah selama ini dinilai kurang mengakomodasi budaya lokal. Bahkan, juru dakwah (mubalig) Muhammadiyah sering kali menghantam budaya lokal sebagai perilaku yang berbau takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dengan menggunakan pendekatan yang bercorak kultural, itu berarti adat, tradisi, dan budaya lokal harus dipelajari untuk dijadikan media berdakwah.
KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Muhammadiyah, sejatinya dapat dijadikan teladan dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal. Ahmad Dahlan digambarkan sebagai figur yang sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Jogjakarta, mengadakan salat 'idain (Idulfitri dan Iduladha) di lapangan, menyampaikan khotbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kiai. Karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai penggunaan strategi dakwah yang tepat, Muhammadiyah berkembang dengan pesat.
Seni Itu Mubah
Dakwah kultural menuntut kreativitas mubalig tatkala berhadapan dengan budaya lokal. Pada konteks itulah, mubalig Muhammadiyah perlu memiliki pemahaman yang komprehensif tentang seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan sifat keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Tuhan sehingga harus dipelihara dengan baik sesuai dengan jiwa ajaran agama. Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Ke-22 Majelis Tarjih pada 1995 telah menetapkan bahwa karya seni itu hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (berbahaya), 'isyyan (kedurhakaan), dan ba'id 'anillah (terjauhkan dari Allah). Itu berarti aktivis Muhammadiyah seharusnya tidak boleh antipati terhadap seni dan budaya.
Dakwah kultural juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretik, tradisional, dan modern sebagai sasaran berdakwah. Sebab, harus dipahami, tingkat religiusitas seseorang merupakan sebuah pergumulan yang tidak pernah selesai. Dengan demikian, setiap kelompok keberagamaan di masyarakat harus dilihat sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi pemeluk agama yang baik.
Karena itu, misi dakwah harus dikemas secara mudah dan menggembirakan. Jika model dakwah tersebut yang dikembangkan, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar, tempat berhimpun bagi berbagai aliran/mazhab keagamaan. Muhammadiyah juga berpotensi menjadi rumah yang ramah bagi kelompok abangan dan sinkretis yang selama ini kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.
Pendekatan kebudayaan jelas bertujuan menjadikan dakwah lebih lentur dan fleksibel. Untuk mencapai tujuan itu rasanya Muhammadiyah perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dengan menempatkan moto kembali kepada Alquran dan Hadis (al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah). Dalam praktiknya, moto tersebut berpotensi untuk diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal.
Kedua, masih kuatnya resistansi sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal. Bahkan, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan. Model dakwah anti-TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis, namun dapat dipandang kurang cocok untuk kalangan abangan dan sinkretis.
Ketiga, hingga kini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup untuk mengembangkan dakwah, khususnya media yang berkaitan dengan seni dan budaya. Beberapa pengamat bahkan ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan anti kebudayaan.
Karena itulah, mubalig Muhammadiyah sebagai ujung tombak dakwah harus dibekali dengan wawasan yang luas agar mampu melihat seni dan budaya dari sisi dalam (from within). ●
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah hingga kini telah menunjukkan kiprah yang membanggakan. Tetapi, harus diakui bahwa dalam tingkat tertentu kiprah dakwah Muhammadiyah belum mampu menjangkau ke semua lapisan masyarakat. Hal itu sesuai dengan penilaian Mitsuo Nakamura yang pernah menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan perkotaan (urban phenomenon). Kesimpulan itu didasarkan kepada fakta bahwa dakwah Muhammadiyah terasa mudah diterima masyarakat perkotaan, tetapi sulit menembus basis massa di pedesaan.
Meski kini dakwah Muhammadiyah telah menunjukkan hasil sebagaimana tampak dalam perkembangan jumlah ranting di desa/kelurahan, kemasan dakwah Muhammadiyah tetap membutuhkan sentuhan. Kalangan insider secara jujur juga mengakui bahwa pengemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah harus diperbaiki agar mudah diterima masyarakat. Karena itu, ada keinginan kuat untuk mengubah strategi dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Model dakwah tersebut dikenal dengan dakwah kultural. Secara diametral, dakwah kultural dapat dibandingkan dengan dakwah struktural yang menekankan aspek larangan dan ancaman berdasar ketentuan akidah, akhlak, ibadah, dan fikih.
Keinginan menerapkan pendekatan kultural dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat jelas memiliki arti penting bagi perkembangan Muhammadiyah. Sebab, dakwah Muhammadiyah selama ini dinilai kurang mengakomodasi budaya lokal. Bahkan, juru dakwah (mubalig) Muhammadiyah sering kali menghantam budaya lokal sebagai perilaku yang berbau takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Dengan menggunakan pendekatan yang bercorak kultural, itu berarti adat, tradisi, dan budaya lokal harus dipelajari untuk dijadikan media berdakwah.
KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Muhammadiyah, sejatinya dapat dijadikan teladan dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal. Ahmad Dahlan digambarkan sebagai figur yang sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Jogjakarta, mengadakan salat 'idain (Idulfitri dan Iduladha) di lapangan, menyampaikan khotbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kiai. Karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai penggunaan strategi dakwah yang tepat, Muhammadiyah berkembang dengan pesat.
Seni Itu Mubah
Dakwah kultural menuntut kreativitas mubalig tatkala berhadapan dengan budaya lokal. Pada konteks itulah, mubalig Muhammadiyah perlu memiliki pemahaman yang komprehensif tentang seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan sifat keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Tuhan sehingga harus dipelihara dengan baik sesuai dengan jiwa ajaran agama. Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Ke-22 Majelis Tarjih pada 1995 telah menetapkan bahwa karya seni itu hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (berbahaya), 'isyyan (kedurhakaan), dan ba'id 'anillah (terjauhkan dari Allah). Itu berarti aktivis Muhammadiyah seharusnya tidak boleh antipati terhadap seni dan budaya.
Dakwah kultural juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretik, tradisional, dan modern sebagai sasaran berdakwah. Sebab, harus dipahami, tingkat religiusitas seseorang merupakan sebuah pergumulan yang tidak pernah selesai. Dengan demikian, setiap kelompok keberagamaan di masyarakat harus dilihat sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi pemeluk agama yang baik.
Karena itu, misi dakwah harus dikemas secara mudah dan menggembirakan. Jika model dakwah tersebut yang dikembangkan, Muhammadiyah akan menjadi tenda besar, tempat berhimpun bagi berbagai aliran/mazhab keagamaan. Muhammadiyah juga berpotensi menjadi rumah yang ramah bagi kelompok abangan dan sinkretis yang selama ini kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.
Pendekatan kebudayaan jelas bertujuan menjadikan dakwah lebih lentur dan fleksibel. Untuk mencapai tujuan itu rasanya Muhammadiyah perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dengan menempatkan moto kembali kepada Alquran dan Hadis (al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah). Dalam praktiknya, moto tersebut berpotensi untuk diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal.
Kedua, masih kuatnya resistansi sebagian kalangan Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal. Bahkan, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan. Model dakwah anti-TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis, namun dapat dipandang kurang cocok untuk kalangan abangan dan sinkretis.
Ketiga, hingga kini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup untuk mengembangkan dakwah, khususnya media yang berkaitan dengan seni dan budaya. Beberapa pengamat bahkan ada yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan anti kebudayaan.
Karena itulah, mubalig Muhammadiyah sebagai ujung tombak dakwah harus dibekali dengan wawasan yang luas agar mampu melihat seni dan budaya dari sisi dalam (from within). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar