Minggu, 06 Juni 2021

 

Kembalinya Peran Regional Mesir Pasca-Perang Gaza

Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas di Kairo, Mesir

KOMPAS, 04 Juni 2021

 

 

                                                           

Perang Gaza selama 11 hari dari 10 Mei hingga 20 Mei 2021 telah mengantarkan Mesir ke posisi peran regionalnya yang alami, yakni sebagai pemimpin di dunia Arab. Mesir dalam sejarah modern Arab tercatat sebagai negara yang memimpin dan memiliki pengaruh kuat di kawasan.

 

Mesir dengan penduduk sekitar 101 juta jiwa, negara Arab terbesar dalam jumlah penduduk, senantiasa memainkan peran kunci dalam semua isu Arab, khususnya isu Palestina, sejak era Presiden Gamal Abdel Nassser sampai saat ini.

 

Secara geografis, posisi Mesir berada di tengah atau pusaran dunia Arab. Markas besar Liga Arab pun berada di Kairo yang menunjukkan peran sentral Mesir.

 

Namun, musim semi Arab 2010-2011 yang menggulingkan rezim Presiden Hosni Mubarak dan lalu kesibukan Mesir menata situasi dalam negeri, membuat negeri itu banyak kehilangan peran baik di regional maupun internasional.

 

Pemerintah Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi cukup cerdik memanfaatkan momentum perang Gaza untuk mengembalikan peran regional Mesir yang  melorot selama hampir 10 tahun terakhir. Keberhasilan Presiden El-Sisi menciptakan stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan di dalam negeri Mesir, membuka peluang Mesir mengembalikan peran regionalnya.

 

Perang Gaza seperti puncak momentum bagi Mesir untuk mengembalikan peran regionalnya secara maksimal. Negara ini segera menyadari bahwa dalam konteks Perang Gaza, mereka memiliki semua kelebihan yang tidak dimiliki negara lain.

 

Mesir memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak perjanjian damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979. Ini membuat mereka bisa melakukan komunikasi langsung dengan Israel.

 

Mesir juga menjalin hubungan baik dengan Hamas dan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, lantaran wilayah ini secara tradisional berada di bawah pengaruh Mesir, karena faktor geografis dan sejarah.

 

Secara geografis, Mesir adalah tetangga langsung Jalur Gaza. Wilayah negara ini juga merupakan satu-satunya akses darat dari Jalur Gaza ke dunia Arab. Secara historis, Jalur Gaza sebelum perang Arab-Israel tahun 1967, berada di bawah ororitas Mesir.

 

Karena itu, Jalur Gaza sangat tergantung kepada Mesir. Hal ini dipahami secara baik oleh Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya di Jalur Gaza.

 

Semua kelebihan tersebut dimainkan secara cantik oleh Mesir pada saat perang Gaza lalu. Masyarakat internasional pun memahami kelebihan negara itu. Maka, mereka sejak awal meletusnya perang Gaza, langsung melakukan aktivitas lobi dengan Israel maupun Hamas untuk upaya gencatan senjata.

 

Hanya Mesir yang bisa melakukan komunikasi dua arah sekaligus dengan Israel dan Hamas itu. AS punya pengaruh sangat kuat atas Israel namun mereka tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Hamas. Qatar punya pengaruh kuat atas Hamas, tetapi tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Israel, karena negara itu tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

 

Isu gencatan senjata itu menjadi titik temu kepentingan Mesir dengan masyarakat internasional, khususnya AS.

 

Inilah awal kisah banyak pemimpin internasional segera melakukan komunikasi dengan Presiden El-Sisi membahas isu gencatan senjata di Jalur Gaza. Posisi Mesir segera menjadi sangat penting di mata internasional.

 

Inilah kemenangan dan sekaligus keuntungan politik yang langsung diraih Mesir dari perang Gaza. Namun, yang terpenting bagi Mesir adalah komunikasi langsung Presiden AS Joe Biden dengan Presiden El-Sisi soal isu gencatan senjata di Jalur Gaza. Presiden Biden menelepon Presiden El-Sisi pada 24 Mei lalu membahas gencatan senjata di Jalur Gaza dan menyampaikan terima kasih atas jasa Mesir yang turut berandil mewujudkannya.

 

Kemudian, Menteri Luar Negari AS Antony Blinken juga singgah di Kairo pada 26 Mei lalu dalam lawatannya ke Timur Tengah yang meliputi Israel, wilayah Palestina, dan Jordania. Disini terlihat betapa AS menjadi sangat butuh Mesir.

 

Mesir sempat khawatir Presiden Biden akan mengabaikan mereka, setelah negara itu mendapat posisi khusus pada era Presiden Donald Trump. Bahkan Presiden Trump mengundang Presiden El-Sisi berkunjung ke Washington DC  pada April 2019.

 

Apalagi, pemerintah Presiden Biden sering mengangkat isu HAM dalam hubungan internasionalnya. Isu HAM sering menjadi sasaran kritik oleh media Barat terhadap pemerintah Mesir terakhir ini. Namun, komunikasi langsung Biden dan El-Sisi cukup mencairkan rasa khawatir Mesir tersebut.

 

Mesir saat ini sangat butuh dukungan AS dan masyarakat internasional untuk kepentingan keamanan nasional mereka di ranah regional, khususnya terkait isu bendungan GERD (Grand Ethiopian Renaissance Dam). Mesir kini tampak menghendaki keberhasilannya mewujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza yang menjadi kepentingan AS dan masyarakat internasional, dengan imbalan AS dan masyarakat internasional mendukung sikap Mesir dalam isu GERD.

 

Apalagi, isu GERD saat ini sedang dalam masa genting karena Etiopia bersikeras melakukan pengisian air tahap kedua bendungan tersebut pada bulan Juli nanti. Jika Etiopia melaksanakan pengisian air tahap kedua, pasti akan mengurangi kuantitas debit aliran sungai Nil dari Etiopia ke Sudan dan Mesir.

 

Ini yang akan dicegah Mesir dan Sudan. Kedua negara bersikeras ada perjanjian yang mengikat antara mereka dan Sudan soal mekanisme pengisian air bendungan tahap kedua itu sebelum pelaksanaan pengisian air. Dalam konteks ini, Mesir telah meminta AS turun tangan menekan Etiopia agar bersedia mencapai kesepakatan tentang mekanisme pengisian air bendungan tahap kedua itu.

 

Oleh karena itu, Mesir akan terus meningkatkan pengaruhnya dalam isu Palestina agar nilai strategisnya di mata regional maupun internasional semakin kuat, sehingga kepentingan regional Mesir bisa diakomodasi oleh masyarakat internasional.

 

Dalam upaya meningkatkan pengaruhnya atas isu Palestina itu, Mesir menyampaikan undangan kepada semua faksi Palestina untuk menggelar pertemuan di Kairo pekan depan, membahas tentang pentingnya menjaga gencatan senjata di Jalur Gaza dan upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah serta isu pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina.

 

Negara itu juga sedang berusaha menggelar lagi perundingan damai Israel-Palestina yang macet total sejak 2014. Mereka juga menyatakan siap menjadi tuan rumah konferensi internasional tentang pembangunan kembali Jalur Gaza dan proses perdamaian Timur Tengah.

 

Sebelumnya pada 19 Mei lalu, Presiden El-Sisi mengumumkan, negaranya akan menyalurkan dana 500 juta dollar AS untuk proyek pembangunan kembali Jalur Gaza. Pada saat perang Gaza berkecamuk, mereka membuka pintu gerbang Rafah antara Jalur Gaza dan Mesir untuk evakuasi korban luka-luka.

 

Mesir sedikitnya mengerahkan 50 mobil ambulans ke pintu gerbang Rafah untuk mengevakuasi korban luka-luka. Pemerintah negara itu juga menyediakan 11 rumah sakit di berbagai kota untuk menampung korban luka-luka.

 

Mesir melakukan semua itu untuk Jalur Gaza, di tengah kebutuhan dana negara itu untuk pembangunan ekonomi, terutama pembangunan megaproyek ibu kota baru. Itulah harga politik yang  Mesir telah bersedia membayarnya, demi kembalinya peran regional Mesir dan terakomodasinya kepentingan nasional Mesir, khususnya isu GERD.

 

Mesir melihat isu GERD sebagai pertarungan hidup-mati, karena air sungai Nil bagi rakyat Mesir adalah sumber kehidupan sejak era Mesir kuno sampai saat ini. Di sini bisa dipahami, salah satu faktor di balik Mesir ingin mengembalikan peran regionalnya, khususnya lewat pintu isu Palestina. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar